MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #3: Delik Pers dan Syair Sama Rasa dan Sama Rata
Tulisanna yang tajam menyerang kolonial Belanda membawanya keluar masuk penjara. Dalam penjara di Weltevreden tahun 1917 ia menulis syair Sama Rata Sama Rasa.
Andika Yudhistira Pratama
Penulis tinggal di Padalarang
27 November 2022
BandungBergerak.id—Jika menilik kembali peristiwa yang terjadi abad ke 18, ada suatu penyerangan yang terjadi di penjara Bastille di Perancis tahun 1789, seluruh tahanan yang berada di balik jeruji besi Bastille dibebaskan, hal ini tidak lain sebagai reaksi rakyat Prancis yang sudah mencapai puncak amarah terhadap raja Louis XVI sebagai bagian dari otoritas tertinggi dalam masyarakat Prancis. Penyerangan terhadap penjara Bastille merupakan pemicu dari revolusi Prancis sekaligus simbol keperkasaan rakyat Prancis yang menentang absolutisme Raja Louis XVI. Penjara Bastille memiliki arti sebagai kekuatan nyata kerajaan untuk membungkam orang-orang yang menurut penafsiran kerajaan adalah ancaman bagi kelangsungan hidup kerajaan Prancis. Setali tiga uang hal ini berlaku di tanah Hindia Belanda. Setiap individu atau kelompok yang berperilaku menentang dan menurut penafsiran pemerintah kolonial Belanda dapat mengancam kelangsungan kolonialisme di Hindia Belanda sudah dipastikan dekat sekali dengan ancaman penahanan di penjara bahkan pengasingan.
Mungkin kita masih mengingat tokoh seperti Diponegoro yang mengangkat senjata kepada kolonial Belanda pada akhirnya harus dibuang ke Manado sampai akhirnya dipindahkan ke Makassar, kemudian memasuki masa kebangkitan atau pergerakan nasional, penahanan atau hukuman penjara dialami orang pertama yang didaulat menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia pernah mengalami penahanan di penjara Banceuy akibat aktivitasnya yang dianggap mengancam kolonial Belanda hingga mengalami penahanan di penjara Sukamiskin akibat pembelaannya yang bertajuk “Indonesia Menggugat” tahun 1930. Hal ini berlaku juga dalam perjalanan hidup Mas Marco Kartodikromo, seorang yang menjadi surat kabar sebagai sarana “perang suara”. Mas Marco Kartodikromo mengalami penahan di balik jeruji berjilid-jilid akibat persdelict atau hukuman pidana penjara karena pasal delik pers, hingga pembuangan ke Boven Digul dengan dakwaan keterlibatan dalam pemberontakan 1926/1927.
Baca Juga: MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #2: Mengemudikan Doenia Bergerak
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung
Mas Marco Kartodikromo Dan Persdelict
Setelah berpolemik dengan Dr. D. A. Rinkes yang terkenal dalam tulisan di Doenia Bergerak yang bertajuk Marco, “Pro of Contra Dr. Rinkes”, Mas Marco Kartodikromo pada akhirnya terjerat dalam persdelict pertamanya setelah memuat empat surat pembaca di Doenia Bergerak. Menurut Taufik Rahzen dalam “Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia” (2007, hlm 52), “Keberanian yang ditunjukkan Marco inilah yang memancing penguasa kolonial menjeratnya dengan persdelicten. Empat surat pembaca yang dinilai mengusik ketenangan Gubernemen (pemerintah kolonial) dipermasalahkan. Marco bertanggung jawab penuh atas surat pembaca tersebut. Ia lindungi identitas para penulisnya.”
Menurut Takashi Shiraishi “Zaman Bergerak” (1997, hlm 115), “Pada awal 1915 saat itu pun tiba. Ia dituntut karena persdelicten setelah menerbitkan empat surat pembaca dalam Doenia Bergerak. Keempat surat itu sebenarnya tidak berbeda jauh dari surat-surat lain yang dimuat dalam Doenia Bergerak atau surat kabar lainnya. Yang berbeda adalah sikap Marco. Ia bertanggung jawab penuh terhadap tulisan-tulisan dalam Doenia Bergerak dan dengan tegas menolak menyingkap identitas para penulisnya kepada penguasa. Di Landraad, ia dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara.”
Itulah awal perjumpaan Mas Marco Kartodikromo dengan persdelict, sekalipun Mas Marco mengajukan banding atas tuduhan yang menjerat dirinya, pada akhirnya Mas Marco Kartodikromo harus mendekam di balik jeruji besi di Semarang selama tujuh bulan. Namun, setelah hukuman yang dijatuhkan pada tahun 1915, tidak membuat Mas Marco Kartodikromo tumpul dalam bersuara, melawan apa saja yang menurutnya harus dilawan, dan Mas Marco Kartodikromo harus bertemu kembali dengan persdelict dan mendekam di Penjara berjilid-jilid
Dalam “Sarekat Islam Surakarta” 1912-1923 (hlm. 87), “Pada pertengahan 1916 Marco pindah ke Batavia dan kembali bertemu dengan Goenawan yang kemudian langsung diangkat menjadi redaktur surat kabar Pantjaran Warta, sebuah media resmi milik SI Batavia. Meskipun Marco sudah pindah ke Batavia dan bekerja di Pantjaran Warta, ia juga masih terbelit masalah hukum, tepatnya pada bulan Februari 1917. Pada 28 Februari 1917 Marco diperiksa selama 5 jam oleh polisi, Marco dituduh telah membuat tulisan dalam Pantjaran Warta yang mengandung ujaran kebencian pada pemerintah. Hasilnya Marco dipenjara lagi, ia ditempatkan di sebuah tahanan daerah Glodog. Keosen salah satu redaktur Islam Bergerak mengatakan bahwa Marco tidak menghasut masyarakat untuk membenci pemerintah, bahwa Marco hanya ingin derajat pribumi semakin baik dan kehidupan semakin sejahtera.”
Mas Marco Kartodikromo bukanlah seorang yang cepat layu dengan persdelict yang menjeratnya, mengutip kembali Taufik Rahzen dalam “Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia” (2007, hlm 53), “Tapi gara-gara “Sjairnya Sentot”, Marco kembali harus dipenjara selama enam bulan. Marco akhirnya memutuskan untuk menuju Salatiga pada September 1921. Empat bulan sesudahnya, ia kembali menghadapi persdelict. “Rahasia Keraton Terbuka” dan “Matahariah” mengantarkannya ke penjara Weltevreden selama dua tahun.”
Menurut Henri Chambert-Loir “Sastra Dan Sejarah Indonesia” (2018, hlm. 3), “Ia memang beberapa kali dituduh melakukan delik pers, baik pencemaran nama baik seseorang, maupun hasutan publik untuk memberontak. Empat kali dihukum, maka secara keseluruhan ia pun meringkuk di penjara selama sekitar tiga puluh bulan. Hukuman terakhir yang dijalaninya, tahun 1926, berakibat fatal bagi Mas Marco. Usai terjadinya pemberontakan komunis di Jawa dan Sumatera Barat tahun 1926, pemerintah kolonial membuka kamp pembuangan di Boven Digeol, Papua. Di sanalah Mas Marco diasingkan, bersama ratusan orang lain yang disangka komunis, dan di sanalah ia meninggal, lima tahun kemudian, pada tahun 1932.”
Persdelict yang membawanya ke balik jeruji besi tidak menumpulkan pikiran dan pena Mas Marco Kartodikromo, terbukti Mas Marco Kartodikromo tetap produktif menulis, tulisannya yang paling terkenal ketika mendekam di balik jeruji besi adalah syair “Sama Rata Sama Rasa”. Penjara sekedar tempat dimana dia berganti tempat untuk menulis, bukan tempat untuk melucutkan segala keberanian yang berada di sekujur jiwanya. Tempat dimana Mas Marco Kartodikromo melucutkan semua keberaniannya ketika berada di Boven Digeol dan ajalnyalah yang mampu melucutinya 18 Maret 1932.
Sama Rasa Sama Rata
Setelah bebas dari penjara di Semarang tahun 1916, Mas Marco Kartodikromo pergi ke Belanda dengan tugas barunya menjadi korespondensi dengan Pantjaran Warta yang digerakkan oleh Goenawan, seorang anggota SI cabang Batavia. Ketersediaan Mas Marco Kartodikromo menjadi koresponden di Belanda tidak lepas dari upaya berbalas budi kepada Goenawan yang memberikan bantuan bagi keluarga Mas Marco Kartodikromo selama mendekam di Penjara Semarang. Kemudian menurut Takashi Shiraishi “Zaman Bergerak” (2007, hlm. 119-121), “Pada tahun 1917, ketika masih mendekam dalam penjara di Weltevreden, ia menulis syair dengan judul “Sama Rasa Sama Rata”, berikut isi syair tersebut yang tertuliskan dalam “Sair Rempah-rempah”:
Marco, “Sama Rasa dan Sama Rata”.
(Dalam sair rempah-rempah, Sinar Djawa, 1918 dalam Takashi Shiraishi “Zaman Bergerak”. 1997, hlm. 121)
Sama Rasa dan Sama Rata
Sait inilah dari Pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di- Weltevreden tempat tinggalnja,
Doe belas boelan poenja lama.
Ini sair nama; “Sama Rasa”
“Dan Sama Rata” itoelah njata,
Tapi boelan sair bangsanja
Jang menghela kami dipendjara
Didalam pendjara tidak enak,
Terjere denhan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.
Tapi dia djoega bangsa orang
Seperti manoesia jang memegang
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Ada perampok aloes dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Ada jang merampok dengan nasar.
Dan itoelah sama perampoknja,
Minta orang dengan paksa
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.
Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Sepeti anak beloem oesia,
Dan beloen bangoen dari tidoernja.
Kami sampe di djalan perempat,
Kai berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat
Ketinggalan misih djaoeh amat.
Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen pengharapan ta’a poetoes,
Kaloek perloe boleh sampe mampoes.
Djalan jang koetoejoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas.
Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA meRASA
Enak dan senang bersama-sama
Ja’toe: “Sama rasa, sama rata.”
Djangan berperang seperti boeto,
Tjoema bisa memboeka soeworo,
Soeka orang tidak brani loro,
Itoe boekan adanja Satrijo.
Djaman doeloe satrijo sedjati,
Ta’takoet masoek didalam api,
Terdjoem dilaoet poen didjalani,
Boeat mengedjar maksoednja hati.
Pertjajalah soedara-soedara,
Menoedjoe kearah timoer sadja;
Disitoe betoel tempatnja tjahja,
Jang bisa menerangi doenia.
Broeders! Laat mij even blijven rusten;
(saudara! Biarkan aku istirahat sebentar)
Laat den anderen zijn rol vervullen,
(Biar yang lain ambil peranan)
Ik zal wel met genoegen gaan spelen,
(Aku akan mengurus diri)
Zoodra het derde bedrijf moet komen
(Saat tindakan ketiga tiba).
Terlihat jelas syair Sama Rata Sama Rasa yang dibuat oleh Mas Marco Kartodikromo tidak lain sebagai bentuk keberanian yang nyata dan merupakan peluru yang dibidikkan kepada Kolonial Belanda. Mas Marco Kartodikromo menginginkan persamaan kedudukan setiap manusia yang berada di Hindia Belanda. Hal ini tidak terlepas dari segregasi sosial pada masa kolonial Belanda, segregasi sosial yang dipilah dan dipilih berdasarkan ras juga melahirkan ketimpangan nasib juga kesewenang-wenangan Kolonial Belanda. Mas Marco Kartodikromo, Dia-lah seorang pejuang sejati dalam pers, Dia-lah pemilik pena yang tajam yang mampu memuntahkan segala keluh kesahnya yang diarahkan kepada para pelanggar nilai-nilai kemanusiaan, Dia-lah yang mewarisi jiwa ksatria Tirto Adhi Soerjo dalam membela orang-orang yang terperintah.
Sama Rasa Sama Rata yang selama ini kadung mengikat dalam pikiran masyarakat sebagai jargon dari komunis/PKI perlu dikoreksi. Walaupun pada akhirnya Mas Marco Kartodikromo tidak dapat menghindari arus perkembangan komunisme di Hindia Belanda dan menjadi penggerak dalam Sarekat Rakyat yang terpengaruh komunisme, tetapi syair Sama Rata Sama Rasa dibuat pada tahun 1917, jauh sebelum Mas Marco Kartodikromo menjadi bagian dari Sarekat Rakyat pada tahun 1923 sebagai kelanjutan dari Sarekat Islam “merah” hingga dirinya “didigoelkan”. Hal ini seperti apa yang disampaikan Henri Chambert-Loir (2108, hlm. 4), “artikel-artikel yang ditulisnya, dan terlebih lagi karya sastra tulisannya, menunjukkan betapa dalam jiwanya – berbagai ideologi politik, bahkan yang paling bertentangan sekalipun, campur baur di bawah panji-panji nasionalisme. Selain itu, jangan pula dilupakan bahwa Mas Marco dididik oleh Tirto Adhi Soerjo dan sangat dipengaruhi Soewardi Soerjaningrat (yang kemudian terkenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara).”
Senafas dengan Henri Chambert-Loir, Takashi Shiraishi masih dalam “Zaman Bergerak” (1997, hlm. 415), “Marco tidak pernah menjadi anggota ISDV/PKI selama ia di Semarang. Ia melontarkan suara yang militan, tetapi militansi itu tidak datang dari keyakinan ideologis sebagai seorang komunis melainkan dari keinginannya mengatakan apa yang mau ia katakan, tanpa menyembunyikan sesuatu dalam pikirannya. Ia seorang satria dan terus mencoba mempertahankannya. Dalam upaya ini, ia dekat dengan Semaoen, sedekat dengan Soewardi, orang yang barangkali paling mengerti dirinya. Seperti apapun bentuknya, militansinya telah mengusir Belanda.”