• Opini
  • Manusia Beranda dan Tragedinya

Manusia Beranda dan Tragedinya

Manusia beranda lebih memilih menjadi penonton sekaligus sutradara, alih-alih aktor protagonis.

Anindita S. Thayf

Novelis dan esais

Poster Lomba Esai Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. (Sumber foto: Fakultas Filsafat Unpar)

14 Desember 2022


BandungBergera.id—Upaya manusia untuk mencapai ke diriannya adalah sebuah proses yang terjal dan berdarah-darah. Perkembangan kapitalisme dengan teknologi informasinya menempatkan manusia dalam tragedi yang belum pernah terjadi sebelumnya di sepanjang umur semesta. Jika zaman Yunani Kuno menganugerahi manusia dengan “tragedi” yang kelahirannya konon bertujuan moral yang mulia (katarsis), sebagaimana yang didalilkan Aristoteles melalui teater tragedinya, maka tragedi yang terjadi pada hari ini tidak lagi sesederhana itu. Ialah hasil dari perjalanan revolusi sosial budaya yang begitu panjang dan kompleks hingga menciptakan tragedi bentuk baru: kehidupan manusia modern. 

Setelah kemenangan kapitalisme atas tuan-tuan feodal, revolusi tidak hanya melabrak struktur ekonomi, tapi juga suprastruktur masyarakat di mana budaya berada. Budaya feodal yang masih berbasiskan sembah dan jongkok, dengan raja sebagai pusat semesta kecil sekaligus wakil Tuhan di bumi, dipenggal oleh budaya kapitalisme dengan pedang modernitasnya. Budaya tidak lagi terpusat di istana-istana raja, melainkan telah menyebar ke pusat-pusat industri seiring dengan upaya akumulasi modal corak produksi kapitalisme. Budaya adiluhung digeser oleh budaya massa sejauh kepentingan modal bergerak. Jadilah budaya, sebagaimana disampaikan oleh Bourdieu (Dhakidae, 1995: 75), tidak bisa dilepas dari medan kekuasaan (the field of power), medan literatur (literary field) dan habitus (the genesis of the producers’habitus).

Jangan Percaya Astrologi, Aku Berpikir...

Budaya masyarakat tidak pernah berkembang di ruang vakum. Budaya selalu berada dalam medan kekuasaan, baik kekuasaan ekonomi maupun politik. Pertarungan dalam medan kekuasaan ini akan mempengaruhi kebudayaan yang akan berkembang dalam masyarakat. Elit kekuasaan, dalam hal ini kaum borjuis, lantas melahirkan budayanya sendiri yang berbeda dengan budaya para raja dan tuan-tuan tanah. Mulai dari cara buang air besar sampai cara bertuhan, kaum borjuis menghadirkan budaya-budaya baru yang dianggap paling pas dengan diri mereka sebagai bagian dari entitas masyarakat baru yang diberi nama: modern.

Sebagaimana disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia, modern ditandai dengan hadirnya “keretaapi—kereta tanpa kuda, tanpa sapi, tanpa kerbau...”, tenaga manusia telah digantikan dengan “torak, sekrup dan mur. Mesin akan menggantikan semua dan setiap macam pekerjaan” (Toer, 1980:3). Minke pun berujar, merujuk perkataan gurunya, “Jangan memercayai astrologi... Thomas Aquinas pernah melihat dua orang yang lahir pada tahun, bulan, hari dan jam, malah tempat yang sama, namun nasib keduanya sungguh tidak pernah sama, yang seorang tuan tanah besar, yang lain justru budaknya!“ (Toer, 1980-4-5). Dengan kata lain, modern bermakna ketika manusia telah berhasil menjadi antroposentrisme; ketika alam semesta telah berhasil ditundukkan.

“Aku berpikir maka aku ada”. Itulah kalimat ajaib yang menandai kelahiran zaman modern. Bahwa saat berpikir adalah saat manusia menggunakan akalnya untuk mengada. Berpikir sebagai aktivitas manusia menggantikan takhayul yang hadir dari kekuatan yang berada di luar diri manusia. Rasionalisme dijunjung tinggi sementara takhayul dikubur dalam-dalam sebab Tuhan telah mati. Apa yang bertentangan dengan akal maka itulah bidah yang harus dihancurkan.

Namun, budaya modern ternyata tidak pernah benar-benar membunuh Tuhan. Mereka, ungkap Nietzsche, justru telah menciptakan Tuhan-tuhan baru yang tak kalah menakutkan. Nietzsche pun hadir dengan palunya untuk menghancurkan Tuhan-tuhan baru masyarakat modern tersebut. Maka, hadirlah nihilisme dengan tanda-tandanya: ”Seluruh budaya Eropa telah bergerak menuju malapetaka, dengan ketegangan menyiksa yang tumbuh dari masa ke masa: gelisah, kasar, cepat, seperti sungai yang ingin segera menemui akhirnya, yang tidak lagi dipermainkan, yang takut untuk digambarkan” (Nietzsche, 2019:1). Budaya Eropa yang konon telah mengalami pencerahan (renaissance) dan telah bangkit kembali (aufklarung) dari zaman kegelapan ternyata tidak mampu menyapu bersih takhayul, tapi malah menciptakan takhayul-takhayul baru dalam wujud ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, politik, filsafat dan agama.

Baca Juga: Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies
Lampu Merah Jalan Terus
Menyibak Realita Sosial, Pekerjaan sebagai Identitas Sosial

Hantu Eropa dan Sisifus

Maka bersahut-sahutanlah Nietzsche dan Karl Marx. Dengan penuh keyakinan, Marx menyatakan bahwa ada hantu berkeliaran di Eropa. Marx datang dengan kritiknya terhadap masyarakat borjuis yang telah melahirkan alienasi pada kehidupan manusia. Adapun alienasi, menurut Marx, sebagaimana disampaikan Erich Fromm (2004:58-9):

Bukan hanya berarti manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga berarti dunia (alam, benda dan manusia sendiri) tetap asing bagi manusia. Dunia berdiri di atas dan menentang manusia sebagai obyek, meskipun dunia bisa menjadi obyek ciptaan manusia. Alienasi pada dasarnya melanda dunia dan manusia sendiri secara pasif dan reseptif sebagai subyek yang terpisah dari obyek.

Lebih lanjut, Fromm menjabarkan awal mula munculnya alienasi yang dihubungkan dengan kata “syirik”. Menurutnya, “syirik” bukan semata manusia menyembah banyak Tuhan, melainkan ketika manusia melakukan “pemujaan pada karya tangannya sendiri, yakni barang-barang” (Fromm, 2004:59). Pada akhirnya, manusia mentransformasikan dirinya menjadi barang. Artinya, manusia merasa mengada ketika ada barang-barang yang melekat pada dirinya.

Seabad kemudian, hadirlah Albert Camus dengan mite Sisifusnya. Camus mengajukan pertanyaan, “Apakah Sisifus yang dihukum mendorong batu bahagia?” Apakah manusia modern yang hidup dalam kemajuan bahagia? Ketika modal memaksanya bangun mendahului matahari demi bekerja, dan kembali ke rumah usai malam jatuh, setelah sebelumnya menghabiskan waktu di jalan pulang, bahagiakah dia di ujung hari itu? Sesungguhnya manusia modern hidup dalam dunia yang absurd.

Absurd bukan bermakna tidak masuk akal. Lorens Bagus (2005) menyatakan bahwa absurd berasal dari bahasa Latin: absurdus. Kata tersebut berasal dari kata “ab” (tidak) dan “surdus” (dengar). Secara harfiah, absurd berarti “tidak enak didengar”. Namun, sebagaimana jamak diketahui, absurd dalam hal ini berkaitan dengan filsafat eksistensialisme Camus.

Dunia Panggung Teater

Dunia sebagai tempat manusia hidup bak panggung maha luas. Di atasnya, orang-orang beraksi dan beragam kejadian berlangsung. Umat manusia ibarat tokoh-tokoh drama yang hidup dan bergerak. Adapun kehidupan ibarat plot yang bergerak dalam sebuah rel kisah yang berawal dan berakhir. Dunia tiada beda dengan panggung drama yang menjanjikan adanya “orang-orang beraksi dan berbuat” sebagaimana makna drama secara etimologi yang berasal dari kata “dran” yang berarti “beraksi dan berbuat” (Aristoteles, 2022: 30).

Kendati abad telah berganti dan kemajuan zaman telah memonopoli kehidupan, apa yang dipertontonkan dunia sekarang sesungguhnya tiada jauh berbeda dengan apa yang disaksikan Aristoteles pada zaman Yunani Kuno. Di atas panggung pertunjukan dunia, kehidupan berjalan dramatis; manusia berlakon dan berkonflik. Tragedi dipentaskan.

Tragedi merupakan produk khas masyarakat demokrasi Athena. Aristoteles mengenali, mengangkat dan melekatkannya pada satu temuan penting di bidang kritik sastra dan seni, yaitu Poesis (Seni Poesi). Definisi awal tragedi pun menjadi identik dengan seni, di mana seni dilihat sebagai upaya mimesis atau meniru alam. Menurut Aristoteles, secara sederhana, tragedi adalah “imitasi sebuah aksi yang besar, lengkap dan berbobot; dalam bahasa yang diperindah dan menyenangkan dengan beragam jenis hiasan, yang sesuai dengan bagian-bagian lakon; dalam bentuk tindakan dramatik, bukan naratif;  dan yang melalui belas kasihan dan ketakutan menimbulkan ‘katarsis’ pada emosi-emosi khalayak penonton” (Aristoteles, 2022: 37). Maka lahirlah drama tragedi Aristoteles, dengan Oedipus sebagai salah satu tokohnya.

Namun, drama atau teater—untuk selanjutnya akan disebut teater—kini tidak bisa lagi dilihat sesempit pandangan teater sebagai teater. Bagi dramawan Augusto Boal, teater berhubungan dengan sesuatu yang melampaui panggung pertunjukan, yaitu umat manusia. Dalam sebuah pengantar yang mengiringi cetakan ketiga bukunya, Teater Bagi Kaum Tertindas, Boal menulis bahwa dia lebih memilih untuk melihat umat manusia sebagai teater (Boal, 2008: ix).

Kehidupan manusia modern adalah kehidupan yang penuh adegan dramatis. Tiada hari yang terlewati tanpa tragedi atau aksi-aksi. Sebagaimana panggung yang merupakan tempat kejadian, dunia begitu pula. Dan jika dunia adalah panggung teater maka manusia adalah penonton sekaligus aktornya.

Namun, apa yang dipentaskan oleh manusia hari ini bukanlah teater tragedi Aristoteles sebab tidak ada tujuan korektif di sana. Adegan-adegan atau aksi-aksi yang dilakukan manusia modern jauh dari tujuan bernilai moral tinggi, apalagi demi katarsis atau penyucian jiwa. Pun, bukan teater epik Brecht yang mengharapkan penontonnya menjadi lebih peka dan kritis pada sekitarnya setelah mengubahnya menjadi pengamat melalui konsep keterasingan. Budaya berteknologi tinggi memang telah berhasil membesarkan manusia modern sebagai pengamat atas sekelilingnya dan menumbuhkan daya kritisnya hingga tahap tertentu, tapi tidak sampai menempatkannya pada posisi kritis yang sanggup mempertanyakan segala bentuk konstruksi. Belum pula pantas disebut sebagai teater bagi kaum tertindas Boal kendati manusia penonton dan manusia aktor telah melebur di atas panggung teater kehidupan ini dan terjadi dialektika. Alih-alih menjadi upaya perubahan sosial, apalagi mendorong tindakan revolusioner, sebagaimana yang diharapkan Boal, apa yang dipentaskan oleh manusia modern tiada lain hanya untuk menjadi tontonan. Sebab, dengan menjadikan kehidupannya tontonan maka manusia modern berharap dapat mencapai tujuan tertinggi manusia, yaitu kebahagiaan.

Manusia Beranda dan Sisifus yang Bahagia

Pada tahun 1980, sastrawan Seno Gumira Ajidarma memperkenalkan Manusia Kamar kepada pembaca Indonesia sebagai judul salah satu cerpennya. Manusia kamar digambarkannya sebagai seseorang yang terasing dan kesepian di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota nan modern. Manusia yang secara sadar menarik diri dari dunia dengan memutuskan untuk “bertapa” di dalam kamarnya dan hanya mengizinkan telepon sebagai satu-satunya penghubung dengan dunia luar. Puluhan tahun kemudian, berkat bantuan dan dorongan teknologi canggih, manusia kamar kemudian “berevolusi” menjadi manusia beranda. Yaitu, manusia yang mengurung pikirannya dalam ruang bernama ponsel sementara tubuhnya tetap bebas bergerak di ruang yang lebih luas.

Manusia beranda jelas merupakan kreasi khas masyarakat industri kapitalis. Ialah manusia modern yang diasuh oleh budaya populer dan dibesarkan dalam realitas media. Manusia yang tumbuh besar dan hidup bersama ponsel. Menghabiskan sebagian besar waktu hariannya di beranda sosial media, di mana pun dan kapan pun. Si pemuja citra dengan semangat konsumsi yang menyala-nyala.

Dengan kegamangan identitasnya, sebagai hasil dari pemusatan diri sendiri yang terlalu berlebihan yang merupakan dampak dari konsumerisme dan masifikasi, manusia beranda adalah penonton, aktor sekaligus sutradara di atas panggung teater kehidupan ini.

Lakon kehidupan, adegan dramatis, dan aksi-aksi hanya dilihatnya sebatas permukaan. “Tampilan permukaan dan gaya menjadi lebih penting dan pada gilirannya menuntut semacam ‘ideologi perancang’,” demikian ungkap Dominic Strinati (2007: 256). Itulah mengapa ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa, seperti bencana alam atau kecelakaan jalan raya, manusia beranda lebih memilih menjadi penonton sekaligus sutradara, alih-alih aktor protagonis. Tragedi yang tergelar di depan matanya tidak mendorongnya untuk segera aktif membantu, melainkan justru beraksi dengan ponsel. Merekam setiap detik adegan demi menghasilkan sepotong video layak tonton. Dan bak sutradara teater tragedi Aristoteles, video itu lantas dipertontonkan di beranda sosial medianya dengan sepotong narasi bernilai moral tinggi, yang seolah diunggah demi menciptakan katarsis dalam diri penontonnya melalui emosi belas kasihan dan ketakutan. Moral konsumsi menjauhkannya dari sifat kritis, bahkan melindunginya dari rasa malu dan bersalah atas perbuatannya tersebut.

Jika tragedi orang lain diperlakukan semacam itu maka tragedi diri sendiri pun tidak jauh berbeda. Moral konsumsi membuat manusia beranda melihat kehidupan dan setiap aset yang dimilikinya sebagai modal dan investasi. Jadilah setiap adegan dan aksi yang dilakukannya sehari-hari wajib direkam sebagai bahan konten sosial media. “Ia harus bangun untuk memobilisasi terus menerus semua potensi, semua kemampuan konsumtifnya,” terang Jean Baudrillard (2013: 90). Sebab, konsumsi adalah “sebuah perilaku aktif dan kolektif, ia merupakan sebuah paksaan, sebuah moral, konsumsi adalah institusi” (Baudrillard, 2013: 91).

Moral konsumsi telah membuka jalan bagi lahirnya etika baru. Etika yang mengajarkan manusia beranda bahwa dialah makhluk yang bahagia, penuh cinta, terpuji, menawan hati, penurut, eforis dan dinamis (Baudrillard, 2013: 89). Manusia yang mempunyai keyakinan bahwa dia tidak punya hak untuk tidak bahagia.

Menurut Aristoteles, ada tiga tipe kebahagiaan. Yaitu, kebahagiaan yang terkait dengan kesenangan materi, dengan kemasyhuran, dengan kebaikan (Boal, 2008: 38). Namun, tipe kebahagiaan yang diinginkan oleh manusia beranda lain lagi. Dia menginginkan kebahagiaan yang divalidasi oleh orang lain, baik itu kesenangan materi, kemasyhuran,  kebaikan.

Demi menjawab pertanyaan Camus perihal apakah Sisifus bahagia atau tidak, barangkali ada baiknya jika kita membawa Sisifus ke masa kini dan membayangkannya sebagai manusia beranda. Sisifus yang mendorong batu sambil merekam aksinya itu sebagai bahan konten sosial media, dengan tidak lupa memasang wajah cerah penuh semangat dan selalu mengucap syukur di depan kamera agar tampaklah kebaikan itu, yang barangkali bakal mendatangkan kemasyhuran dan materi baginya dari para penonton. Sisifus yang merasa berhak bahagia walaupun hidup yang dijalaninya begitu absurd, pun ketergantungannya pada sosial media, serta validasi orang lain, sangat melelahkan dan menggerogoti jiwa. Toh, tidak ada paksaan baginya untuk menghindar dari tawaran kebahagiaan kendati itu hanya sebatas kebahagiaan melalui tubuh, bukan jiwa.

Inilah wajah baru tragedi.

*Esai ini merupakan pemenang kategori "Excelent" dalam Lomba Esai Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//