Indeks Kepercayaan Publik terhadap Kepolisian dalam Sorotan
Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis survei tentang meningkatnya kepercayaan publik terhadap Polri. Namun keraguan membayangi hasil survei ini.
Penulis Bani Hakiki15 Desember 2021
BandungBergerak.id - Tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat negara di Indonesia selalu jadi isu yang tak pernah usai dibicarakan masyarakat, termasuk bagi warga Bandung. Bahkan, sejumlah peristiwa pelanggaran HAM diduga masih terus terjadi selama pandemi Covid-19.
Meski demikian, lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei tentang meningkatnya kepercayaan publik terhadap Polri, yakni dari 72 persen pada 2020 menjadi 80,2 persen pada tahun 2021. Survei yang menggunakan metode multistage random sampling (sampel acak) ini dilakukan terhadap 2.020 responden berusia lebih dari 17 tahun, dengan margin of error sekitar 2,9 persen.
Surya Amin (24), seorang warga Kota Bandung sekaligus mahasiswa beranggapan lain. Ia mengaku menyaksikan dan mengalami sendiri praktik pelanggaran hukum oleh anggota kepolisian, khususnya pada peristiwa demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019 dan Tolak Omnibuslaw 2020.
“Dilihat dari pengalaman dua tiga tahun ke belakang aja represivitas polisi terhadap warga tinggi pisan. Kekerasan, pemukulan, sampai masuk ke kampus-kampus bahkan,” tuturnya saat ditemui di Tamansari, Bandung, Senin (13/12/2021).
Menurut Indikator Politik Indonesia, selama 8 tahun terakhir, indeks kepercayaan terhadap Polri diketahui mengalami pasang surut. Pada 2014 (57 persen), 2015 (68,6 persen), 2016 (73,2 persen), 2017 (76,5 persen), 2018 (79,8 persen), dan 2019 (80 persen).
Terlepas dari itu, Surya juga merasa data yang terlampir dalam survei tidak relevan dengan pandangannya. Dalam situasi tersebut, rasa kepercayaannya terhadap aparat kepolisian justru cenderung mengendur. Ini terjadi berdasarkan pangalamannya di lapangan, mulai dari masalah lalu lintas seperti tilang, hingga represivitas pada demonstran.
“Sekarang, survei-survei yang dikeluarkan itu jelas-jelas kontradiktif dan akal-akalan aja,” ungkapnya.
Baca Juga: Amnesty International Indonesia: Serangan terhadap Pembela HAM Tumbuh Subur Sepanjang 2021
Peringatan Hari HAM Internasional di Bandung di Tengah Tumpukan Kasus
Kekerasan yang Berulang
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mencatat berbagai kasus represivitas aparat di Bandung kerap terjadi ketika masyarakat menyalurkan haknya, yaitu berpendapat di muka umum melalui unjuk rasa. Kasus represivitas aparat ini juga menjadi sorotan dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2020, LBH Bandung.
Lembaga pengacara publik tersebut sidikitnya mencatat ada 5 kasus yang paling disorot, di antaranya aksi menolak Undang-undang Omnibus Law. Anggota Divisi Riset dan Kampanye LBH Bandung, Heri Pramono melihat ada pengulangan sikap represif yang dilakukan aparat. Dan sikap ini cenderung dibiarkan.
“Kita melihat adanya pembiaran, bukannya melindungi tapi malah cenderung membiarkan (kekerasan). Apalagj tahun sekarang subur sekali kriminalisasi, ya,” ujarnya, saat disambangi di kantor LBH Bandung, Senin (13/12/2021).
Masing-masing kasus yang dihimpun dalam Catahu 2020 LBH Bandung memiliki pola pelanggaran yang sama. Bentuk-bentuk pelanggarannya berupa tindak kekerasan, penyiksaan dan penghukuman tidak manusiawi, serta penghalangan terhadap bantuan hukum.
Khusus terkait tindak kekerasan, ada beberapa bentuk yang sering kali dipraktikkan. Contohnya, seperti jari yang diinjak di atas lantai atau aspal, pemukulan, dipaksa mengaku sebagai provokator, dicap anggota golongan tertentu, dan lain-lain.
“Ini cara-cara lama, bagaimana negara membuat narasi untuk mengonter untuk melemahkan gerakan-gerakan masyarakat sipil. Selama masih belum bisa menerima kritik, produksi seperti ini akan terus berulang,” tegas Heri.
Bandungbergerak.id telah menghubungi Kabid Humas Polda Jawa Barat, Erdi Adrimulan Chaniago pada Selasa (14/12/2021) dan Rabu (15/12/2021), namun belum mendapat tanggapan.