• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (20): Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (20): Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung

Kongres PNI Baru berlangsung di Bandung. Hambatan muncul dari aparat kepolisian agar kongres dilakukan secara terbatas.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Hasil Kongres PNI Baru dalam Sipatahoenan edisi 28 Juni 1932. (Sumber: Sipatahoenan edisi 28 Juni 1932)

19 Februari 2022


BandungBergerak.idPendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) mengadakan kongres pertamanya di Bandung pada 23-26 Juli 1932. Setelah melaksanakan konferensi di Yogyakarta dan forum memutuskan Pendidikan Nasional Indonesia sebagai wadah yang akan diperjuangkan, tibalah rencana untuk menyusun tujuan, prinsip, dan posisi pengurus dalam agenda besar itu.

Pada tanggal 23 Juli 1932, di hari pertama, surat kabar Sipatahoenan mengumumkan bahwa pukul 19.30 akan diadakan resepsi untuk acara Kongres PNI Baru. Pertemuan ini akan berlangsung di Gedung BPRI yang terletak di perempatan Bojongloa, Bandung, dan mewajibkan para tamu undangan untuk membawa karcis. Agenda ini konon, disertai dengan diskusi terbuka berupa bahasan-bahasan umum.

“Engke peuting mimiti poekoel satengah dalapan, di gedong B.P.R.I. di parapatan Bodjongloa, baris diayakeun receptie djeung dina Openbare vergaderingna anoe bakal diajakeun dina poe Minggoe noe deukeut, tanggal 26 Juni 1932. Anoe diondang koedoe mawa kartjisna (Nanti malam dimulai pukul setengah delapan, di gedung B.P.R.I. di perempatan Bojongloa, akan diadakan resepsi dalam pertemuan terbuka yang akan diadakan pada hari Minggu yang dekat, tanggal 26 Juni. Para tamu undangan harus membawa karcis)”.

Saat acara berjalan, hambatan muncul dari aparat polisi. Kala itu ruangan BPRI telah dipenuhi oleh tamu undangan yang telah mengamati jalannya acara. Namun polisi menginstruksikan agar sebagian orang meninggalkan ruangan. Menurut laporan Sipatahoenan 27 Juni 1932, para peserta yang telah berdiam di kursi terpaksa pergi dari tempat yang mereka duduki. Hal ini berdasarkan perintah Albreght sebagai pihak berwenang bahwa barisan kursi yang berada di depan harus dikosongkan. Tentu kejadian ini merugikan kalangan pengurus. Karena hanya sedikit tamu undangan yang menyaksikan pertemuan terbuka itu.

Sepanjang tanggal 23-26 Juli 1932, berbagai hambatan datang di sela-sela acara kongres. Meski demikian para pengurus berhasil melewati tiap-tiap bahasan pokok, terutama terkait azas dan tokoh-tokoh yang akan menahkodai PNI Baru ke depannya. Maka, berdasarkan hasil kongres ini, ditetapkanlah pengurus besar Pendidikan Nasional Indonesia yang terdiri dari Sutan Sjahrir sebagai ketua, Soekemi sebagai wakil ketua, Hamdani sebagai sekretaris I, Moerwoto sebagai sekretaris II, Maskoen, Bendahara I, dan Soeka sebagai bendahara II (Sipatahoenan 28 Juni 1932).

Hasil kongres ini pun memutuskan bahwa markas PNI-Baru berkedudukan di Bandung. Sedangkan untuk jabatan lainnya, forum menetapkan beberapa orang komisaris sebagai pembantu. Antara lain, Bondan untuk daerah Jawa Barat namun bertempat tinggal di Jakarta; Soebagio untuk daerah Jawa Barat dan bertempat tinggal di Bandung; Ismoe untuk daerah Jawa Timur dan bertempat tinggal di Surakarta; Wijono untuk daerah Jawa Timur dan bertempat tinggal di di Malang; dan Djawoto untuk daerah Jawa Timur yang bertempat tinggal di Surabaya (Sipatahoenan 28 Juni 1932).

Kongres pun membahas azas PNI Baru merujuk pada AD-ART yang telah disepakati. Pada Anggaran Dasar pasal 2, tertuang azas Pendidikan Nasional Indonesia yang menekankan kepada azas Kebangsaan dan Kerakyatan. “Azas kebangsaan mengandung arti bahwa kemerdekaan Indonesia, hanya dapat dituntut dengan usaha rakyat sendiri dengan tidak mengharapkan tunjangan dari luar. Oleh karena itu yang menjadi pedoman pergerakan PNI tiada lain yaitu semangat nasional yang tertanam dalam hati rakyat Indonesia” (Daulat Ra’jat 30 Juni 1932). Sedangkan azas kerakyatan memiliki makna, bahwa kedaulatan terdapat pada rakyat yang menyandarkan segala hukum kepada keadilan dan kebenaran dalam hati rakyat.

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (16): Setelah Sukarno Ditangkap, PNI Bubar dan Partindo Berdiri
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (17): Sukarno Bebas dari Penjara Sukamiskin
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (18): Sukarno Menjadi Anggota Partindo Cabang Bandung

Cabang-cabang PNI Baru

Selama enam bulan berdiri, PNI Baru sudah memiliki cabang yang telah tersebar ke wilayah barat dan timur. Cabang-cabang itu antara lain meliputi Cabang Jakarta, Cabang Bandung, Cabang Garut, Cabang Cirebon, Cabang Cianjur, Cabang Cimahi, Cabang Magelang, Cabang Temanggung, Cabang Mataram, Cabang Surakarta, Cabang Malang dan Cabang Surabaya. Adapun sampai kongres tersebut berlangsung PNI Baru memiliki ranting-ranting yang telah terbentuk yakni, ranting Ciledug di bawah pimpinan cabang Cirebon dan ranting Ngadirejo di bawah pimpinan cabang Mataram (Sipatahoenan 28 Juni 1932).

Sementara itu, forum pun menyampaikan tugas-tugas yang akan dicapai untuk agenda PNI Baru selanjutnya. Seperti mendirikan cabang baru untuk daerah Sukabumi, Tasikmalaya, Priaman, Sindanglaut, Kuningan, Lampung, Karang Anyar, Purwekerto, Purworedjo dan Purwekerto. Lalu membuat badan publikasi (Majelis Penyiaran) yang mengeluarkan brosur paling lambat 1 September, dan juga menerbitkan majalah PNI dengan nama Kedaulatan Rajat paling lambat sampai 1 Oktober. Majalah ini nantinya akan diberi susunan redaksi dengan tiga orang pengurus antara lain: Sjahrir sebagai ketua, Maskoen sebagai sekretaris bendahara, dan Inoe Perbatasari sebagai anggota (Sipatahoenan 28 Juni 1932).

Selain itu, para pengurus juga akan mengadakan Badan Central Kursus yang terdiri dari Sutan Sjahrir, Burhanudin, Karim Pringgodigdo, Reksodipoetro, Soebagio, Ismoe, Djawoto, Wijono, dan Maskoen. Masing-masing berlaku sebagai ketua, sekretaris dan para anggota. Lalu, tugas lain yang akan mereka capai yakni mengadakan Majelis Organisasi yang dipimpin oleh Sjahrir, Marwoto sebagai sekretaris dan Karim Pringgodigdo sebagai anggota. Di samping itu, setelah kongres usai para pengurus akan membentuk Majelis Partai Fonds yang dipimpin oleh Soekemi dan Ma’moer Salim sebagai sekretaris (Sipatahoenan 28 Juni 1932).

Untuk kesepakatan lain yang telah ditetapkan, para pengurus memutuskan bahwa PNI-Baru tidak menganjurkan pergerakan koperasi. Lalu, untuk kongres yang kedua, forum sudah menetapkan akan dilaksanakan di Surabaya. Bukan hanya itu. Sebagai partai yang baru terbentuk, PNI Baru menyoroti juga pergerakan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Maka, berdasarkan hasil musyawarah Kongres Pertama ditetapkanlah sikap PNI Baru terhadap PPPKI, bahwa, “Selama PPPKI belum merupakan federasi pergerakan yang radikal, PNI tidak akan melibatkan diri dengan badan itu” (Sipatahoenan 28 Juni 1932).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//