• Opini
  • Menyibak Realita Sosial, Pekerjaan sebagai Identitas Sosial

Menyibak Realita Sosial, Pekerjaan sebagai Identitas Sosial

Masyarakat memandang berbeda antara pekerja lulusan SMA dan Sarjana. Antara mereka yang bekerja di belakang meja dan yang berjibaku dalam deru mesin pabrik.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Pekerja melakukan pembuatan sepatu yang akan diekspor di pabrik sepatu Fortune Shoes, Bandung, Rabu (31/3/2021). Industri alas kaki untuk pasar ekspor mulai bergeliat setelah selama tahun 2020 terpuruk akibat pandemi dan lockdown global terutama di Eropa dan Asia. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 Desember 2022


BandungBergerak.id—Pekerjaan merupakan suatu identitas sosial yang sifatnya normatif di dalam ranah masyarakat. Oleh karena itu, pekerjaan merupakan hal yang harus dimiliki oleh orang, karena dengan seseorang bekerja dia akan memperoleh identitas sosialnya dan diakui di dalam masyarakat. Entah dalam hal profesi apa pun itu, baik tenaga ASN, pejabat birokrat, pengajar, atau pun buruh.

Berbeda dengan seseorang yang tidak bekerja. Seseorang yang tidak memiliki pekerjaan atau profesi apa pun, maka paradigma masyarakat akan dengan sendirinya menjustifikasi orang tersebut sebagai orang “Pengangguran”. Dalam hal ini, kata pengangguran sangat sarat dengan makna yang memarginalisasi dan mendegradasi orang tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki pekerjaan akan merasa teralienasi dari lingkungan masyarakatnya sendiri. Maka pekerjaan adalah predikat yang diperjuangkan oleh setiap orang apabila orang tersebut tidak ingin teraleniasi dari masyarakatnya sendiri. Alhasil, setiap orang saling mengadu nasib dan berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan.

Terlepas di antara sekian banyaknya profesi dari berbagai macam pekerjaan, profesi buruh selalu menjadi yang paling sering dituju oleh seseorang tatkala dia hendak bekerja. Lantas mengapa profesi ini begitu digandrungi oleh setiap orang? Alasannya sederhana. Karena seseorang sangatlah ingin untuk memperoleh identitas sosialnya. Ini merupakan implikasi dari budaya masyarakat itu sendiri. Seseorang tidak akan rela disebut sebagai “pengangguran” yang menjungkirkan harkat dan martabatnya personalnya, oleh karena itu dengan berbagai cara seseorang akan berupaya mencari pekerjaan.

Demi menghindari penyematan kata “pengangguran” maka berbondong-bondonglah orang memasukkan lamaran-lamaran ke perusahaan. Namun, perusahaan-perusahaan sering kali meninjau latar belakang pendidikan berdasarkan ijazah yang akan menentukan posisi pekerjaan yang kelak akan diperolehnya. Ijazah SMA tentu berbeda dengan ijazah Sarjana. Dalam hal pekerjaan, mereka yang memiliki ijazah Sarjana sering kali bernasib lebih baik daripada mereka yang hanya memiliki ijazah SMA. Mereka yang memiliki ijazah Sarjana cenderung memiliki profesi yang hanya kerja di belakang meja seharian berbeda dengan lulusan SMA yang cenderung memiliki profesi di balik deru mesin pabrik.

Namun yang menjadi persoalannya adalah tentang latar belakang pendidikan. Tidak semua orang bisa menikmati pendidikan di taraf Sarjana, yang niscaya akan mendapat posisi pekerjaan yang ideal. Sebagian besar mereka yang berada pada taraf pendidikan SMA akhirnya harus merelakan nasibnya yang kalah bersaing dengan orang yang memiliki taraf pendidikan Sarjana. Alhasil mereka yang hanya memiliki ijazah SMA, sebagian besar mencari profesi kerja sebagai buruh pabrik guna mempertahankan hidupnya dan memperoleh identitas sosialnya.

Baca Juga: Menyiapkan Guru ≠ Menyajikan Mi Instan
Pers dan Partai Politik Kita
Kampus Bukan Panggung Politikus
Dekadensi Pesantren dalam Menyiasati Tradisi

Antara Sarjana dan Tamatan SMA

Mereka yang hanya memiliki latar belakang taraf pendidikan SMA sebagian besar berbondong-bondong menjadi buruh pabrik. Namun, untuk menjadi buruh pabrik rupanya tidak semudah yang dikira. Ada beberapa perusahaan industri yang memiliki regulasi-regulasi tersendiri yang diterapkan di dalam perusahaannya. Salah satu contoh konkretnya ialah mereka harus membayar uang masuk (sogok) untuk menjadi seorang buruh pabrik.

Beberapa dari mereka yang hendak menjadi buruh, harus memiliki uang sogok sebelum mereka bisa berprofesi sebagai buruh. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Hati nurani kita akan turut berempati melihat nasib mereka yang dijepit oleh situasi seperti ini.

Tentu tidak semua perusahaan industri seperti ini. Akan tetapi, fenomena semacam ini barangkali pernah dilihat atau dirasakan oleh semua orang. Entah mengapa sebab-musababnya ada perusahaan-perusahaan industri yang seperti itu. Hal ini sangat sungguh tidak manusiawi. Ini sama saja seperti menghisap dan memeras dari orang yang lemah tak berdaya.

Sangat berbeda dengan mereka yang memiliki predikat Sarjana. Biasanya mereka yang memiliki titel Sarjana akan didahulukan dan ditinjau apabila mereka hendak melamar kerja bahkan kebanyakan dari mereka bisa memperoleh pekerjaan tanpa uang sogokkan. Namun, lihatlah sekali lagi mereka yang hanya memiliki ijazah SMA. Mereka bernasib berbeda sekali.

Sekarang kita mengenal distingsi antara Sarjana dan tamatan SMA yang pada struktur hierarki masyarakatnya sangat berbeda. Untuk sekedar memperoleh pekerjaan saja, mereka yang berijazah SMA harus benar-benar berjuang untuk mendapatkan identitas sosialnya dalam meraih pekerjaan. Bahkan tak jarang mereka tamatan SMA rela mengeluarkan uang sogokkan demi pekerjaan yang ia butuhkan, alhasil mereka pun mendapat pekerjaan.

Akan tetapi, mereka yang tamatan SMA tatkala mendapatkan pekerjaan sering kali mendapatkan posisi yang sangat berbeda dengan mereka yang Sarjana. Mereka yang memiliki gelar Sarjana sering kali mendapatkan pekerjaan yang hanya sebatas duduk di belakang meja dan hanya mengotak-atik komputer.

Berbeda dengan mereka para buruh yang harus menyeka peluh karena berjam-jam berdiri meninjau mesin pabrik yang bergemuruh. Mereka bekerja dengan banting tulang serta mengeluarkan seluruh tenaganya dalam bekerja. Hal ini sangat berkebalikan dengan mereka yang bekerja yang hanya sebatas duduk di belakang meja.

Dari segi upah yang diterima pun, sebagian besar para buruh menerima upah dengan ketetapan UMR yang berlaku di daerah tertentu. Barangkali ini tidak jauh berbeda dengan mereka yang bekerja di belakang meja. Namun perbedaan yang paling kontrasnya ialah terletak pada pekerjaan itu sendiri. Mereka hanya duduk dan mungkin berpikir di belakang meja, sementara buruh harus banting tulang dan berjuang serta mengeluarkan ekstra tenaga dalam pekerjaannya.

Paradigma Masyarakat

Akhirnya profesi buruh adalah profesi yang cukup banyak diemban oleh seseorang yang di mana orang tersebut telah berhasil menggapai identitas sosialnya dan terhindar dari penyematan gelar “pengangguran”. Namun ketika mereka sudah berhasil keluar dari tuntutan sosialnya, mereka kembali harus menghadapi suatu realita yang pahit.

Realita pahit ini menikam para buruh. Di antaranya adalah mereka harus menerima kenyataan bahwa pekerjaan yang mereka miliki berbeda jauh dengan mereka yang bekerja di belakang meja. Hal ini tentu juga memantik kecemburuan sosial. Para buruh yang tiap kali bekerja harus mengeluarkan dan menitiskan peluh di sekujur tubuh karena tanggung jawab pekerjaan yang harus mereka emban. Akan tetapi, mereka yang bekerja di belakang meja tidak mengeluarkan setetes pun peluh dalam hal pekerjaannya. Mereka hanya duduk santai sembari menikmati kopi tanpa harus mengeluarkan tenaga ekstra.

Paradigma masyarakat sebagian besar tidak menyadari perbedaan ini. Yang terpatri pada umumnya pada paradigma masyarakat adalah yang penting kerja, kerja, dan kerja tanpa melihat kesenjangan yang begitu memilukan ini. Alhasil, mereka pun saling bersaing untuk memperoleh pekerjaan supaya mereka tidak teralienasi dari masyarakatnya sendiri.

Walau sekarang kita tahu, bahwa pada akhirnya sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai buruh yang meringkih dan dipisahkan oleh latar belakang pendidikan. Mereka harus menahan getir dalam tuntutan masyarakatnya sendiri. Paradigma masyarakat pun tetap lebih mengidealkan mereka yang bekerja di belakang meja daripada mereka yang mendera di belakang suara-suara riuh mesin pabrik.

Sebuah langkah upaya yang bisa kita lakukan ialah mengubah cara pandang masyarakat itu sendiri. Mereka harus lebih bisa melihat kesenjangan yang dialami oleh para buruh. Dengan begitu paradigma masyarakat sendiri pun akan sadar dengan sendirinya bahwa para buruhlah yang seharusnya dilihat dalam posisi sosialnya ketimbang mereka yang bekerja di belakang meja.

Dengan begitu mereka akan sadar bahwa, para buruh yang sudah sepatutnya mendapatkan sebuah kehormatan dan sanjungan di masyarakat bukan malah teralienasi dan termarginalisasi dalam lingkungan sosialnya sendiri.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//