Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
Suardi Tasrif merupakan jurnalis yang mengajarkan bahwa berita harus berdasarkan fakta. Jurnalis pantang menerima imbalan atas berita yang ditulisnya.
Andika Yudhistira Pratama
Penulis tinggal di Padalarang
3 Maret 2023
BandungBergerak.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dibentuk saat PWI tidak berdaya untuk menanggapi pembredelan terhadap Tempo, DeTIK dan Editor pada masa Orde Baru. Para wartawan muda yang tidak puas terhadap PWI, berkumpul di Sirnagalih, Bogor pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan sebuah manifestasi perjuangan terhadap kekuasaan yang mempersempit kebebasan pers, berserikat, dan berkumpul yang dikenal dengan sebutan “Deklarasi Sirnagalih” (Arahman Ali dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007, hlm. 382).
Sebagai suatu wadah perjuangan pers di Indonesia, AJI sejak tahun 1998 memberikan semacam penghargaan kepada individu, kelompok, dan lembaga yang memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat pada umumnya yang bertajuk Tasrif Award. Dalam portal Aliansi Jurnalis Independen, Munir yang merupakan koordinator Badan Pekerja Kontras menjadi orang pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut.
Lalu siapakah Tasrif? hingga namanya digunakan sebagai nama dalam suatu penghargaan yang pertama kali diberikan kepada aktivis sekaliber Munir.
Teman Sekelas Rosihan Anwar
Mengutip dari Atisah, dkk Antologi: Biografi Tiga Puluh Pengarang Sastra Indonesia Modern (2002), Tasrif lahir dari pasangan Mohammad Tasrif dan Siti Hapzah di Cimahi pada tanggal 3 Januari 1922, dengan nama masa kecilnya Suardi. Ia mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat pada tahun 1929-1936 dan melanjutkan sekolahnya ke MULO di Palembang pada tahun 1936-1939. Setelah itu, ia melanjutkan kembali pendidikannya di AMS pada tahun 1939-1942.
Saat mengenyam pendidikan di AMS, Suardi berteman dengan Rosihan Anwar. Perawakannya kecil, pemalu, dan bicaranya lembut, namun ia dikenal sebagai sosok yang cerdas. Menurut Rosihan Anwar, Suardi berasal dari Sunda dan ayahnya seorang pekerja di perusahaan minyak Palembang. Selain itu, Suardi dikenal sebagai teman yang memiliki bakat dalam mempelajari bahasa Latin, Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda. Kepandaian bahasa yang dimiliki Suardi Tasrif, mengantarkannya menjadi juara dalam perlombaan bahasa Jepang se-Jawa-Madura pada masa pendudukan Jepang (2007, hlm. 230).
Selain itu, Suardi Tasrif dikenal pula sebagai seorang yang berkecimpung di bidang sastra. Mengutip kembali Atisah, dkk (2002), jejak kesusastraannya terjadi pada kurun waktu 1945-1950. Ia telah berhasil membuat cerpen, puisi, naskah drama, dan artikel sastra. Berikut merupakan karya-karya sastra Suardi; “Sajak-Sajak Remaja”, “Jalan Kembali”, “Yogya Bukan Hollywood”. Hal ini terjadi tidak terlepas dari sosok Usmar Ismail yang juga merupakan teman sekolahnya di AMS Yogyakarta. Selain itu, ia tercatat sebagai penyiar radio yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, radio Suara Indonesia dan sebagai anggota penyiar radio Republik Indonesia bagian luar negeri yang pertama.
Menjadi Redaktur Surat Kabar Abadi
Selain berkecimpung di dunia sastra, Suardi Tasrif terjun dalam dunia jurnalistik. Karier jurnalistiknya dimulai pada tahun 1946, saat pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo. Mengutip kembali Arahman Ali (2007), pada tahun itu, ia merupakan seorang kolumnis Harian Tentara yang dikemudikan oleh Usmar Ismail, dan di sinilah awal mula Suardi Tasrif secara rutin memakai nama Tasrif, hingga dikenal sebagai S. Tasrif (Suardi Tasrif).
Selanjutnya pada tahun 1950, ia menjadi penggerak surat kabar Abadi yang merupakan organ dari Masyumi. Mengutip Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (2007), dengan mengusung slogan “Untuk Agama, Bangsa dan Negara” Surat Kabar Abadi terbit setiap hari sejak 2 Januari 1950. Selain itu, surat kabar ini sering melancarkan kritik kepada kebijakan-kebijakan Sukarno selaku pemimpin besar revolusi. Selain itu, tercatat pula, pada masa revolusi Suardi pernah menjadi redaktur dari surat kabar Berita Indonesia yang dimiliki oleh B. M. Diah.
Pada masa demokrasi liberal, persaingan oplah terjadi antara surat kabar Abadi yang dikemudikan Suardi, surat kabar Indonesia Raya yang digerakan Mochtar Lubis, Pedoman yang digerakan Rosihan Anwar, dan Merdeka yang digerakan B. M. Diah. Dalam persaingan keempat surat kabar tersebut, surat kabar Merdeka untuk sementara waktu harus mengakui kekalahan dalam persaingan oplah. Namun, kondisi berbalik memasuki tahun 1960, seiring dengan dibredelnya surat kabar Abadi, Indonesia Raya, dan Pedoman hingga menyebabkan Mochtar Lubis, Suardi Tasrif, dan Rosihan Anwar menjadi WTS (wartawan tanpa surat kabar) (Arahman Ali (2007, hlm. 232)).
Baca Juga: Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo, Pers Bumiputera dan Pers Advokasi
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung
Ada Kapital dalam Penerapan Politik Etis di Hindia Belanda
Menjadi Advokat
Setelah menyandang status sebagai wartawan tanpa surat kabar pascapembredelan yang terjadi pada tahun 1960, Suardi melanjutkan kembali studinya ke jurusan hukum Universitas Indonesia pada tahun 1962. Arahman Ali (2007, hlm. 232) menuturkan, saat akan mengawali studinya di Universitas Indonesia, Suardi Tasrif mengunjungi Rosihan Anwar dan mengajaknya untuk bersama-sama menempuh kuliah hukum. Namun, ajakannya ditolak oleh rekannya tersebut. Berbekal tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikan hukum, ia berhasil menyelesaikan perkuliahannya selama tiga setengah tahun. Setelahnya ia bekerja di kantor advokat milik Mr. Ishaq, sosok advokat yang dikaguminya.
Tak lama kemudian, ia menjadi Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) dan tercatat sebagai anggota The International Bar Association and The Law Association for Asia and Western Pacific (Lawaisis). Di tengah kesibukannya, ia tidak dapat meninggalkan kecintaannya pada jurnalistik. Tercatat setelah menjadi seorang advokat, ia masih aktif menjadi kolumnis di surat kabar Kompas dan Tempo.
Saat terjadi perpecahan dalam tubuh PWI, antara PWI yang dipegang oleh B. M. Diah dan PWI yang dipegang oleh Rosihan Anwar, Suardi terpanggil untuk menyelesaikan polemik yang terjadi pada tahun 1970. Ia mendatangi Rosihan Anwar dengan pertanyaan “Are you going to the fight or not?” seketika Rosihan Anwar menjawab “mau”. Segera Suardi menanggapi “kalau begitu saya jadi advokatmu. Kita ajukan soal PWI ke pengadilan”, dan tidak lama masalah PWI terselesaikan.
Selain itu, Atisah, dkk (2002) menuturkan, Suardi Tasrif merupakan wartawan yang mengajarkan bahwa berita harus berdasarkan fakta yang lepas dari opini, dan pantang bagi seorang wartawan untuk menerima imbalan atas berita yang ditulisnya. Gagasan inilah yang menjadi landasan dalam kode etik jurnalistik pada tahun 1954.