• Narasi
  • SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1: Melahirkan Perlawanan pada Penjajahan

SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1: Melahirkan Perlawanan pada Penjajahan

Sepak bola bukan sekadar permainan 11 vs 11. Bagi Tan Malaka, Maradona, hingga rakyat Aljazair sepak bola adalah media perjuangan.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Aksi lilin solidaritas di Taman Cikapayang, Bandung, Minggu (02/10/2022). Tragedi di Stadion Kanjuruhan yang menelan ratusan korban jiwa meninggalkan sejarah buruk tidak hanya bagi Indonesia, tapi sepak bola dunia. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

13 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Menurut Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), sepak bola ditemukan di masa Cina kuno, tepatnya di masa Dinasti Han pada abad ke-2 dan ke-3 SM. Kegiatan ini awalnya disebut Ts’uh Kúh atau Cuju  dan dipraktikan di kota kuno Zibo. Inilah permainan bola dengan kaki pertama yang tercatat dalam sejarah. Tujuan permainan ini adalah untuk memasukan bola kulit penuh bulu dan rambut ke jaring kecil berdiameter kurang lebih 40 sentimeter yang dipasang di atas batang bambu setinggi 10 meter (Luciano Wernicke, 2017: 3).

Dalam perkembangannya sepak bola terus mengalami modernisasi, sebelum memasuki periode “modern football” atau “kapitalisasi sepak bola” terdapat satu masa di mana sepak bola adalah alat perjuangan bangsa. Kalimat “sepak bola adalah alat perjuangan bangsa” masyhur dalam benak rakyat medio dekade kedua abad ke-20 di “Negeri Yang Terperentah” (sekarang Indonesia). Tokoh pergerakan dari “Negeri Yang Terperentah” tidak sedikit yang menggemari olahraga ini; Moh. Hatta, Sjahrir, Tan Malaka adalah salah tiga di antara sekian banyak tokoh pergerakan yang menggemarinya.

Tan Malaka dalam Madilog pernah menganalogikan perjuangan bangsa dengan sepak bola sebagaimana tercantum dalam karyanya yang berjudul Madilog, “Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu, bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak” (hlm. 45).

Tersirat Tan Malaka memberikan “wejangan” bahwa dalam perjuangan, ketelitian sangat diperlukan untuk mengetahui siapa yang berjalan seirama dan siapa yang menjadi penghalang bagi perjalanan kita. Dari sini kita paham ada kedahsyatan tersendiri dalam sepak bola: sepak bola bukan sekedar permainan olahraga melainkan berfungsi sebagai analogi dalam pemikiran.

Jika menengok sekilas tentang sepak bola di negeri orang, olahraga ini memiliki daya ledak yang besar, dalam tulisan ini saya kutipkan dua contoh kasus sepak bola sebagai alat perlawan dalam karya Fajar Harimurti “Ketika Tuhan Meninggalkan Kita, Kisah Tidak Biasa Dalam Sepakbola” (2021). Fajar menjelaskan mengenai arti penting sepak bola sebagai alat perlawanan terhadap penindasan dengan mengambil contoh historis peran Maradona di Napoli. Menurutnya, kehadiran Maradona di Napoli sebagai bentuk perlawan wilayah selatan terhadap hegemoni utara di Italia.

“Napoli berada di belahan selatan Italia. Di negeri itu, selatan merupakan zonasinya kaum paria, sedangkan utara memancarkan aura gemerlap, industrial, dan modern. Dua wilayah ini memang tak pernah rukun. Sejak negeri tersebut bersatu pada tahun 1871, selatan dan utara saling baku benci. Ketimpangan ekonomi di antara keduanya menganga lebar, ketidaksukaan satu sama lain banyak berpijak dari sini. Melalui pabrik seperti FIAT di Turin dan Milan yang menjadi sentrum adi busana dunia, Italia utara adalah lanskap kemakmuran. Di Sant’Agata ada perakitan Lamborghini, di Maranello Ferrari bermukim. Sementara cerita yang bertolak belakang ada di kutub kebalikan. Selatan tampak terbelakang, agraris, kusam, terpapar kemiskinan serta pengangguran yang parah. Pernah suatu masa tingkat pengangguran di Napoli melebihi lima puluh persen. Kesenjangan ekonomi yang berlarut-larut pada akhirnya melahirkan banyak stereotip dan aneka prasangka. Penduduk selatan jamaknya dipandang rendah oleh populasi utara. Mereka dicap sebagai si Kere yang pemalas, tidak berpendidikan, dan bermentalitas rendahan. Orang-orang Napoli (Napolitani) hidup dalam kultur yang demikian. Mereka manusia yang dikalahkan, dilukai martabatnya, dan tak sanggup bersikap lain, kecuali cuma bisa merawat dendam. Orang-orang Napoli ingin sekali menonjok muka arogan kalangan berpunya di utara, tapi mereka tidak tahu kapan bisa melakukannya, setidaknya sampai sebelum tahun itu datang 1984. Tahun ketika Diego Armando Maradona tiba. Pria yang berkesesuaian dengan mimpi Napoletani dan kesumat yang harus dilunasi.”

Maradona pada akhirnya memberika apa yang ingin dimenangkan Napoletani. Gelar Scudetto. tahun 1987 dan kemudian 1990. Perayaan akbar meletus seperti letupan petasan yang tak habis-habis. Orang-orang dari segala usia menikmati pesta yang berlangsung di banyak tempat selama sebulan. Mobil membunyikan klakson, penggemar menari di atap bus, remaja tanpa helm menunggangi Vespa mengenakan wig keriting Maradona. Sebagian lain merayakannya dengan mengusung peti mati Juventus di jalan-jalan utama. Sebuah pesan tentang dendam dan pembuktian bahwa orang-orang kaya itu pada akhirnya bisa juga dikalahkan. Atas kemenangan tersebut Maradona punya penjelasan:

“Untuk utara yang kuat, apa yang kami lakukan bersama Napoli adalah pukulan yang nyata. Itu (terasa) sakit (buat mereka). Tak seorang pun dari selatan pernah memenagkan gelar sebelum kami. Dan mereka tidak hanya mencintaiku di Napoli; semua orang miskin di selatan Italia mencintaiku. Aku adalah simbol mereka. Seseorang yang mengambil dari Si Kaya untuk memberikan kepada Selatan yang miskin” (hlm. 13-17).

Baca Juga: Pers Melahirkan Satu Bahasa
Jejak Sutan Sjahrir di Bandung
Semalam Bersama Sutan Sjahrir di Gedung Merdeka

Sepak bola sebagai Alat Perlawan Aljazair

Sepak bola sendiri tidak menjadi olahraga yang tersebar di Aljazair sampai setelah Perang Dunia Pertama. Pemerintah kolonial Prancis awalnya menginginkan pengembangan olahraga sebagai elemen kontrol dan akulturasi populasi. Di Oran, kota pesisir utama yang terletak di barat laut Aljazair, berdiri liga amatir pada 1919. Setahun berselang, Constantine dan Aljir menghelat kejuaraan setipe. Pada tahun 1921 munculah klub pribumi pertama dengan identitas muslim, Mouloudia Club Algérois (MCA).

Selama musim 1923-1924 sudah ada setidaknya empat klub muslim di liga Aljir dan Constantine, serta tak kurang dari sepuluh tim di liga Oran. Klub-klub sepak bola ini menyusun dirinya lebih dari sekedar kesebelasan sederhana. Di dalam diri mereka menjelam menjadi identitas nasional yang kuat. Sikap penentangan terhadap dominasi otoritas penjajah. Di koloni-koloni Prancis yang menjadi objek kontrol akut, klub-klub sepak bola pribumi menjadi sinonim dengan kehendak berlawan.

Seiring waktu, sepak bola mulai melakukan hal-hal yang lebih dari sekedar permainan. Sepak bola menawarkan ruang dan tempat warna antikolonial dapat diunjuk secara terbuka. Ruang itu yang kemudian diisi oleh ribuan orang. Hijau dan merah, dipakai hampir semua tim Aljazair pada zaman itu, demi membedakan diri dengan komunitas Eropa. Stadion Aljazair lantas menjadi tempat yang retak, memisahkan bangsa dan kelas. Orang Aljazair dan Pieds-Noirs (sebutan orang kulit putih dari Prancis yang tinggal di Aljazair sebelum kemerdekaan Aljazair) berhadap-hadapan. Yang satu memendam dendam, yang lain merendahkan. Yang satu merasa diinjak terlalu lama, yang lain menganggap dirinya pantas mengatur selamanya. Penduduk jajahan lamat-lamat mulai mempertanyakan keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa. Menggugat persoalan-persoalan harian, maslah rasialisme dan rupa-rupa isu yang mengarah pada konfrontasi yang membelah secara keras: “mereka atau kami”. Bila waktunya tepat dan kemarahan sudah mendidih, bentrokan pun pecah.

Pada tahun 1928 Undang-undang anyar diterapkan. Beleid ini menambah voltase ketegangan dan mengemukakan kebencian. Undang-undang menuntut setiap tim wajib memiliki setidaknya tiga pemain eropa. Kemudian meningkat menjadi lima pemain pada tahun 1935. Rakyat Aljazair tak suka hal itu. Mereka lelah didikete kembali, setelah belum lama menikmati kebanggaan identitas nasional. Di wilayah Jijel di timur laut Aljazair, Jeunessee Sportive Djijelienne menjadi tim yang paling intens memicu benturan. Derby yang mempertemukan Racing Universitaire d’Alger (RUA) --klub paling populer bagi Pieds-Noirs-- melawan Mouloudia Club Algérois (MCA) sering kali menjadi urusan yang rumit dan mencekam. Permusuhan terus meningkat ketika sepak bola dilanjutkan pasca Perang Dunia II. Adu pisau dan serangan terhadap polisi menjadi hal yang lumrah, seorang pemain terbunuh di lapangan selama kerusuhan.

Hubungan nasionalisme dan sepak bola pun menjadi semakin intim, kekerasan berdiri di tengah-tengahnya. Olahraga yang awalnya diperkenalkan pihak kolonialis, kini menjadi belati tajam milik kaum nasionalis. Sepak bola menjadi medan pertempuran antara penjajah dan yang dijajah. Dia adalah olahraga, dia juga adalah perlawanan. 

Dari dua kisah sepak bola yang terjadi di Italia dan Aljazair tersebut sangat jelas kita dapati bahwa sepak bola bukan hanya sekedar olahraga 11 vs 11, lebih jauh dari itu sebagai alat untuk membalaskan dendam dari yang “Terhina” kepada “Yang Menghina” juga dari yang “Terjajah” terhadap “Yang Menjajah”.  Bersambung ...

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//