• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (22): Pulang dari Belanda, Mohammad Hatta Berkiprah di Bandung

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (22): Pulang dari Belanda, Mohammad Hatta Berkiprah di Bandung

Mohamma Hatta berniat kembali ke Bandung untuk bertemu para anggota dan Pengurus Besar Pendidikan Nasional Indonesia yang bermarkas di Bandung.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Mohammad Hatta, proklamator sekaligus Wakil Presiden Pertama RI. (Sumber: Arsip Nasional Indonesia)

6 Maret 2022


BandungBergerak.idAkhir Juni 1932, Mohammad Hatta menjalani sidang akhir ujian doktoral dalam bidang ilmu pengetahuan perdagangan di Handels Hogeschool, Belanda. Ujian itu terbagi ke dalam dua sesi. Di sesi pertama para penguji terdiri dari Prof. Mr. Dr. de Vries, Prof. Mr. Dr. Verrijn Stuart dan Prof. Mr. C.W. de Vries. Masing-masing di antara mereka mengajukan pertanyaan mengenai aspek ekonomi. Seperti tentang ekonomi retorika dan pembagian pendapatan oleh Prof. Mr. Dr. de Vries (Memoirs).

Setelah dinyatakan lulus pada sesi pertama, di bagian kedua, Hatta hanya diuji oleh dua orang profesor. Yakni Prof. Mr. C.W. de Vries dan Prof. Van Blom. Berbagai pertanyaan pun kembali diajukan. Hingga tiba saatnya hasil ujian itu diumumkan oleh ketua sidang, Prof. C.W. de Vries, yang menyebutkan bahwa Mohammad Hatta berhasil menempuh sidang doktoral dengan predikat yang baik (Memoirs).

Perasaan senang Hatta usai kelulusan itu terasa oleh teman-temannya di Belanda. Beberapa waktu kemudian, ia memutuskan untuk segera pulang ke tanah air. Tentu, kabar ini membawa angin segar bagi kaum nasionalis di Indonesia, terutama para anggota dan pengurus PNI Baru. Hal ini sebagaimana diumumkan pada Daulat Ra’jat 10 Juli 1932.

“Pada hari boelan 5 Juli 1932 sdr. Moehammad Hatta telah loeloes dalam doctoraal examen Handelswetenshacp (oedjian doctoraal ilmoe pengetahoean perdagangan). Diboelan jang akan datang ia akan berada dalam kalangan kita, sesoedah ia 11 tahoen lamanja meninggalkan tanah airnja ini. Sebelas tahoen itoe berarti poela sebelas tahoen riwajat politik”. 

Hatta berangkat dari Rotterdam tanggal 20 Juli 1932. Dari sana ia menumpangi kapal laut melewati Paris, Genoa dan berganti kapal buatan Jerman, Saarbrucken, sampai ke Singapura. Di Singapura, Hatta tinggal selama dua hari. Setelah itu ia melanjutkan ke Indonesia dan tiba di Tanjung Priok (Memoir).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (18): Sukarno Menjadi Anggota Partindo Cabang Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (19): Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (20): Sukarno Pidato dalam Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung

Berita Mengenai Keberhasilan Sidang Doktoral Mohammad Hatta. (Sumber: Daulat Rajat 10 Juli 1932)
Berita Mengenai Keberhasilan Sidang Doktoral Mohammad Hatta. (Sumber: Daulat Rajat 10 Juli 1932)

Bertugas di Bandung

Di Indonesia, Hatta bertugas untuk dua tempat yang berbeda. Menurutnya selama empat hari ia harus tinggal di Jakarta untuk urusan tulis-menulis. Sedangkan di Bandung ia harus tinggal selama tiga hari sebagai pimpinan umum dalam Pendidikan Nasional Indonesia (Memoir).

Maskun menceritakan, bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Mohammad Hatta kala berada di Bandung. Perkenalan pertamanya dimulai pada bulan Agustus 1932 yang kebetulan Maskun masih tinggal di Astana Anyar bersama Inggit Garnasih dan Sukarno. Waktu itu, hujan gerimis. Dari tempat tinggalnya, Maskun pergi menuju Hotel Semarang, di Jalan Kebonjati, untuk bertemu dengan Mohammad Hatta yang ditemani Haji Usman. Pertemuan itu memanjangkan percakapan di antara mereka. Dari mulai pembicaraan Maskun saat berada di balik jeruji bersama Sukarno, sampai obrolan tentang penyitaan Majalah Indonesia ketika Hatta tiba di Tanjung Priok (Mengenang Bung Hatta dalam Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan).

Dalam pertemuan itu, Maskun ditemani juga oleh Sukarno. Hatta menceritakan bagaimana pertemuan itu berlangsung pada jam 9 malam. Di Hotel Semarang empat orang itu tidak berbicara terlalu serius tanpa membicarakan perkembangan Partindo atau PNI Baru lebih jauh. Namun pada saat jam menunjukkan 10.30, mulailah di antara mereka berpamitan. Kemudian Sukarno berdiri untuk pulang. Ia berpesan agar Hatta segera kembali ke Bandung untuk membicarakan Partindo dan PNI Baru. Meski demikian, Hatta memang berniat untuk kembali ke Bandung untuk bertemu para anggota dan Pengurus Besar Pendidikan Nasional Indonesia yang bermarkas di Bandung (Memoir).

Pada bulan selanjutnya Mohammad Hatta kembali bertemu dengan Maskun. Kewajibannya dalam PNI Baru membuatnya mesti mengisi berbagai kegiatan cabang-cabang PNI Baru yang di Bandung. Di cabang Cimahi ia menjadi pembicara tentang asas dan tujuan PNI. Lalu pada malam harinya, ia mengisi ceramah umum dalam rapat anggota PNI Baru cabang Bandung. Sehingga pada saat itu diputuskanlah oleh para pengurus bahwa dari hari Jumat sampai dengan Minggu Hatta harus berada di Bandung untuk urusan partai (Mengenang Bung Hatta dalam Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan).

Selain mengisi ceramah dan menjadi pembicara di Bandung, Hatta juga harus berunding dengan Sukarno dan Sartono mengenai hubungan Partindo dan PNI Baru. Hatta mendapat pesan dari Sartono untuk mengadakan pertemuan di rumah Sukarno, di Astana Anyar, pada tanggal 20 dan 30 September 1932. Pertemuan itu semula ingin dihadiri oleh Sukarno, Sartono, Hatta dan Sutan Sjahrir. Namun Sjahrir memberikan mandat kepada Maskun untuk menghadiri pertemuan tersebut, kendati akhirnya hanya dihadiri oleh tiga orang, yakni Sukarno, Sartono dan Mohammad Hatta. Arah pertemuan ini membahas soal Partindo dengan PNI Baru. Bisa dibilang ide ini datang dari Sukarno. Namun, niat Sukarno ingin menyatukan kedua organisasi nasionalis itu tidaklah berbuah hasil. Hatta, begitupun dengan beberapa pengurus yang lain, tetap memegang pendirian terkait penyatuan PNI dengan Partindo yang tidak mungkin dilakukan. Di rumah Sukarno, Hatta menegaskan sikap PNI Baru yang mempunyai jalan berbeda dengan Partindo. Kepada Sukarno dan Sartono, Hatta mengatakan:

“Aku mengatakan kepada mereka berdua, bahwa Pendidikan Nasional Indonesia sudah mempunyai sikap dan pada waktu itu tidak dapat diubah lagi. Kukatakan, lebih baik kedua belah pihak jangan saling serang-menyerang. Di mana perlu diadakan aksi bersama” (Memoirs).

Upaya Sukarno untuk menyatukan Partindo dengan PNI Baru bermula dari ketegangan yang terjadi sebelumnya. Ketegangan ini bahkan ramai juga dalam pemberitaan di berbagai surat kabar. Meski begitu, Mohammad Hatta dkk. menampik jika di antara kedua partai nasionalis itu tidak terjadi apa-apa. Sehingga pada 10 September 1932 Daulat Ra’jat memuat pernyataan yang berisi penyangkalan terkait ketegangan yang terjadi di antara kedua organisasi kebangsaan itu.

“Diwaktoe belakangan pers ramai poela mewartakan, bahwa dalam beberapa rapat oemoem perkoempoelan soedah membantah adanja perkabaran tentang pertjektjokan partai-partai bangsa Indonesia, misalnja diantara P.I. dengan Golongan Merdeka atau Pendidikan Nasional Indonesia. Sebetoelnja pertengkaran antara partai satoe dengan jang lain itoe tidak ada, melainkan hanja pertjektjokan antar person (orang). Lagi poela diharap soepaja djangan sampai ada diantara bangsa kita jang menjerang-njerang lain partai. Selandjoetnja orang mengandjoerkan agar sama-sama membimbing persatoean”.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//