Pidato Sukarno tentang Revolusi dan Sosialisme di Alun-alun Bandung
Dalam pidatonya di Alun-alun Bandung, 20 Mei 1963, Presiden Sukarno berbicara tentang revolusi dan sosialisme. DN Aidit, Ketua PKI, ia beri kesempatan bicara.
Penulis Tri Joko Her Riadi17 Maret 2021
BandungBergerak.id - Setelah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup oleh Sidang Paripurna MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di Gedung Merdeka, Sukarno berpidato dalam rapat raksasa di Alun-alun Bandung pada 20 Mei 1963. Di depan rakyat yang berdesak-desakan menyambutnya, Si Bung Besar bercerita tentang jalan panjang revolusi untuk menghadirkan apa yang ia sebut sebagai “alam sosialisme”.
Naskah pidato Presiden Sukarno itu, lengkap dengan ucapan-ucapan Sunda yang bertebaran, dijuduli Sosialisme bukan Benda yang Jatuh dari Langit. Dokumen setebal 18 halaman yang diterbitkan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia dalam edisi Penerbitan Chusus bernomor seri 268 tersebut dicetak oleh Percetakan Negara di Jakarta.
“Revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun berjalan, tetapi masih akan berjalan bertahun-tahun lagi Sebabnya ialah oleh karena revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang kecil-kecilan, bukan revolusi peujeum, dulur-dulur, tetapi revolusi mahabesar,” demikian teriak Sukarno di depan lautan massa yang membentangkan banyak spanduk.
Sang Presiden lalu mengisahkan revolusi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia, mulai dari Prancis, Uni Soviet, hingga Tiongkok. Setiap revolusi, menurut Si Bung yang mendaku pernah juga menjadi “urang Bandung” itu, membutuhkan waktu tidak singkat.
Menurut Sukarno, rekam jejak revolusi Indonesia bisa ditarik jauh ke masa kebangkitan nasional di awal abad ke-20. Kelahiran organisasi modern Budi Utomo pada 1908 bisa dijadikan tonggak. Angkatan ini ia namai Angkatan Perintis. Empat angkatan berikutnya adalah Pencoba, Penegak, Pendobrak, dan Pelaksana.
“Jangan kira misalnya kawan-kawan revolusioner yang sekarang ini adalah berdiri sendiri, oh tidak, tidak! Kita ini adalah misalnya juga hasil daripada perjuangan kawan-kawan kita yang mati di Boven Digul. Kita adalah hasil dari pada perjuangan kawan-kawan kita yang meringkuk di dalam penjara tahun 1927, 1928, 1930, 1933,” kata Sukarno.
Untuk meyakinkan lautan massa tentang jalan panjang revolusi, Sukarno merasa perlu menyebut beberapa nama, mulai dari Chaerul Saleh, Idham Chalid, dan DN Aidit. Nama terakhir itu bahkan mendapatkan kesempatan istimewa oleh Sang Presiden untuk ikut berbicara langsung di podium.
“Saudara-saudara, saya sepenuhnya setuju apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa sosialisme tidak bisa dibina dalam satu hari, dalam satu tahun, dalam 10 tahun. Tetapi di bawah pimpinan Bung Karno, mudah-mudahkan tidak terlalu lama kita bisa mencapai sosialisme,” kata Aidit, orang nomor satu di Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bicara Usia
Baru saja didaulat sebagai presiden seumur hidup, Sukarno beberapa kali menyinggung usia dalam pidatonya. Ia mengatakan bahwa dirinya, 61 tahun ketika itu, sudah tua.
“Saya tidak tahu masih berapa tahun Allah SWT akan memberi umur kepadaku, entah satu hari, entah satu tahun, entah 10 tahun, mungkin paling-paling… ya paling-paling barangkali, Tuhan yang mengetahui, paling-paling 20 tahun lagi,” ujarnya.
Sejarah mencatat, dua tahun setelah pidato Sukarno di Alun-alun Bandung itu, terjadi gonjang-ganjing politik, yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S), yang menjadi titik awal runtuhnya kekuasaan Sang Proklamator. Revolusi dan sosialisme yang diteriakkan Si Bung kandas di tengah jalan akibat pergantian rezim.
Sukarno sendiri tidak anugerahi tambahan umur sebanyak 20 tahun. Pada 21 Juni 1970, sekitar tujuh tahun setelah pidato dalam rapat raksasa itu, ia meninggal dengan menyandang status sebagai tahanan politik.
Informasi Arsip
Judul: Sosialisme bukan Benda yang Jatuh dari Langit
Penerbit: Departemen Penerangan Republik Indonesia, Jakarta
Cetakan: I, 1963
Lokasi: Perpustakaan BandungBergerak.id