• Opini
  • Dekadensi Pesantren dalam Menyiasati Tradisi

Dekadensi Pesantren dalam Menyiasati Tradisi

Sudah sering bermunculan di portal media massa kasus-kasus yang mengkontruksi masyarakat menjadi gamang atas pondok pesantren.

Mohamad Akmal Albari

Mahasiswa, aktif membuat blog

Umat Islam kala beritikaf di masjid Pusat Dawah Islam, Bandung, Jawa Barat, 2 Mei 2021. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 November 2022


BandungBergerak.id - Pada tahun 2021 lalu, saya lulus dari sebuah pondok pesantren di Tasikmalaya. Sungguh betapa mulia pesantren sebagai candradimuka para santri menjajaki atmosfer spritualitas dan moral di dalamnya. Pengajian-pengajian sangat rutin saya tekuni, di pondok saya memang terbagi menjadi beberapa asrama putra maupun putri.

Banyak sekali hiruk-pikuk menjadi seorang santri, pengajian kitab-kitab klasik membentuk kualitas santri menumbuhkan ajaran keislaman, tentu pengabdian kepada kiai dan pesantren juga merupakan tanda kecintaan. Dikatakan sebagai pondok pesantren modern tampak dari segi bangunan saja, predikat pesantren tradisional cukup untuk menjaga kultur-kultur yang ada.

Lepas dari cerita tersebut, pondok pesantren merupakan lembaga pengkaji keislaman secara komprehensif, baik segi literatur ulama-ulama klasik atau turos, moral secara vertikal dan horizontal dan kemampuan (skill) seperti memasak, menyuci, public speaking, berkeasi dan berinovasi, dan banyak hal. Ini merupakan kompetensi santri memposisikan diri agar survive di dunia luar. Syiar-syiar agama Islam terus ditempuh oleh para santri dan kiai dalam lingkup pesantren dan luar pesantren. Adapun almarhum kiai saya kala mondok di Subang selalu menjadikan visi pesantrennya agar santri menjadi intelek yang muttaqin dan muttaqin.

Nilai yang ditanamkan kepada santri di pesantren adalah perjuangan para leluhur dahulu membentuk lembaga yang bernamakan pesantren. Sekitar abad ke-16 Masehi, Sunan Ampel atau Raden Muhammad Ali Rahmatullah mengasuh para santri di Ampel Denta. Kaderisasi santri untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam membuahkan islamisasi melalui pesantren di berbagai daerah nusantara. Estafet perjuangan penyebaran dari kiai ke santri ternyata membentuk suatu tradisi yang berbeda (Muhakamurrohman: 1970). Di sini, bukan corak kehidupan pesantren modern atau tradisional yang akan dibahas, tetapi pengalaman subjektif penulis mengamati tradisi-tradisi pesantren yang kian pudar baik secara mekanisme yang semakin hanyut kehilangan keotentikan jiwa pesantren dan perilaku-perilaku santri maupun kiai.

Fenomena Sponsor

Beberapa hari ke belakang, saya ditemui kawan-kawan santri Tasikmalaya, di pondok yang sama dengan saya, mereka menceritakan betapa hebat pergulatan pesantren untuk menjaga martabat dari sponsor-sponsor yang masuk ke dalamnya. Padahal memang tidak salah selagi hal tersebut mempercepat perkembangan pesantren mempercantik kualitas. Penyelenggaran ajang duta dalam lingkup pesantren adalah hal baru ketika sponsor itu datang. Dengan beberapa pemberian atau timbal balik kepada pihak lembaga pesantren, acara yang diusung sponsor sangatlah megah dan meriah. Tetapi saya melihat, kenapa dengan pertimbangan cepat santri dijadikan promotor sponsor tersebut?

Okelah, tidak bagus berburuk sangka (su’udzon) terhadap fenomena itu. Tidak aneh juga jika sponsor-sponsor datang di berbagai pesantren untuk mensukseskan acara yang dirancangkan sponsor tersebut. Jika memang dikarenakan globalisasi dan modernisasi merubah lembaga tradisional menyerap konsep lembaga pendidikan modern yang lebih teratur, maka banyak juga peminat yang meninggalkan lembaga tradisional tersebut (Muhakamurrohman: 1970). Katakan ini praktik al-muhafadzah ala qadimi salih wal akhdu bil jadidil aslah (menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik).

Melihat dari acara sponsor tersebut hanyalah ajang yang tidak menjawab tantangan zaman dan sekadar komoditas lingkup pesantren. Siasat menjaga tradisi kepesantrenan hilang dari orientasi yang menjawab bagaimana santri yang dididik oleh pesantren tradisional di tengah abad ke-21. Representasi kiai dan ulama sebaiknya dimunculkan sebagai patron pesantren meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pondok pesantren. Adanya kultus kiai dan ulama pesantren akan lebih baik dikelola secara multiliterasi, yakni mencangkup literasi visual, literasi informasi, literasi budaya, dan literasi digital (Iswanto: 2020).

Baca Juga: Di Ujung Ramadan, Pendiri Pondok Pesantren Margasari Cijawura Wafat
Pesantren Sukamiskin, Ngalogat dan Debat dalam Budaya Ki Sunda
Sosiolog UI Meninjau Tradisi Kekerasan di Pesantren

Gejala-Gejala Kemorosotan Pesantren

Keterlibatan pesantren pada kemajuan bangsa dan pelopor kader-kader yang cerdas dan bermoral adalah pencapaian yang senantiasa dirawat. Lebih lanjut, kondisi sosio-kultural selalu terjaga dari budaya barat. Sudah sering bermunculan di portal media massa kasus-kasus yang mengkontruksi masyarakat menjadi gamang atas pondok pesantren. Dari mulai kekerasan, pelecehan seksual, politisasi hingga kematian. Ini juga menjadi pertimbangan khalayak umum memberikan stigma negatif.

Prototipe pesantren memperbaiki moral anak bangsa berada di posisi terbalik, adanya pengeroyokan dan kekerasan bukanlah hal tabu dalam budaya Indonesia. Namun, itu tidak ada bedanya dengan lembaga pendidikan pada umumnya yang sering terjadi. Pengeroyokan di Ponpes Darul Qur’an Lataburo, perkelahian berujung maut di ponpes Daar El-Qolam Tangerang dan penganiayaan senioritas di Gontor hingga tewas [Deret Kasus Kekerasan di Pesantren Berujung Maut 2 Bulan Terakhir, cindonesia.com, Kamis, 8 September 2022].

Selain itu, kasus pelecehan seksual terhadap santriwati menandakan krisis religiusitas kaum pesantren. Pencabulan yang dilakukan oleh kiai di Lumajang, pemerkosaan 3 ustdaz di Depok, Pimpinan Ponpes di Subang lakukan perilaku bejat, pengurus Ponsep hamili belasan santriwati dan pelecehan oleh anak kiai di Jombang [5 Kasus Pelecehan Seksual Dalam Lingkungan Pondok Pesantren di Indonesia, Para Pelaku Berkedok Petinggi Ponpes, tvonenews.com, Kamis, 14 Juli 2022].

Permasalahannya bukanlah pada tingkat kepercayaan publik terhadap lingkungan pesantren maupun stigma buruk, layaknya teroris, konservatif, kuno dan tidak kompatibel. Namun, perilaku apa yang ditawarkan oleh pondok pesantren kepada masyarakat, model komunikasi yang ramah dan santun atau radikal? Santri yang ditempa ilmu agama di pesantren sudah sejauh mana merepresentasikan anak bangsa yang bermoral? Tradisi-tradisi saling cium tangan, mengucapkan salam, saling berbagi dan membantu, hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi sesama harus terus dijaga.

Hal-hal sederhana seperti itulah yang selalu mengingatkan jati diri sebagai santri maupun alumni pesantren. Tujuannya agar tidak menjurumuskan pada krisis identitas dan dekandensi. Upaya-upaya politisasi aktor atau partai politik juga ada batasan-batasan tertentu mempengaruhi perilaku kolektif santri yang merdeka dan bebas, tidak direkayasa oleh kemegahan duniawi. Revitalisasi dan rekonsiliasi perlu digalakkan namun tetap terbuka pada perkembangan dunia. Daz prinzip dar moderne ist der neubau (prinsip modernitas adalah membangun kembali).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//