• Opini
  • Kampus Bukan Panggung Politikus

Kampus Bukan Panggung Politikus

Dengan mengusung diskursus secara terbuka, kalangan akademik punya kesempatan berdialog dan mengupas gagasan dari politikus.

Sugyarto Mustakim

Mantan Mahasiswa Universitas Brawijaya

Demonstrasi mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, menolak kampus dijadikang panggung politikus. (Sumber Foto: Sugyarto Mustakim/Penulis)

11 November 2022


BandungBergerak.id - Kedatangan politikus ke dalam kampus merupakan fenomena yang kerap kali terjadi, apalagi ketika menjelang kontestasi pemilu. Bentuk kedatangannya pun dikemas sebaik mungkin seumpama menjadi pembicara dalam acara seminar atau menjadi pemateri pada kuliah tamu.

Universitas Brawijaya Malang (UB) menjadi salah satu kampus pada tahun ini yang sangat sering menerima bahkan menghadirkan politisi. Politisi yang hadir pun bukan orang sembarangan, mulai dari jabatan anggota DPRD, Bupati, hingga setingkat Menteri. Beberapa diantaranya adalah Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto, Menteri Lingkungan Hidup RI Siti Nurbaya Bakar, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Menteri Perdagangan RI Zulkifli hasan dan yang terbaru kemarin (02/11/2022), Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo.

Menyikapi berbagai tokoh politik nasional yang masuk ke UB, mahasiswa menggelar aksi demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap pihak kampus. Mahasiswa UB khawatir jika kampusnya dijadikan ladang kampanye oleh para tokoh politik tersebut. Apalagi, saat ini belum momentum waktu kampanye.

Perdebatan perihal boleh atau tidaknya melakukan kampanye politik di kampus menjadi babak baru demokrasi politik Indonesia. Pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa kegiatan kampanye di kampus pada dasarnya diperbolehkan menuai pro dan kontra. Pihak kontra menilai bahwa pernyataan ini bertentangan dengan undang-undang dan ditakutkan mengganggu integritas kampus yang harusnya tidak boleh memihak (kecuali pada kebenaran).

Kejadian ini juga menuai respons dan pertanyaan besar bagi kalangan akademik, terkhususnya mahasiswa UB sendiri. Politisi yang sebelumnya sangat sulit untuk ditemui, tiba-tiba berbondong-bondong ingin berdatangan dan tampil dalam acara yang digelar oleh kampus. Berangkat dengan alasan untuk silaturahmi sekaligus memberikan ilmu, namun pada realitanya tidak jarang justru yang ditemui hanyalah memanfaatkan kampus sebagai panggung untuk promosi atau branding diri sendiri dan golongannya.

Persiapan menghadapi pesta demokrasi tahun 2024 mendatang tentu membuat partai politik akan melakukan segala cara untuk menggaet dukungan sebanyak-banyaknya. Untuk mendapatkan dukungan tersebut tentu strategi yang digencarkan juga berbagai macam bentuk. Salah satunya dengan merencanakan kampanye di lingkungan perguruan tinggi.

Retorika dari politisi tentu akan sangat dahsyat pengaruhnya apabila mahasiswa yang hadir menelan bulat-bulat argumentasi yang dilontarkan. Apalagi dalam hal ini adalah mahasiswa baru, karena mahasiswa baru sebagai pemilih pemula menjadi sasaran yang cukup empuk dijaring simpatinya untuk memilih partai politik tertentu. Sehingga muncul dugaan terjadi bentuk aktivitas politik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan golongan, kelompok, bahkan tendensi kepentingan pribadi.

Lantas, Bolehkah Kampanye di Kampus?

Kekuatan kampus cukup berpengaruh dalam lingkup demokrasi politik. Utamanya di daerah, karena kampus merupakan basis anak muda yang akan menjadi pemilih serta akan berkontribusi mewarnai kontestasi politik pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, kampus dianggap sangat penting menjadi target sasaran dalam keberhasilan kampanye.

Meskipun pada praktiknya lembaga pendidikan (utamanya universitas) ada banyak organisasi berbasis atau berafiliasi dengan partai politik. Akan tetapi kampanye di lingkungan pendidikan melanggar pasal 280 UU No. 7 Tahun 2017 dan pasal 69 PKPU No. 23 Tahun 2018. Jangankan kampanye, menempelkan poster calon saja tidak diperbolehkan dalam lingkungan pendidikan. UU No.7 Tahun 2017 dalam pasal 280 ayat 1 huruf (H) telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tempat pendidikan adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.

Hal itulah yang kemudian menjadikan universitas harus disterilkan dari politik praktis. Kedudukannya sebagai ruang akademis harus netral dari politik karena harus lebih mengutamakan aktivitas tri dharmanya: pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Meskipun individunya berhak untuk berpolitik, karena pendidikan politik tetap boleh dilakukan secara netral untuk mengajarkan demokrasi bagi mahasiswa dengan catatan tidak mengajak untuk memihak pada partai politik tertentu.

Ketika perguruan tinggi terlalu terjun dalam politik maka dikhawatirkan netralitas dan independensinya akan terganggu sehingga akan berimplikasi pada kepercayaan masyarakat yang akan makin berkurang, serta kredibilitasnya akan dipertaruhkan. Apalagi ketika perguruan tinggi mendukung partai yang kerap melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan, misalnya: korupsi, menindas rakyat, ingkar janji, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Indeks Kepercayaan Publik terhadap Kepolisian dalam Sorotan
SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1: Melahirkan Perlawanan pada Penjajahan
SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #2: PSSI Menentang Penjajahan Belanda

Bagaimana Menyikapinya?

Jika sasaran kampanye adalah anak muda, maka yang perlu dilakukan membuka sebanyak-banyaknya ruang edukasi pendidikan politik. Bukan kampanye kepentingan. Karena kampanye politik akan mereduksi ruang ilmiah. Apalagi jika dosennya sudah bermain pada ranah politik praktis.

Sebenarnya, penulis tidak mempermasalahkan politikus datang ke kampus. Justru kedatangannya kadang kala menjadi privilege bagi mahasiswa aktivis untuk sekaligus menyampaikan aspirasi dan keresahan. Namun, menjadi masalah ketika politikus yang diundang melakukan kampanye di saat waktunya belum tiba, apalagi dengan menggunakan berbagai macam atribut atau identitas partai.

Perguruan tinggi dengan kultur akademis jika ingin benar-benar menghadirkan politikus, seyogianya perlu mengusung konsep acara secara terbuka dan terang-terangan bagi seluruh masyarakat kampus. Serta ditunjang dengan memprioritaskan etika akademik, sehingga diskursus yang terbangun akan berbobot dan tidak hanya berorientasi pada indoktrinasi kemenangan saja. Karena jalannya kampanye, pasti selalu diselimuti oleh unsur-unsur kebencian, SARA, tindakan tidak etis, dan janji-janji manis untuk meraup suara dan pujian.

Dengan mengusung diskursus secara terbuka, kalangan akademik punya kesempatan berdialog dan mengupas gagasan dari politikus. Ketika dialektika forum yang terjadi adalah menguji ide dan pikiran, narasi yang dilontarkan oleh politikus tidak akan sama dengan kampanye di pesta-pesta rakyat. Dengan begitu, kualitas politikus bisa dinilai dan kampus sejatinya sudah berkontribusi nyata dalam arena politik tanpa terjebak pada pandangan publik sebagai basis kawan (suara) dari partai politik.

Bukan hanya itu, membuka ruang bagi politikus untuk masuk kampus harus senantiasa ditunjang dengan regulasi yang ketat dan rigid. Misalnya, menjamin kampus yang mengundang tidak memiliki kepentingan dengan politikus. Selanjutnya, memastikan bahwa tidak ada civitas akademika yang menjadi anggota partai politik ataupun tim sukses politikus. Kampus harus menjaga independensi dan dipastikan steril dari keberpihakan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//