Menyiapkan Guru ≠ Menyajikan Mi Instan
Nasib guru ternyata masih jalan di tempat. Refleksi pada peringatan Hari Guru Nasional.
Fauzan
Pegiat Pendidikan dan Literasi
25 November 2022
BandungBergerak.id — Setiap tanggal 25 November, dunia pendidikan merayakan peringatan Hari Guru Nasional dengan caranya masing-masing. Yang paling masyhur di kalangan guru-guru, di daerah terutama, adalah gerak jalan. Entah sejak kapan ini menjadi lumrah dan apa makna di balik penyelenggaraannya. Namun demikian adanya, peringatan hari guru nasional sangat identik dengan gerak jalan.
Sebenarnya makin hari makin banyak ragam cara guru merayakan hari jadinya. Orang tua siswa bahkan siswa itu sendiri tidak jarang menyampaikan ungkapan terima kasih pada momentum Hari Guru Nasional ini. Bentuk syukur karena guru menjadi perantara untuk mengantar mereka ke gerbang masa depan.
Merunut sejarah, Hari Guru Nasional mulai diperingati pada medio 90-an dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Meskipun jika diteliti lebih jauh, peraturan itu lebih kepada pernyataan resmi hari lahir organisasi profesi guru terbesar di negeri ini. Sungguh sangat politis. Tapi memang butuh political will hingga guru bisa benar-benar diperhatikan.
Lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals masih sangat relevan hingga saat ini. Sekalipun sejak lagu itu dirilis, ada sedikit demi sedikit perbaikan. Namun demikian, guru masih saja profesi yang belum berada pada ‘marwah’ yang selayaknya. Di banyak daerah, mereka masih jauh dari sejahtera. Gajinya pun masih jauh di bawah UMR (Upah Minimum Regional).
Padahal, ‘kue’ anggaran untuk pendidikan masih merupakan yang terbesar. Amanat untuk mengalokasikan minimal 20 persen APBN maupun APBD nampak tetap dijalankan negara. Tapi entah kenapa besarnya proporsi anggaran itu masih belum cukup untuk setidaknya membuat guru digaji minimal UMR.
Belum lagi jika berbicara tentang rasio kebutuhan guru dibandingkan dengan jumlah siswa. Masih sangat jomplang. Kemdikbud memproyeksikan sekira 316,5 ribu guru PNS akan pensiun pada kurun tahun 2022-2026. Saat ini tengah digenjot program sejuta guru untuk menutupi kekurangan itu. Semoga saja ini jadi solusi.
Pada kenyataannya, banyak guru yang pada akhirnya ngajegang mengajar melebihi jam yang seharusnya. Kecepatan pengadaan guru melalui seleksi CPNS/PPPK tidak berjalan lurus dengan pemenuhan kebutuhan di sekolah. Sementara pihak sekolah juga terganjal aturan larangan untuk mengangkat guru honorer. Seperti makan buah simalakama jadinya.
Baca Juga: Pers dan Partai Politik KitaKampus Bukan Panggung Politikus
Pengembangan Guru Butuh Cetak Biru
Permasalahan pemenuhan kuantitas guru berkelindan dengan kualitas kompetensinya. Masih cukup banyak guru yang tidak lulus Program Profesi Guru (PPG). Data Kemdikbud menunjukkan bahwa rata-rata skor kompetensi guru pada tahun 2021 lalu hanya berkisar di angka 50,64 poin.
Padahal, sungguh sangat banyak program peningkatan kompetensi yang telah diselenggarakan. Entah apa yang tidak sinkron. Apakah programnya yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru atau malah kesiapan para guru sendiri untuk mau dan mampu meningkatkan kompetensi dirinya sendiri yang masih minim. Atau jangan-jangan program peningkatan kompetensinya hanya sekadar lalu untuk ‘menuntaskan’ program kerja?
Peringatan Hari Guru Nasional sudah semestinya dijadikan momentum untuk berkontemplasi mengenai cetak biru pengembangan guru ke depannya seperti apa. Perlu perencanaan matang dengan visi jauh ke depan, dalam jangka panjang. Bukan semata insidental dalam kurun waktu setahun dua tahun atau bahkan sebulan dua bulan.
Berpikirnya mesti untuk sepuluh tahun dua puluh tahun ke depan. Petanya harus mulai disusun. Agar siapa pun eksekutornya, dari kalangan manapun pejabatnya bisa mengikuti guidance tersebut. Finlandia jadi salah satu negara dengan pendidikan paling maju bukan disiapkan setahun dua tahun lalu, tapi sudah sejak berpuluh tahun lalu. Hanya Ind*mie yang instan, pendidikan jangan.
Apalagi ini menyangkut gurunya. Sebab, kunci utama keberhasilan proses pendidikan ada di tangan mereka. Guru jangan hanya dijadikan komoditas politik lima tahunan karena jumlahnya potensial untuk meraup suara. Tapi perhatikan juga nasib mereka. Antarkan mereka kepada ‘marwah’ yang semestinya. Tabik.