• Cerita
  • Semalam Bersama Sutan Sjahrir di Gedung Merdeka

Semalam Bersama Sutan Sjahrir di Gedung Merdeka

Widya, Winda, bersama 13 orang lainnya mengikuti jelajah malam yang diselenggarakan oleh Museum KAA yang bertajuk “Sutan Sjahrir: Arsitek Diplomasi Perjuangan”.

Jelajah malam yang diselenggarakan oleh Museum KAA yang bertajuk Sutan Sjahrir: Arsitek Diplomasi Perjuangan, dI Gedung Merdeka, Bandung, Sabtu (8/20/2022) malam. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*

Penulis Reza Khoerul Iman22 Agustus 2022


BandungBergerak.id – Widya dan Winda merasa tergetar dan merinding ketika pertama kalinya menginjakkan kaki ke ruang utama Gedung Merdeka, Bandung. Mereka bahkan bisa menempati tempat duduk paling depan, kursi yang pernah diduduki oleh para delegasi Indonesia pada saat terjadinya Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955.

Seketika mereka seperti ditarik oleh ruang dan waktu menuju periode 1955, di mana peristiwa KAA sedang bergulir di gedung yang pernah digunakan oleh perkumpulan orang Eropa, Societeit Concordia. Mereka tak percaya, pada akhirnya mereka dapat menapaki langkah demi langkah gedung yang memiliki nilai sejarah yang luar biasa, terlebih saat itu mereka dipandu oleh pemandu dari Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA), Nadya, sehingga mereka dapat semakin paham apa yang sebenarnya pernah terjadi di sana.

Sabtu (8/20/2022) malam itu, Widya, Winda, bersama 13 orang lainnya mengikuti jelajah malam yang diselenggarakan oleh Museum KAA yang bertajuk “Sutan Sjahrir: Arsitek Diplomasi Perjuangan”, dalam rangka memeriahkan peringatan 77 tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Mereka mengaku, walaupun hanya sedikit mengetahui tentang siapa dan bagaimana perjuangan sesosok Sutan Sjahrir, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang untuk mengikuti jelajah malam tersebut. Atas dasar itu pula mereka menjadi semakin bersemangat untuk merelakan waktu malam minggunya habis bersama riwayat si Bung Kecil.

“Waktu pertama dapat kabar bakal ada kegiatan Jelajah Malam di Museum MKAA, aku langsung tertarik dan harus banget ikut tur ini. Karena aku pikir bukan hanya soal seru-seruannya saja tapi juga buat mengingat kembali perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang sudah dari dulu sudah berjuang mati-matian untuk Indonesia merdeka,” tutur Winda kepada BandungBergerak.id.

Winda menjelaskan, jelajah malam kali ini dapat mengantarkan setiap peserta untuk semakin meningkatkan dan mengetahui nilai-nilai nasionalisme melalui kisah-kisah para pahlawan kita terdahulu, salah satunya Sang Arsitek Diplomasi Perjuangan, Sutan Sjahrir.

Kegiatan seperti ini pada akhirnya menjadi begitu penting untuk meningkatkan kembali kesadaran sejarah dan nilai-nilai lokal yang dimiliki negara Indonesia, khususnya Kota Bandung. Sebab sebagai generasi milenial, Widya dan Winda menilai bahwa generasi angkatan mereka hari ini sudah banyak berkiblat kepada barat.

Widya dan Winda tidak mempermasalahkan pengaruh budaya asing pada generasi angkatan mereka. Namun mereka menyayangkan bahwa pengaruh asing tersebut membuat generasi muda lupa akan kekayaan dan nilai-nilai lokal tanah air sendiri.

Oleh karenanya kegiatan yang sifatnya edukasi dan menghibur seperti jelajah malam tersebut diharapkan oleh Widya dan Winda akan semakin marak diselenggarakan di Kota Bandung. Agar generasi muda angkatan mereka dapat memahami, memperjuangkan, dan terus mengembangkan nilai-nilai perjuangan yang telah dilakukan oleh para generasi terdahulu.

Event seperti ini tuh perlu banget untuk menigkatkan nilai nasionalisme kita, terlebih hari ini sudah begitu banyak generasi muda yang sudah lupa terhadap jasa-jasa pahlawan kita. Kami harap kegiatan yang sifatnya edukasi dapat diperbanyak lagi, bukan hanya di MKAA tapi juga mungkin di museum-museum lainnya atau di berbagai tempat lainnya di Kota Bandung,” pungkas Widya.

Jelajah Malam Museum Konferensi Asia Afrika

Jelajah Malam di Museum Konferensi Asia Afrika memberikan nuansa baru pada gedung yang selama dua tahun terakhir mesti mengosongkan tempatnya karena pagebluk. Kita semua tahu, selama dua tahun dijerat pagebluk Covid-19, seluruh museum di Kota Bandung termasuk MKAA mendapatkan dampak yang begitu pelik.

Keramaian pengunjung yang pada biasanya mengisi setiap ruangan di Gedung Merdeka dan MKAA, selama kurun waktu dua tahun tersebut menjadi kosong melompong.

Kini suasana di sepanjang lorong-lorong Gedung Merdeka dan ruang pamer MKAA, mulai kembali menunjukkan geliatnya dengan digelarnya berbagai kegiatan oleh pengelola gedung cagar budaya tingkat nasional tersebut.

Penanggung jawab acara Jelajah Malam Museum KAA, Katon, menuturkan selama pagebluk pihaknya lebih banyak menggelar acara secara daring, kecuali untuk orang internal yang memiliki urusan khusus. Setelah situasi pagebluk mereda, Katon dan jajarannya menyambut bahagia momen tersebut yang diawali dengan pembukaan museum pada 31 Oktober 2021.

Mengenai kegiatan Jelajah Malam MKAA, Katon menyebut kegiatan Jelajah Malam pertama kali dilakukan pada tahun 2013. Kemudian pada tahun 2019 mereka sukses menggelar acara Jelajah Malam sebanyak empat kali dan tentunya dengan mengangkat tema yang berbeda pada setiap kegitannya.

Pada tahun ini mereka mengangkat Sutan Sjahrir yang akrab dipanggil “Bung Kecil” sebagai tema Jelajah Malam MKAA. Kisah Bung Kecil tidak kalah inspiratifnya dengan kisah perjuangan-perjuangan yang lainnya, seperti Bung Karno yang akrab disapa Bung Besar.

Sutan Sjahrir dikenal dengan kemampuannya dalam diplomasi. Sutan Sjahrir memilih strategi diplomasi dalam menghadapi Belanda, hingga ia dapat merubah pandangan sinis orang lain terhadap dirinya dengan mendapatkan pengakuan de jure dan de facto untuk Indonesia pasca-Perundingan Linggarjati.

“Untuk menyampaikan nilai-nilai perjuangan Sutan Sjahrir kepada publik, pemanduan menjadi salah satu jalan untuk memahami hal tersebut. Melalui pemanduan, kita dapat mengetahui siapa itu Sutan Sjahrir dan bagaimana sepak terjang kehidupannya. Jadi menurut saya penting sekali pemanduan yang mengangkat tema Sjahrir ini,” ucap Katon.

Baca Juga: Jejak Sutan Sjahrir di Bandung
Para Pemimpin Partindo dan PNI Baru Ditangkap
Pulang dari Belanda, Mohammad Hatta Berkiprah di Bandung

Jelajah malam yang diselenggarakan oleh Museum KAA yang bertajuk Sutan Sjahrir: Arsitek Diplomasi Perjuangan, dI Gedung Merdeka, Bandung, Sabtu (8/20/2022) malam. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*
Jelajah malam yang diselenggarakan oleh Museum KAA yang bertajuk Sutan Sjahrir: Arsitek Diplomasi Perjuangan, dI Gedung Merdeka, Bandung, Sabtu (8/20/2022) malam. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*

Sutan Sjahrir dan Revolusi Kerakyatan

Eko Maulana, dalam jurnal Pemikiran Politik Sutan Sjahrir Tentang Revolusi [Universitas KH. Wahab Hasbullah Jombang, Jurnal Review Politik Volume 04, Nomor 01, Juni 2014], menuturkan Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909.

Sutan Sjahrir adalah putra dari Moh. Rasad Gelar Maha Raja Soetan yang menjabat sebagai Hoofd atau jaksa pada Landraad di Medan. Ibunya, Poetri Siti Rabiah yang berasal dari Natal, daerah Tapanuli Selatan. Ibu Sutan Sjahrir berasal dari keluarga raja-raja lokal swapraja.

Eko Maulana menelaah pandangan Sjahrir pada negerinya yang dilanda kekacauan pascadijajah Jepang selama tiga setengah tahun. Waktu itu Indonesia disergap kerusuhan dan kekacauan. Laskar-laskar pemuda menyerang tentara sekutu, toko-toko diserbu dan dirampok, pembunuhan terhadap warga Tionghoa, Indo, Ambon, dan Manado terjadi di mana-mana (Mrazek,1996: 503).

Dengan penuh gelora dan kritik tajam, Sjahrir melukiskan situasi Indonesia di awal kemerdekaan itu pada bagian pertama Perdjoeangan Kita. Dengan jernih, Sjahrir menunjukkan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan kekuatan fasis baru dari dalam negeri sendiri.

Sjahrir berpendapat, tulis Eko, bahwa revolusi nasional harus segera disusul oleh suatu revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari kungkungan feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersama kapitalisme yang tak terkendali. Seterusnya, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakatbakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan.

“Karena itulah nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama yang hanya memerlukan beberapa langkah berikut untuk tiba pada fasisme,” tulis Eko Maulana, diakses Senin (22/8/2022).

Bagi Sjahrir, kekuatan harus dimulai dengan “revolusi kerakyatan”, revolusi yang dipimpin oleh golongan yang demokratis, bukan oleh golongan nasionalistis yang membudak kepada fasisme lain.

“Kalau dalam negeri harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional, nasionalisme harus tunduk kepada humanisme dan juga internasionalisme, karena jika tidak maka nasionalisme itu akan menjadi sumber perselisihan baru di antara bangsa satu dengan bangsa yang lainnya. Karena jika begitu, maka fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antarbangsa,” Eko memaparkan.

Sjahrir juga menggarisbawahi bahwa meski rakyat Indonesia sudah berpuluh tahun berada di dalam lalu lintas dunia modern, akan tetapi di seluruh kehidupan rakyat masih hidup dalam pikiran feodal. Penjajahan Belanda memanfaatkan feodalisme untuk menahan kemajuan bangsa Indonesia.

“Setelah proklamasi kemerdekaan, Sjahrir sangat khawatir dengan munculnya feodalisme lama yang seakan proklamasi memberi peluang kepada para pemimpin politik untuk menjadi raja-raja baru yang akan membelenggu rakyat kembali kepada penderitaan dan keterbelakangan. Karena itu selain revolusi nasional diperlukan juga suatu revolusi sosial yang dinamakannya dengan revolusi kerakyatan,” papar Eko.

Kekhawatiran Sutan Sjahrir tentang bangkitnya feodalisme lama bisa dilihat hari ini, apakah sekarang ada raja-raja baru yang akan membelenggu rakyat kembali kepada penderitaan dan keterbelakangan?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//