• Buku
  • RESENSI BUKU: Terasing ketika Pulang

RESENSI BUKU: Terasing ketika Pulang

Novel “Pulang” yang ditulis Leila S. Chudori merupakan cerita fiksi tentang Orde Baru. Mengisahkan orang-orang yang lama tak pulang ke tanah airnya.

Novel berjudul Pulang karya Leila S. Chudori, Kepustakaan Populer Gramedia, 2022. (Foto: Demas Aryasatya Darmawan/penulis)

Penulis Demas Aryasatya Darmawan16 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Kalau aku mampus, tangisku/yang menyeruak dari hati /akan terdengar abadi dalam sajakku/ yang tak pernah mati,” demikian kalimat pembuka dari surat terakhir Dimas Suryo kepada Lintang, putrinya, dalam novel "Pulang".

Lintang yang membuat film dokumenter tentang Indonesia, membuka matanya terhadap realitas tanah airnya yang asing. Lintang mewawancarai kerabat-kerabat dari ayahnya untuk mendapatkan data untuk filmnya. Sedikit demi sedikit kepingan puzzle tentang di balik layar kehidupan ayahnya mulai terbentuk dan terlihat di depan mata Lintang.

Hingga akhirnya Lintang berada di Indonesia, tempat yang sebelumnya hanya ia bisa dengar dari surat kabar dan cerita ayahnya. Setiap pertanyaan terkait jati dirinya mulai terjawab. Lintang pun memulai perjalanan baru, menemui orang baru, dan menemui cinta yang baru. Dia akhirnya merasakan akhir dari penderitaan ketika terjadi tragedi 1998.

Novel “Pulang” yang ditulis Leila S. Chudori merupakan cerita fiksi tentang Orde Baru yang menurut saya, sangat baik. Novel ini menilik tragedy dari banyak sudut pandang. Kita melihat dari sudut pandang intelektual diaspora dan jurnalis. Kita melihat tragedi Dimas Suryo melalui sudut pandang dirinya sendiri, anaknya, bahkan sahabatnya. Hal ini membuat kita lebih terbuka terhadap masalah apa yang terjadi dan siapa sebenarnya Dimas Suryo yang misterius ini.

Lintang, antara Tragedi dan Keluarga

Kita cenderung akan menutupi masa-masa yang kelam. Tidak jarang kita juga menutupinya dari keluarga sendiri, apalagi orang lain. Hal ini yang dirasakan oleh Dimas Suryo. Semua kepedihan yang dia alami hanya ia rasakan sendiri bersama teman dekat yang mengalami hal. Lintang hanya mengetahui sebagian tentang cerita Dimas.

Sebagai anak, Lintang memiliki rasa penasaran tentang siapakah sosok ayahnya yang sebenarnya. Siapakah Dimas Suryo ketika masih berada di Indonesia dan mengapa dia pergi meninggalkannya. Yang Lintang ketahui hanyalah sebatas dari koran di Paris, itu pun masih belum memuaskan rasa keingintahuannya.

Keingintahuan membuatnya mengalami berbagai tragedi. Memang ini menjadi perjalanan berat bagi dirinya, memang berat untuk menceritakan hal yang kontroversial di negara penuh sensor ini. Tetapi perjalanan ini menjadi titik balik dalam kehidupan Lintang untuk mendapatkan tanah air yang telah lama ia lupakan.                                                                       

Novel "Pulang" mengangkat beragam isu mulai dari petualangan jurnalis dan keluarga mereka, hingga kerabat dari eks-PKI. Novel “Pulang” juga mengangkat isu-isu yang mudah diasosiasikan dengan masyarakat luas. Kita tentu pernah berdiskusi dengan teman dekat hingga malam hari. Kita pasti mengetahui bagaimana perasaan cinta kepada seseorang yang susah untuk kita lupakan, dan kita juga pasti akan mengerti bagaimana perasaan seseorang anak muda yang kebingungan untuk mencari jati dirinya.

Hal-hal keseharian ini membuat novel ini lebih menarik menurut saya, karena bukannya kita diajak untuk mengenal lebih banyak tentang Jakarta dan sebagainya, tetapi kita lebih banyak diajak untuk mengenal Paris dan berbagai negara persinggahan Dimas Suryo.

Bahasa yang digunakan dalam novel ini juga tidak terlalu berat. Meskipun, terdapat beberapa kosakata Prancis yang suka muncul namun tidak akan terlalu menjadi masalah. Tetapi ada yang menarik dalam penggunaan bahasa Prancis dalam novel ini yang digunakan untuk menekankan hal tertentu, hal yang membangun dan menguatkan suatu suasana. Contoh: “Tak tahu? tu veux s'évader de l'histoire?”. Kalimat ini dikatakan oleh Monsieur Dupont ketika Lintang Suryo terus mengelak pertanyaan tentang Indonesia yang sedang bergejolak sehingga menjadi pemberitaan koran-koran di Paris.

Di saat Lintang terus menjawab bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang Indonesia, ia kemudian tertegun dengan kata-kata Dupont. Sebenarnya apakah dia benar-benar tidak tahu atau tidak ingin tahu?

Menurut saya, novel ini juga akan sangat mudah untuk menarik hati para pembaca muda yang masih belum bisa membaca buku yang berat. Buku ini secara pribadi (meskipun banyak halaman dan materi) tetapi masih terasa sedang untuk dibaca. Sehingga novel ini akan mudah untuk mendapatkan pembaca baru yang mungkin belum terbiasa untuk membaca buku panjang dengan materi yang berat. Buku ini bisa dianggap sebagai buku steppingstone.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Kisah Pak Tuba, Tahanan Pulau Buru yang Terus Bernyanyi
RESENSI BUKU: Memahami Kerja Pikiran sebagai Kunci Hidup Paripurna
RESENSI BUKU: Menelusuri asal-usul Kekayaan di Muka Bumi

Saya juga merasa cover buku pada cetakan ke-19 ini sangat bagus. Ilustrasi yang digambarkan terasa modern, jadi akan lebih mudah berkompetisi dengan buku baru ketika berlomba di etalase toko buku. Saya juga merasakan bahwa cover buku yang modern ini akan membantu unutk menarik hati dari para anak muda. Anak muda cenderung akan tertarik untuk melihat cover yang baru ini ketimbang ilustrasi dari beberapa tahun yang sudah lampau.  

Gambar cover juga mencerminkan isolasi yang dirasakan oleh Dimas yang misterius di mata Lintang. Saya rasa dengan adanya ilustrasi ini, buku ini akan terus menjadi relevan dalam toko buku selama beberapa tahun ke depan.

Jika harus mengatakan apakah saya menyukai buku ini atau tidak, jujur, saya senang dengan buku ini. Saya senang dengan bagaimana cara sang penulis menceritakan serangkaian kejadian dengan beberapa sudut pandang untuk membentuk suatu peristiwa yang besar.

Kejadian ini diceritakan dengan secara mengalir, beberapa kutipan membuat karakter dan adegan terasa nyata sehingga emosi yang ingin disampaikan akan terasa sangat nyata juga. Meskipun terkadang penggunaan deskriptif untuk sebuah adegan yang vulgar akan terasa sedikit eksplisit. Dalam beberapa adegan penggunaan metafora dan hiperbola menurut saya terkadang malah membuat itu sedikit agak “lebay”. 

Meskipun demikian, penggunaan bahasa dan hiperbola ini membantu untuk menaikkan suasana dan membangun suasana. Seperti kita makan sebuah kudapan manis atau sebuah kembang gula yang menurut kita terlalu manis, tetapi tidak terlalu manis untuk kita memuntahkan kembali, tetapi cukup manis bagi kita untuk memahami mengapa manis seperti ini. Saya sangat merekomendasikan buku ini kepada orang lain yang ingin membaca tentang peristiwa diaspora ini dan bagi orang yang iseng untuk membaca hal yang baru, karena buku ini sangat membantu saya untuk memahami kejadian tragis tersebut. Saya harap novel “Pulang” ini bisa mendapatkan hati dari para pemuda sekarang untuk mengingat kejadian kelam yang pernah melanda negara ini. Sebuah tragedi dalam kaliber seperti itu tidak boleh sampai terlupakan dan jangan berlari menghindari sejarah.

Informasi Buku

Judul: Pulang

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: 474 Halaman

Cetakan: 19, 2022.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//