• Narasi
  • MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung

MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung

Mas Marco Kartodikromo yang berlajar secara otodidak, bertemu dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung tahun 1911.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Mas Marco Kartodikromo, tokoh pers di masa pergerakan nasional. Bertemu dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung tahun 1911. (Sumber Gambar: asmarainjogja.id)

9 November 2022


BandungBergerak.id“Sama rata sama rasa,” empat kata yang dilahirkan dari keistimewaan intelektual seorang bernama Mas Marco Kartodikromo. Mas Marco lahir dua puluh tahun setelah pemberlakuan politik pintu terbuka (penanaman modal asing) di Hindia Belanda yang menggantikan kebijakan cultuurstelsel yang banyak mengisap rakyat tanah jajahan Belanda.

Dalam Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia disebutkan, “Marco lahir dari keluarga priyayi rendahan di Cepu. Bapak ibunya menamainya Marco Kartodikromo – sebuah nama paduan bahasa: barat dan Jawa” (2007, hlm. 50). Tumbuh saat iklim di Hindia Belanda mengalami masa kebangkitan dan kesadaran yang tumbuh dalam jiwa masyarakat jajahan yang digugah oleh intelektual pribumi saat itu, membawa Mas Marco tenggelam dalam gerak zaman. Berbekal amarah atas kesaksiannya akan penghisapan dan penindasan yang dialami bangsanya menggugah Mas Marco Kartodikromo untuk turun ke gelanggang perjuangan menyerang keangkuhan kolonialisme Belanda melalui pena jurnalistik.

Intelektualitas Mas Marco Kartodikromo yang Otodidak

Masyarakat kita mengenal Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei. Momen ini merupakan titimangsa lahirnya Budi Utomo tahun 1908 sebagai organisasi pelopor pergerakan.

Sukarno menetapkan hari lahir Budi Utomo sebagai tonggak kebangkitan nasional yang pertama kali tahun 1948. Tentu sudah menjadi ingatan kita bersama bahwa Budi Utomo merupakan sekumpulan pelajar/mahasiswa kedokteran di STOVIA, yang juga berlaku bagi sosok seperti Soekarno, Moh. Hatta, dan lain sebagainya. Mereka merupakan tokoh pergerakan bangsa yang berbekal ilmu pengetahuan modern yang didapatkan dari sekolah-sekolah tinggi pada masa kolonial Hindia Belanda.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan sosok Mas Marco Kartodikromo yang terjun menenteng pena yang tajam untuk menyerang keangkuhan kolonialisme Belanda. Sebab, Mas Marco Kartodikromo tidak mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah tinggi yang terbentuk pada masa kolonial. Dalam Sastra dan Sejarah Indonesia, Tiga Belas Karangan karya Henri Chambert-Loir disebutkan, “Mas Marco hanya sebentar mengenyam pendidikan formal dan harus mengambil kursus privat untuk belajar bahasa Belanda, namun, menurut teman-temannya, tidak pernah fasih menguasainya. Ia juga tidak dapat berbahasa Inggris maupun Jerman, dan merupakan salah satu dari sedikit tokoh nasional yang berasal dari keluarga orang kebanyakan. Mas Marco adalah seorang otodidak dan oleh karena itu para wartawan serta tokoh politik kenalannya memiliki pengaruh amat besar dalam pembentukan wataknya” (2018, hlm. 2).

Sedangkan dalam Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia  menyebut, “Ia cuma diketahui menempuh pendidikan sampai sekolah bumiputera ongko loro. Di situlah dia kenal membaca dan menulis untuk kali pertama – dunia yang kelak jadi jalan hidupnya” (2007, hlm. 50).

Mas Marco Kartodikromo membuktikan kepada masyarakat di sekitarnya dan masyarakat masa kini, bahwa dirinya turun ke gelanggang pertempuran untuk menghancurkan keangkuhan Belanda dan menggugah bangsanya tidak lain berangkat dari ketiadaan rasa putus asa dalam diri Mas Marco Kartodikromo. Bentuk teladan yang nyata dan relevan dalam kehidupan masyarakat di masa sekarang yang dipertentangkan dengan biaya pendidikan di sekolah-sekolah tinggi yang semakin melambung tinggi. Pendidikan Mas Marco Kartodikromo secara otodidak adalah pergaulannya dengan orang-orang terpelajar di sekitar hidupnya.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Pertentangan Kelas Zaman Kolonial
Ada Kapital dalam Penerapan Politik Etis di Hindia Belanda
Pers Melahirkan Satu Bahasa

Pertemuan Mas Marco Kartodikromo dengan Tirto Adhi Soerjo

Mas Marco Kartodikromo yang pendidikannya didapat secara otodidak dari pergaulan bersama orang-orang terpelajar di sekitarnya, mengantarkan Mas Marco Kartodikromo bertemu dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung tahun 1911. Menurut Henri Chambert-Loir, “Mas Marco menumpang selama satu tahun di rumah Tirto Adhi Soerjo: tokoh inilah yang mengajarinya profesi wartawan, dan mungkin sekali juga memupuk kecintaan akan kesusasteraan serta memperkenalkan karya-karya Multatuli kepadanya” (2018, hlm. 3).

Kemudian perihal Mas Marco yang menimba ilmu kepada Tirto Adhi Soerjo tercatat pula dalam Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia, “Di situlah dia belajar jurnalistik dan pergerakan kali pertama. Ia belajar pada Tirto yang dikenal radikal. Tirto yang beberapa kali harus menghadapi persdelict. Dan Tirto yang mendirikan Sarekat Prijaji, embrio dari Boedi Oetomo” (2007, hlm. 52). Hal ini menjadi modal utama yang besar bagi Mas Marco Kartodikromo untuk melesat menjadi seorang jurnalis yang berbekal pena yang tajam. Mengutip kembali dari Henri Chambert-Loir, “Karir Mas Marco selanjutnya adalah karir seorang wartawan yang mengabdi pada suatu haluan politik. Sambil tinggal di Batavia, Semarang, Solo atau Salatiga, yaitu kebanyakan di Jawa Tengah, ia menjadi pembantu redaksi di beberapa koran dan majalah. Yang pertama adalah Doenia Bergerak, sebuah mingguan yang didirikan Mas Marco sendiri di Solo tahun 1914” (2018, hlm. 3).

Jika Tirto Adhi Soerjo berjalan menggandeng Medan Prijaji, maka muridnya Mas Marco Kartodikromo identik dengan Doenia Bergerak, sebuah surat kabar yang didirikannya tahun 1914 sebagai organ dari Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Inlandsche Journalisten Bond (IJB) merupakan perhimpunan pers di Hindia Belanda yang kecewa terhadap kolonial. Mas Marco Kartodikromo melalui Doenia Bergerak dan IJB menjadi alternatif pergerakan untuk mengganti peran H.O.S. Tjokroaminoto yang mulai turun kewibawaan dan gaungnya.

Dalam karya Adhytiawan Suharto Sarekat Islam Surakarta 1912-1923 disebutkan bahwa, “Pada 11 November 1913 Marco mulai merintis Inlandsche Journalisten Bond (IJB), sebuah perkumpulan jurnalis yang bertujuan mengentaskan buta huruf di kalangan pribumi. Salah satu produk yang dihasilkan IJB adalah terbitnya surat kabar Doenia Bergerak yang mulai terbit perdana 1 Januari 1914” (2021, hlm 67).

Mas Marco Kartodikromo berkembang menjadi seorang “penggerak pena” yang mendapat sentuhan bimbingan Tirto Adhi Soerjo. Tajamnya pena Tirto yang membuat kolonial “muntah darah” membentuk jiwa dan pena muridnya yang memiliki nama yang tidak biasa bagi seorang pribumi. Bersambung...

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//