• Opini
  • Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies

Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies

Di Bandung, sejumlah remaja kelas menengah turut membentuk perkumpulan hippies. Kelompok ini menjadikan bunga sebagai simbolnya.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Grafiti di salah satu sudut Kota Bandung berisi kritik pada penguasa, 31 Agustus 2021. Di Bandung sempat tumbuh komunitas hippies antikemapanan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 Desember 2022


BandungBergerak.id - Rambut adalah mahkota, begitu kira-kira perumpamaan yang samar keluar-masuk telinga. Selain itu, rambut juga menjadi suatu hal yang diyakini dapat menambah rasa kepercayaan diri, bahkan memikat hati.

Seiring perjalanan, ragam gaya rambut kian berkembang. Misalnya saja, gaya rambut belah tengah ala Anjasmara – yang dalam amatan subjektif saya dulu begitu kerennya – jika  dilihat dalam kacamata sekarang bermakna semenjana. Sekurang-kurangnya, kini menilai sebagai perangai ketinggalan zaman.

Yang paling mutakhir ihwal berkembangnya gaya rambut, bisa dilihat dalam satu tayangan video yang viral di salah satu platform digital. Seorang pemuda dengan gaya bicara antik, memamerkan gaya rambut dirinya yang memiliki arti 'cepmek', yang merupakan akronim dari ‘cepak mekar’.

“Kamu nanyea? Rambut aku ini model cepmek yea. Kalian tau cepmek itu apa? Cepak mekar yea," ujar pemuda tersebut. Tanpa ragu – dan malu – dirinya lebih lanjut menyerukan pada khalayak yang ingin mengikuti gaya rambutnya. Menurutnya, itu sekaligus merupakan kata kunci yang harus disampaikan pada tukang cukur. Saya ulangi sekali lagi: ‘cepmek, yea.’

“Buat kalian semua yang mau potong rambut langsung aja bilang: ‘bang cukuran cepmek, yea’, cukuran cepmek, bilang aja," katanya.

Sontak saja pernyataan seorang pemuda asal Bekasi ini menjadi perbincangan publik luas. Hal ini mengingatkan pada suatu masa yang terekam dalam catatan sejarah. Pada saat itu, gaya rambut juga sempat menjadi perbincangan serius. Dan, ya, bukan hanya melibatkan sesama warga. Bahkan negara bersama segenap aparatusnya turut pula mempersoalkan gaya rambut.

Peristiwa ini, tepatnya, terjadi di era awal kekuasaan Orde Soeharto pada tahun 70an. Aria Wiratma Yudhistira, dalam prakata buku Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010), menyebut bahwa “pemerintah Orde Baru begitu cemas dengan gaya rambut gondrong di kalangan anak muda, bahkan harus sampai turun tangan melarangnya”.

Dalam kerangka lebih luas, maraknya rambut gondrong era 70an, tidak bisa dilepaskan gelombang pasang yang muncul dari subkultur barat, hippies. Saat itu, terjadi demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat pada kurun waktu 60-an. Ribuan generasi muda turun ke jalan menolak upaya pemerintah Amerika Serikat melakukan invasi ke Vietnam.

Gelombang Hippies

Berdasar penelusuran sejarah, subkultur hippies terbentuk oleh berbagai macam masalah sosial, mulai dari gerakan hak sipil, Perang Dingin, Perang Vietnam, dan masalah nuklir. Menurut Dwi Febryan hidayat, dalam skripsi berjudul “Subkultur Hippie Sebagai Kontra-Hegemoni budaya Dominan (2015)”, itulah yang membuat para hippies ikut ambil bagian dalam aksi sosial, meskipun aktivitas politik bukan fokus utama dalam subkultur hippies. Namun sejumlah faktor itu melandasi hippies menjadi oposan yang dominan.

Secara simbolik, aksi ribuan hippies tersebut acap kali menyertakan bunga. Maka tak heran jika individu yang tergabung dalam gerakan hippies ini kemudian disebut sebagai generasi bunga (flower generation). Namun demikian, istilah hippies sendiri sebetulnya masih terdengar asing bagi publik Indonesia secara luas. Barangkali, pengecualian bagi generasi yang mencicipi era 60an, atau yang mendapat privilese berupa informasi dari musik, film, dan pergaulan.

Sementara di masyarakat barat, istilah hippies konon sudah menjadi pengetahuan umum, dan kerap diartikan secara berbeda. “Ada yang mengasosiasikannya dengan gaya berpakaian, gaya berperilaku, dan gaya hidup. Sebagian ada pula yang mengklasifikasikannya dengan para pecandu narkoba, penggemar rock and roll, dan pandangan politik yang radikal sebagai hippies,” (Stone, 2008: 11, dalam Hidayat, 2015: 25).

Yang menarik, ialah konteks historis yang menyertai hippies: situasi Amerika Serikat pada saat itu memungkinkan hippies menyeruak ke permukaan. Terutama era pasca-Perang Dunia II di era 1950an. Sebagai informasi, saat itu, kemenangan Sekutu di Perang Dunia II mengantarkan Amerika Serikat pada kemakmuran di bidang ekonomi.

Secara singkat, sejumlah analis berasumsi bahwa ini merupakan efek dari kebijakan ‘New Deal’ yang dicanangkan Franklin D. Roosevelt: Upaya pemulihan dan reformasi terhadap sistem kapitalisme yang dinilai gagal mensejahterakan rakyat Amerika.

Lalu situasi yang demikian itu menciptakan kultur politik Amerika Serikat menjadi brutal. Kelompok sosialis atau individu yang bersimpati pada politik kiri, disingkirkan oleh institusi serupa FBI, yakni the House of Un-American Activities (HUAC). Organisasi ini bertugas mengawasi orang-orang Amerika yang dicurigai memiliki relasi dengan kalangan kiri. Jika kedapatan, nantinya mengakibatkan kehancuran seseorang: kehilangan pekerjaan.

“Golongan kiri yang disebut Old Left seperti Partai Komunis Amerika Serikat (CPSUA) atau partai sosial-demokratis yang lebih kecil terpaksa harus meninggalkan panggung politik. Para anggota Partai Demokrat sebagian besar pindah ke politik kanan karena menjadi bagian dari partai sayap kiri sangatlah berbahaya,” (Kunkel, 2005: 1, dalam Hidayat, 2015: 26).

Selain itu, terdapat persoalan lain yang memicu kelahiran hippies: rasisme. Saat itu, warga kulit hitam mengalami penindasan ras, terutama di negara bagian selatan. Lambat laun, timbul perlawanan terhadap keadaan, dan kemudian menyita perhatian publik luas. Hal ini menginspirasi banyak orang, terutama mahasiswa di berbagai universitas. Bersamaan dengan itu, lahir pula gerakan sipil yang berjuang menuntut hak untuk setiap warga Amerika, tanpa membedakan warna kulit manusia.

Pada tahun 1959, Student for a Democratic Society (SDS) terbentuk. Nantinya SDS menjadi kelompok berpengaruh dalam mengorganisir demonstrasi dan protes. Kelompok SDS ini juga merupakan pelopor dari gerakan kiri baru atau “New Left”: persyarikatan orang yang saling berbagi nilai dan beragam gagasan: kedamaian, solidaritas, anti-militerisme, anti-kapitalisme, dan anti-totaliterisme.

Mayoritas, anggota SDS dihuni anak muda yang menekuni ilmu sosial, politik, dan bertujuan untuk melanjutkan tongkat estafet di masa depan. Tapi, gerakan ini tidak mempunyai tempat di dalam konstelasi politik Amrik, sehingga membuat kekuatannya insignifikan.

“Pada masa awal pergerakan, SDS fokus kepada aksi langsung dan non-parlementer. Dalam hal ini, seperti membantu menyebarkan pandangan mengenai Gerakan Hak Sipil di masyarakat, dan mencoba meningkatkan kondisi [ekonomi] kelas sosial terbawah Amerika Serikat” (Kunkel, 2005:3, dalam Hidayat, 2015: 29).

Irisan yang demikian kompleks itu ditambah Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962, yang nyaris mengondisikan terjadinya perang nuklir. Saat itu, banyak warga Amerika yang memilih untuk menimbun persediaan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Meski pada akhirnya konflik berhasil diredam. Atas kesepakatan antara John F. Kennedy dan Nikita Kruschev, ketegangan tersebut dapat dihentikan.

Namun kejadian ini menimbulkan publik kebingungan, lalu berpikir, dan mengambil kesimpulan bahwa keadaan harus diubah. Dunia tidak dapat terus-menerus berada di pusaran konflik yang tak berkesudahan.

Dan pada bulan November tahun 1963, publik dihebohkan oleh kematian tragis Kennedy, sosok pemimpin yang dinilai memiliki komitmen upaya perdamaian. Dengan demikian, pesan yang diterima publik cukup jelas: kekerasan mengalahkan perdamaian.

Yang menarik lainnya, era ini juga merupakan awal dari pergerakan psychedelic. Istilah ini digunakan untuk memaknai efek dari penggunaan zat psychoactive jenis halusinogen. Saat itu, sejumlah kalangan mulai memperkenalkan ribuan hippies muda pada pengalaman psychedelic. Bahkan sejumlah ilmuwan di Harvard University berupaya meneliti halusinogen secara sains, dan kemudian menjadi penyokong utama dari ‘psychedelic spirituality’ (Hidayat, 2015: 33).

Di titik ini, tepatnya pada tahun 1966, The Diggers terbentuk. The Diggers merupakan sebuah kelompok sosial-politik yang memiliki komitmen untuk merengkuh revolusi budaya.  Mereka dikenal sebagai simbol politik hippies. Tujuan The Diggers adalah menginspirasi para anak muda untuk menjadi para revolusioner sejati (Hidayat, 2015: 34-35).

The Diggers tegas menarik garis lurus untuk menolak moralitas dan legalitas tradisional. The Diggers juga meyakini bahwa mereka mampu membuat masyarakat bebas dari konsumerisme. Hal ini dibuktikannya dengan aksi membagikan makanan gratis dan mendirikan toko gratis untuk memenuhi kebutuhan para hippies.

Namun pada akhirnya The Diggers tidak pernah mencapai tujuannya karena menyadari bahwa para hippies lebih tertarik untuk bersenang-senang daripada berkontribusi dalam upaya revolusi sosial. Seiring berjalannya waktu, jumlah hippies semakin bertambah, namun dengan demikian, malah menimbulkan masalah.

Persoalannya, tepat pada saat dimulainya upaya komersialisasi yang tengah merasuki hippies. Bahkan ada jasa tur yang menawarkan paket perjalanan untuk mengunjungi tempat berkumpul para hippies, dan ratusan toko hippies baru.  Sisanya, kita tahu, adalah sejarah: hippies jadi arus utama; Janis Joplin, The Doors dan Jimi Hendrix merajai tangga lagu.

Pada tahun 1969, konser musik legendaris Woodstock Music Art Fair menjadi simbol mereka.  Hingga pada akhirnya tahun 1970, kabar duka menyelimuti para hippies.  Janis Joplin dan Jimi Hendrix meninggal, disusul oleh kepergian Jim Morrison vokalis the Doors di tahun 1971. Atas peristiwa tersebut, sejumlah pakar kemudian menyimpulkan bahwa itu merupakan akhir simbolik dari era keemasan hippies.

Pertanyaannya, seberapa besar pengaruhnya pada dunia?

Grafiti di salah satu sudut Kota Bandung berisi kritik pada penguasa, 31 Agustus 2021. Di Bandung sempat tumbuh komunitas hippies antikemapanan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Grafiti di salah satu sudut Kota Bandung berisi kritik pada penguasa, 31 Agustus 2021. Di Bandung sempat tumbuh komunitas hippies antikemapanan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Menjalar ke Bandung

Aria Wiratma Yudhistira, dalam buku Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010), menyebut bahwa mulanya, segala informasi terkait budaya hippies dipelopori oleh sejumlah anak muda kelas menengah perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi dan pendidikan. Setidaknya, orang-orang yang dekat dengan poros kekuasaan.

Itulah yang memungkinkan banyaknya di antara mereka yang mampu pelesiran ke luar negeri, untuk kemudian melihat langsung dunia barat dengan mata sendiri. Maka demikian, “proses pembaratan (westernisasi) yang sempat terhenti pada saat pendudukan Jepang, kemudian berjalan kembali dengan lambat pada periode Demokrasi Terpimpin, dapat berlangsung lebih cepat di bawah Orde Baru” (Lombard, 2000: 90, dalam Wiratma, 2010: 49-50).

Di Bandung misalnya, terutama sejak bergesernya tampuk kekuasaan ke tangan Soeharto yang memiliki kecenderungan pada cuan Amerika Serikat, majalah-majalah seperti actueel dan Muziek ekspress banyak beredar di bursa media di Cikapundung. Artikel-artikel dalam majalah-majalah asing tersebut kemudian diterjemahkan dan dimuat dalam majalah Aktuil.

Temuan Aria lainnya juga menyebutkan bahwa di Bandung, di sebuah rumah di jalan Ir. H. Djuanda (Dago), sejumlah remaja kelas menengah turut membentuk perkumpulan hippies yang diberi nama United Haggard D.113. Sebagaimana kaum hippies di negeri asalnya, kelompok ini menjadikan bunga sebagai simbolnya. United Haggard D.113 juga kerap memakai pakaian seragam yang berwarna-warni, serta mengenakan hiasan bunga yang melambangkan love free.

“Perkumpulan tersebut memiliki peraturan yang wajib dituruti oleh setiap anggotanya. Peraturan itu antara lain menyebutkan bahwa para anggota berhak memelihara rambut, jenggot, dan kumis sepanjang-panjangnya; hubungan antara laki-laki dan perempuan pun tidak terbatas; mereka diperbolehkan melakukan hubungan seks sepuasnya karena kepuasan seksual merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan,” (Kompas, 9 Juni 1969, Wiratma, 2010: 57-58).

Dan di dalam peraturan yang diberi tajuk ‘Dasa Darma’ itu, disebutkan bahwa anggota D.113 diperbolehkan menghisap ganja dan minum-minuman keras serta menggunakan obat bius. Suatu hal yang juga diafirmasi Remy Sylado, yang saat itu mengemban amanah menjadi redaktur Aktuil.

Dalam satu perbincangan dengan Budi Warsito di channel YouTube AMwave yang tayang 28 November 2019, Remy Sylado menyebut bahwa, “di Bandung pada waktu (70an) itu banyak pemusik yang menjadi tawanan drugs – morfin – termasuk Gito Rollies dan Deddy Stanzah. Untuk menghantam itu, saya ledek-ledekin mereka dalam tulisan di majalah yang dibaca oleh anak muda: Aktuil,” ujarnya.

Saat itu, kenyataan aktual juga memungkinkan gadis-gadis sekolah ikut-ikutan melakukan seks bebas. Tapi, pada akhirnya mereka ini menjadi pelacur-pelacur tanggung.  Menurut Remy Sylado, istilah popular bagi mereka adalah gongli, akronim dari bagong lieur [red. babi hutan pusing].

“Mereka itu anak-anak SMA, saban malam nangkring di Jalan Tamblong,” kata Remy Sylado, yang mengusung sastra mbeling dalam bentuk cerita bersambung Orexas di Aktuil. Orexas sendiri bukanlah dewa atau ksatria dari mitos Yunani, tapi akronim dari organisasi sex bebas.

Ada pun Fandy Hutari, dalam esainya, merujuk buku otobiografi Fariz RM: Living in Harmony, menyebut bahwa ada grup musik hippies asal Bandung dengan nama The Prophecy, yang anggotanya campuran multibangsa. Namun The Prophecy ini hanya berdiri selama setahun, 1973-1974.

Sementara menurut Remy Sylado, ada kelompok Flower Power yang menjadi propagandis hippies pada awal 1970-an. Semangat Flower Power bahkan sempat membuat resah para orang-orang tua. “Bandung di kalangan anak muda waktu itu tidak lagi disebut Parijs van Java, tapi San Fransisco of Java,” kata Remy Sylado.

Yang menarik, sekaligus ironis, adalah perbedaan signifikan hippies yang ada di Indonesia dan di negeri asalnya. Agus Sofyan, dalam artikel Putus dirundung Malang, menyebut bahwa  di Indonesia, pemberontakan anak muda, secara eklektis disalurkan melalui bahasa nonverbal dalam bentuk peniruan tingkah laku dan gaya.

Sementara di negara asalnya, menurut Remy Sylado, perlawanan berlangsung sangat verbal, dinyatakan dengan kata-kata. Di sini, orang tidak terlatih berkalimat. Namun kita bisa menduga hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kebijakan The floating Mass (Massa Mengambang) yang diterapkan pemerintah orba. Demi stabilitas nasional, konsepsi anak-anak muda ini kemudian direduksi peranannya.

Sebagai informasi, jika pada era sebelumnya konsepsi pemuda memiliki konotasi politis – sebagaimana analisis Benedict Anderson – nah pada era orba, istilah pemuda digantikan oleh istilah baru yang lebih netral: remaja. Hal ini juga dipertegas Aria Wiratma Yudhistira, yang menyebut bahwa “iseng dan ingin bergaya adalah jawaban salah seorang anak muda yang tertangkap dalam sebuah razia rambut gondrong dan pakaian di daerah Cicadas, Bandung pada tanggal 22 Januari 1967”.

Uniknya, yang mereka gunakan itu ternyata rambut palsu, sebagaimana tergambar dalam dialog berikut: “Melihat seorang pemuda tanggung ketawa, petugas kesatuan kudjang membentak: ‘apa-apaan nih pakai rambut palsu gondrong begini?’ Pemuda ‘The Beatles’ mendjawab: Ah enggak pak, saya cuma ingin kelihatan serem dan sebenarnja iseng melulu, pak” (Wiratma, 2010: 54-55).

Pada akhirnya, meski nyaris tidak ada keterkaitan secara ideologis, gelombang hippies ini tentu saja membuat pemerintah orba takut. Sebagaimana rezim di Amerika yang menyalahkan seluruh petaka sosial pada kelompok subordinat, dan dilakukan dengan berbagai cara. Upaya-upaya serupa tampaknya diduplikasi oleh rezim orba.

Hal tersebut, mewujud pada ucapan seorang Menteri yang namanya sekarang kita kenal jadi nama jalan protokol di kota Cimahi, Amir Machmud. Dia mengatakan “meskipun bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, tetapi terhadap hippies tak perlu ramah dan pada waktunya nanti akan dilarang” (Suara Karya, 22 Januari 1972, dalam Wiratma, 2010: 45-46).

Pertanyaan selanjutnya, mengapa pemerintah begitu takut?

Baca Juga: Kuliah Umum Presiden Sukarno di Universitas Padjadjaran Bandung
RESENSI BUKU: Menelusuri asal-usul Kekayaan di Muka Bumi
Belajar dari Dr. Abu Hanifah, Sosok Multitalenta dari Zaman Bergerak

Sejarah Berulang?

Sebagaimana sekilas disinggung di muka bahwa obsesi rezim orba terhadap stabilitas demi pertumbuhan ekonomi begitu tinggi. Hal ini membuat rezim enggan mendapati kenyataan anak-anak muda yang telah dirasuki kebudayaan barat, yang dinilai materialistis [dalam pengertian dangkal; sekadar menghamba pada kekayaan], sehingga menjadi pragmatis, dan ingin meraih hasil dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Dan, ya, tentu saja hal tersebut dianggap anasir buruk bagi masa depan bangsa. Suatu hal yang tergambar dalam pidato Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang menyebut bahwa "generasi muda yang hanya bersikap imitatif dan konsumtif saja, tidak bisa diandalkan bagi masa depan suatu bangsa yang baik.... generasi muda [menurut Adam Malik] tidak boleh acuh terhadap keadaan sekelilingnya. Generasi muda harus benar-benar terlibat dalam perkembangan bangsanya" (Wiratma, 2010: 76).

Tindakan konkret pemerintah orba kemudian mewujud pada masifnya razia rambut. Di Bandung misalnya, sejak akhir Desember 1966, petugas razia yang terdiri dari kesatuan-kesatuan ABRI melakukan penertiban terhadap tren hippies yang sedang menjangkiti anak-anak muda. Walhasil, sekitar 150 remaja yang kebanyakan anak orang kaya terjaring dalam operasi, yang menurut petugas merupakan operasi paling berhasil dibanding operasi-operasi sebelumnya.

Tindakan serupa juga terjadi di Tasikmalaya. Kepala-kepala sekolah SMP dan SMA di Kabupaten Ciamis mengeluarkan peraturan yang melarang murid-murid yang berambut gondrong mengikuti ulangan umum yang berlangsung pada November 1973. Selain, mereka juga tidak diperkenankan memakai celana Cutbray dan ikat pinggang besar (Sinar Harapan, 1 November 1973, dalam Wiratma: 121)

Yang layak digarisbawahi, adalah asumsi di belakang wacana tersebut. Aria Wiratma Yudhistira menyatakan bahwa negara seolah orang tua yang mencemaskan nasib seluruh anak-anak muda Indonesia —yang sudah jelas kebanyakan dari mereka yang berulah bukan dari kalangan rakyat jelata, sehingga bisa dikatakan gagasan menyelamatkan generasi muda berarti gagasan menyelamatkan anak-anak dari orang yang berkuasa.

Namun demikian, publik tidak tinggal diam. Adanya resistensi yang mewujud mulai aksi-aksi protes menentang modal asing, mempersoalkan korupsi, hingga terjadinya peristiwa kericuhan dalam gedung DPR RI pada 27 September 1973 yang mempersoalkan RUU Perkawinan, bisa dijadikan salah tiga bukti.

Meski satu dekade kemudian, kita tahu, bahwa kuasa militer Orde Baru atas rakyat jelata tidak sepenuhnya menghilang. Hampir setiap hari ditemukan mayat bertato dengan luka tembak. Saat itu, tato dianggap anasir subversif baru.

Bahkan belakangan kita tahu, bahwa terdapat sejumlah poin yang termuat di dalam RKUHP yang berpotensi kembali menghadirkan watak kekuasaan seperti Orde Baru. Hal ini mengingatkan saya pada satu ungkapan. Kira-kira begini bunyinya, “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.” Yang menjadi ironi, ungkapan demikian juga kian relevan dengan kenyataan hari-hari ini.

Bukankah pernyataan elit yang mengasosiasikan rambut putih dengan waham kerakyatan sangat pantas ditertawakan? (Asumsi).

Jika ada yang keberatan, singkat saja: Kamu nanyeaaa?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//