• Arsip
  • Kuliah Umum Presiden Sukarno di Universitas Padjadjaran Bandung

Kuliah Umum Presiden Sukarno di Universitas Padjadjaran Bandung

Presiden Sukarno memberikan kuliah umum di kampus Universitas Padjadjaran di Bandung pada 2 Mei 1958. Gugatan pada kapitalisme.

Buku Kapitalisme Menimbulkan Kesengsaraan berisi catatan stenografi kuliah umum Presiden Sukarno di Universitas Padjadjaran Bandung pada 2 Mei 1958 diterbitkan Departemen Penerangan Republik Indonesia. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha2 Desember 2022


BandungBergerak.id—Iklim politik Indonesia jelang akhir 50an begitu hangat. Ia tak hanya melahirkan gesekan antara sesama anak bangsa yang tergabung dalam partai-partai, tetapi juga melibatkan Badan Intelijen Amerika Serikat atau CIA untuk mengacau. Sukarno, selaku pimpinan, tentu bukan main geramnya. Terutama pasca peristiwa Cikini-Raya. Pendukung Sukarno hakulyakin bahwa ini merupakan upaya kaum imperialisme untuk menghalangi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 45 sampai ke akar-akarnya.

Dalam situasi yang demikian, setelah memberikan Kuliah Umum di depan mahasiswa Universitas Indonesia, Presiden Sukarno menyempatkan diri untuk memenuhi undangan dan memberi Kuliah Umum di hadapan mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) pada 2 Mei 1958, di Bandung. Naskah Kuliah Umum Presiden Sukarno itu kemudian ditulis ulang dengan menggunakan sistem stenografi. Lalu dicetak oleh Percetakan Negara menjadi buku tipis dengan tebal 24 halaman, dan diterbitkan Departemen Penerangan Republik Indonesia dalam edisi Penerbitan Chusus dengan nomor seri 10.

Di hadapan mahasiswa Unpad, Presiden Sukarno mengemukakan sejumlah pokok persoalan yang pada jamannya menuntut untuk segera ditemukan jawaban. Hasil pembacaan keadaan aktual yang disampaikan pada Kuliah Umum tersebut secara garis besar berisi gugatan Sukarno terhadap kapitalisme, dan seperangkat ideologi yang mendukungnya. Menurut Sukarno, kapitalisme menimbulkan kesengsaraan, dan karenanya, tidak cocok untuk umat manusia, wabilkhusus rakyat Indonesia. Barangkali, hal ini merupakan salah satu upaya Sukarno menarik garis demarkasi sejelas-jelasnya.

Perhatian Bung Karno, demikian panggilan akrabnya, terhadap isu  ini sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa memang sedari muda, ia mengaku telah bolak-balik membaca teks ekonomi-politik, Capital. Kiranya hal ini yang membuat dirinya secara jitu merumuskan konsepsi marhaenisme yang bisa dibilang sangat krusial. Kelak, hasil pembacaannya ini bukan hanya digunakan sebagai upaya memahami situasi, tapi juga membuka kemungkinan rakyat tani untuk keluar dari kungkungan relasi sosial kapitalisme itu sendiri.

“Saudara-saudara, saja hendak memulai lebih dahulu mengulangi penting untuk memahami dinamika sosial masyarakat Indonesia jang hidup dalam kungkungan kapitalisme dan hubungannya dengan singkat apa jang telah saja kuliahkan di Djakarta tempo hari, jaitu mengenai apa jang dinamakan tantangan djaman, mahasiswa dengan tantangan djaman. Pada waktu itu saja katakan bahwa kita menghadapi tantangan djaman jang dahsjat sekali. Tantangan djaman jang kita hadapi sebagai anggota daripada  masjarakat kemanusiaan internasional dan tantangan djaman jang kita hadapi sebagai anggota daripada masjarakat nasional,” demikian Sukarno memulai kuliahnya di depan mahasiswa Unpad.

Sukarno kemudian menyodorkan sejumlah pertanyaan yang kemudian coba diuraikan lebih dalam.  “Apakah tantangan jang dihadapi oleh kita sebagai anggota daripada masjarakat kemanusiaan internasional?” katanya, seraya menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. “Saja katakan tantangan itu jalah: atau bangsa-bangsa hidup di dalam suasana persaudaraan. Atau djikalau tidak itu, penghantjuran daripada ummat manusia sama sekali.”

Sukarno juga menambahkan ihwal tantangan internasional yang ada pada persoalan sosial-ekonomi. Menurutnya, “Jalah salah satu pihak ummat manusia ini harus mengadakan satu masjarakat jang berdasarkan social justice, keadilan sosial. Atau manusia ini akan tetap hidup di dalam suasana telan-menelan satu sama lain, hisap-menghisap satu sama lain, tindas-menindas satu sama lain, mengexploiteer satu sama lain. Saja pakai bahasa Perantjis, ’exploitation de I’homme par I’homme’. Djadi tantangan di lapangan sosial-ekonomi internasional jalah: atau manusia mengadakan satu masjarakat dunia jang berdasarkan social justice, atau manusia hidup hisap-menghisap satu sama lain, ‘exploitation de I’homme par I’homme’.”

Sebagai informasi, bahwa dalam kerangka yang lebih luas, situasi politik dunia saat itu sedang berkecamuk Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Hal tersebut, tentunya membuat sejumlah pihak kalang kabut. Sebagaimana dijelaskan Sukarno sebagai berikut, “Memang internasional cooperation beberapa kali telah ditjoba diadakan. Pernah diadakan League of Nations jang gedungnja sekarang ini masih ada tertinggal di kota Djenewa Swiss; ditjoba pula dengan organisasi P.B.B, United Nations. Tetapi kita melihat League of Nations gagal dan kita melihat sekarang kendati ada United Nations, dua raksasa jang saja gambarkan di dalam pidato-pidato saja tetap mengintai satu sama lain ditjakrawala.”

Atas sikapnya ini, Bung Karno menuai pujian sekaligus kecaman. Sikap Sukarno, oleh sebagian pihak, dianggap memiliki kecenderungan dekat dengan satu kubu. Inilah yang nantinya dinilai problematik. Meski kemudian Sukarno menepis tudingan tersebut. Untuk kemudian menegaskan bahwa dirinya, “Hanja ingin mendjalankan politik dengan tjara Indonesia, tetap tegak mendjadi satu bangsa jang berkepribadian, satu bangsa jang berdiri di atas kaki sendiri dan bukan satu bangsa pembebek. Tetapi disalahmengertikan, dimissverstaan, dimisunderstood, dikatakan bahwa sudah menjeleweng, sudah miring ke blok Sovjet.”

Bagi Sukarno, hadirnya kecaman dalam tempo melaksanakan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 45 sampai ke akar-akarnya, merupakan suatu hal yang menjengkelkan. Begitu menyulitkan ia dan barisan pendukungnya yang hendak memaksimalkan segenap potensi rakyat Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin digunakan kekuatan reaksioner, katakanlah Imperialis, untuk mengkampanyekan betapa proposal perubahan yang didengungkan Sukarno dan pemimpin Indonesia lainnya hanyalah omong kosong belaka. Sesuatu yang “immoral”, jika memakai perumpamaan Nixon, yang saat itu menjabat Wakil Presiden Amerika Serikat.

Dan, ya, terbukti. Hadirnya kecaman tersebut kemudian dimanfaatkan kaum Imperialis untuk memberi amunisi bantuan pada luapan kekecewaan sebagian rakyat yang tergabung dalam PRRI. Hal ini, menurut Sukarno, merupakan siasat kalangan Imperialis untuk melemahkan kekuatannya. “Saudara-saudara notabene djuga bisa mendengarkan utjapan [..kecaman] ini bukan sadja dari pidato-pidato petualang-petualang jang sekarang sedang kita ichtiarkan tertangkapnja tetapi djuga misalnja daripada utjapan-utjapan dari terdakwa–terdakwa di dalam proses Tjikini-Raya,” ucap Sukarno.

Meski kemudian kita tahu bahwa gerakan PRRI berhasil diredam pada Agustus 1958. Dan pada tahun 1961, Presiden Sukarno membuka kesempatan kepada mantan anggota PRRI untuk kembali ke pangkuan NKRI, lalu kemudian diberikan amnesti. Untuk menegaskan kebijakannya itu, Sukarno kembali mengemukakan posisi berdirinya. Di hadapan mahasiswa Unpad, ia kembali menguraikan secara gamblang, bahwa gagasan yang diinisiasinya bukanlah berdasarkan kehendak Soviet.

Dalam satu tarikan nafas, ia mengatakan bahwa, “Orang tidak perlu mendjadi komunis untuk bentji kepada kapitalisme; orang tidak perlu mendjadi komunis untuk gandrung kepada social justice. Orang tidak perlu mendjadi komunis untuk bekerdja mati-matian agar supaja sistim kapitalisme ditinggalkan, diganti dengan suatu sistim jang lebih lajak dapat mendatangkan kebahagiaan bagi peri kemanusiaan.”

Yang menarik, adalah tawaran perubahan yang diajukan Sukarno untuk kemudian menjadi tonggak penting transisi perubahan sistem politik di tanah air. Hal tersebut, sebagaimana terdapat dalam petikan berikut, “Saudara-saudara, saja ini ditjap komunis, terutama sekali sesudah saja mengandjurkan demokrasi terpimpin. Saja sudah memberi keterangan, apa itu demokrasi terpimpin. Bahwa demokrasi terpimpin itu ‘has nothing to do with communism’, bahwa demokrasi terpimpin itu ‘heft niets te maken met communism’, bahwa demokrasi terpimpin itu sama sekali tidak ada hubungannja dengan komunis. Demokrasi terpimpin adalah satu demokrasi penjelenggaraan, satu werkdemocratie daripada blauwdruk [red: blue-print] masjarakat adil dan makmur jang harus kita adakan agar supaja tjita-tjita bangsa Indonesia di lapangan sosial-ekonomis dapat terselenggara.”

Baca Juga: Pagelaran Gending Karesmen Lalayang Salaka Domas di Savoy Homann Bandung
Pidato Sukarno tentang Revolusi dan Sosialisme di Alun-alun Bandung

Pilihannya hanya ada dua: Sosialisme atau Barbarisme

Sukarno yang merasa dikerjai dalam peristiwa PRRI/Permesta pada akhirnya tidak sanggup menahan kesabaran. Kemudian memberi ultimatum dengan sangat keras. Menurutnya, bahwa provokasi yang dilakukan kaum Imperalis dapat memicu lahirnya perang dunia ketiga. Untuk itu, tegas ia mengecam tindakan kaum Imperialis, dalam hal ini AS dan antek-anteknya.

Djangan main api di Indonesia! Don’t play with fire in Indonesia! Mau didjadikan Indonesia ini Korea jang kedua, mau didjadikan Indonesia ini Vietnam jang kedua. Saja berkata: Indonesia tidak bisa didjadikan Korea kedua atau Vietnam kedua Saudara-saudara. Indonesia tidak bisa didjadikan Korea jang kedua atau Vietnam jang kedua zonder perang dunia jang ketiga. Ini utjapan saja,” tegas Sukarno.

Lebih lanjut, Sukarno menguraikan refleksinya atas peristiwa kelam tersebut. Dengan pendekatan teori ekonomi-politik klasik, Sukarno menyimpulkan bahwa itu adalah siasat licik dari Imperialisme, yang akarnya dimulai dari sistem kapitalisme, yang membutuhkan penguasaan terhadap sumber daya alam, tenaga kerja murah, pasar, dan lahan untuk penanaman modal sebagai prasyarat akumulasi. Untuk itu, Sukarno kembali menekankan kembali untuk meninggalkan sistem liberal demokrasi yang sebelumnya dijalankan.

“Sudah saja katakan pula dan ini mengenai bukan sadja membawa kebahagiaan kepada manusia di manapun dia berada, tetapi social justice ini hanja bisa diadakan dengan meninggalkan sistim-sistim jang melahirkan penghisapan, penindasan, pemerasan, penjengsaraan kepada manusia. Djikalau saja diminta bitjara lebih tegas, maka baiklah saja bitjara dengan tegas. Djikalau manusia di dunia ini tidak bisa meninggalkan sistim jang dinamakan sistim kapitalisme, tegas omongan saja, maka manusia di dunia ini akan tetap hidup di dalam alam sengsara. Bukan sadja sengsara sosial-ekonomis, tetapi djuga oleh karena kapitalisme melahirkan imperialism. Imperialisme adalah identik dengan kolonialisme, melahirkan pendjadjahan, melahirkan penghinaan, melahirkan cold war dan hot war,” kata Sukarno (hlm. 7-8).

Untuk mengafirmasi penjelasannya itu, Sukarno juga memberi sedikit refleksi menyoal pengalamannya di masa silam. Saat itu, ulasan ini juga disampaikan dirinya saat memberi ceramah di dalam agenda partai yang didirikannya pada 1927, PNI. Sebagaimana lebih lanjut dijelaskan Sukarno sebagai berikut,

“Di gedung ini tatkala saja berpidato terhadap kongres P.N.I., di gedung ini saja telah katakan, liberale democratie adalah ideologi politik daripada kapitalismus in austieg. Liberale democratie adalah ideologi daripada kapitalisme jang sedang berkembang biak. Itu saja uraikan di dalam kongres P.N.I. tempo hari. Kita, sebagai tadi telah saja katakan dalam permulaan pidato saja, kita bangsa Indonesia ini tidak mau kepada kapitalisme. Tegas kita tidak mau. Kalau umpama kita mau, masa kita menulis di dalam U.U.D kita pasal 38: masjarakat adil dan makmur! Segala sesuatu jang menguasai hadjat hidup orang banjak harus diselenggarakan dan dimiliki oleh negara. Kita harus mengadakan perekonomian atas sistim kekeluargaan, etc,etc.”

Dengan lain perkataan, untuk menjawab persoalan rakyat yang kian mendesak, Sukarno menilai bahwa pilihannya hanya ada dua: sosialisme atau barbarism [kapitalisme]. Naasnya, sejarah mencatat bahwa tujuh tahun setelah Kuliah Umum di hadapan mahasiswa Unpad, situasi politik dalam negeri semakin pelik. Situasi ini memungkinkan kontestasi dan polarisasi sebelumnya berkulminasi pada Gerakan 30 September (G30S). Suatu hal yang menjadi titik awal penggulingan Sukarno dan teror pada barisan pendukung setianya.

Kelak, teror yang terjadi juga memungkinkan struktur kapitalisme berdiri tegak. Sebagaimana dirumuskan teoretikus awalnya, yang dengan akurat menyebutkan bahwa "Kapital hadir mengucur deras dari kepala hingga kaki, dari setiap lubang pori-pori, dengan darah dan kotoran".

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//