• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (17): Setelah Sukarno Ditangkap, PNI Bubar dan Partindo Berdiri

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (17): Setelah Sukarno Ditangkap, PNI Bubar dan Partindo Berdiri

Setelah Sukarno dan kawan-kawan ditangkap dan dipenjara, kekuatan PNI mulai terkikis.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Dari kiri ke kanan: Mr. Sunario, Dr. Samsi dan Sartono pada tahun 1927 di Bandung. (Dokumentasi Perpustakaan Nasional)

30 Januari 2022


BandungBergerak.idDitangkapnya Sukarno dkk., membuat Partai Nasional Indonesia semakin terkikis keberadaannya. Berdasarkan keputusan Landraad Bandung, Sukarno, Gatot, Maskun, dan Supriadinata, ditetapkan bersalah dengan dijatuhi hukuman kurungan penjara.

Dalam masa-masa pengadilan tersebut, pergerakan PNI diwarnai kebuntuan. Komando yang diberikan kepada Sartono tak bisa membuat PNI bertahan di tengah tekanan pihak kolonial Belanda. Pada tanggal 25 April 1931 pengurus PNI menggelar Kongres Luar Biasa di Jakarta yang dihadiri oleh berbagai utusan cabang. Dalam kongres itu Sartono menawarkan dua langkah yang akan ditempuh oleh PNI ke depannya. Langkah pertama yakni, terus bergerak dengan segala hambatannya. Yang kedua, membubarkan PNI dan mendirikan partai dengan nama yang baru. Opsi kedua ternyata mendapat suara terbanyak (Mr. Sartono Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia).

Dengan demikian partai yang dibentuk pada 4 Juli 1927 itu pun akhirnya dibubarkan pada tanggal 25 April 1931, dengan Maklumat Pembubaran PNI yang ditandatangani oleh enam orang pengurus. Antara lain Sartono, Anwari, S. Anggron Sudirjo, Soewirjo, Ali Sastroamidjojo dan Sujudi (Sejarah Perjalanan Marhaenisme Ajaran Bung Karno). Seraya menandatangani Maklumat Pembubaran, mereka meyakini bahwa semangat kebangsaan dan kesadaran yang ditanamkan oleh PNI, akan kuat dimanifestasikan oleh rakyat pribumi untuk terus berusaha mendapatkan kebebasan yang nyata (De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie). Kemudian satu minggu setelah penandatangan itu dilakukan, PNI resmi dibubarkan pada tanggal 3 Mei 1931 (Ontstaan en Ontwikkeling der Staatkundige Partijen in Nederlandsch-Indie).

Empat hari setelah pembubaran PNI di Jakarta, lahirlah sebuah partai dengan nama baru. Partai ini memiliki prinsip yang sama dengan PNI mengacu pada opsi yang ditawarkan Sartono pada Kongres Luar Biasa. Maka tanggal 29 April 1931, di bawah pimpinan Sartono, berdirilah Partai Indonesia (Partindo).

Kemunculan Partindo bukanlah tanpa ujian. Saat PNI dibubarkan kritik berdatangan kepada Sartono, karena dinilai gagal dalam berkomunikasi dengan berbagai cabang PNI. Untuk mengetahui kritikan tersebut perlu diamati alasan mengenai opsi Sartono dalam membubarkan PNI. John Legge mengungkapkan bahwa tawaran yang diajukan Sartono terkait pembubaran PNI mengandung alasan hukum. Dengan tertangkapnya Sukarno hal ini mengakibatkan seluruh kegiatan PNI dapat menjadi ilegal. Sehingga untuk mengubah partai dengan nama yang baru dibutuhkan kesatuan politik baru yang dibentuk secara legal agar tidak terkena lagi larangan pemerintah kolonial. Alasan ini tidak diterima oleh seluruh anggota PNI. Mereka mengeluhkan jika pembubaran PNI merupakan keputusan segelintir orang dalam partai, yang juga mendapat desakan dari kalangan intelektual PNI (Sukarno: Sebuah Biografi Politik).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (13): Pertemuan Terbuka PNI Membahas tentang Poliklinik, Pendidikan, dan Kaum Intelektual
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (14): Para Pemimpin PNI Ditangkap
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (15): Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) Berdiri

Respons Sukarno

Informasi mengenai pembubaran PNI dan terbentuknya Partai Indonesia telah diketahui oleh Sukarno. Dengan keadaan darurat seperti itu Sukarno selalu mengamati kabar terbaru mengenai partai yang dipimpinnya itu. Terutama berkat informasi yang didapat dari teman dan kerabat terdekatnya. Tentu saja, Sukarno merasa sedih melihat keruntuhan partai yang ia dirikan empat tahun sebelumnya (Sukarno: Sebuah Biografi). Namun, dengan lahirnya Partindo, harapan mengenai kemerdekaan belumlah sirna sepenuhnya. Karena partai ini memiliki tujuan untuk menempuh kemerdekaan melalui tiga cara. Yaitu, pertama, meluaskan hak-hak politik rakyat Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan rakyat yang demokratis. Kedua, peningkatan hubungan sosial. Ketiga, meningkatkan perekonomian rakyat Indonesia.

Selain itu Partai Indonesia juga mempunyai keyakinan bahwa rakyat Indonesia harus mencari kekuatan untuk menempuh persatuan. Upaya ini ditekankan tanpa harus membeda-bedakan ras dan agama dalam mencapai kemerdekaan, dengan prinsip, jika setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri (De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie).

Selain tujuan dan prinsip yang mirip dengan PNI, Partindo juga mengatur mekansime bagi siapa saja yang ingin bergabung menjadi anggota. Aturan tersebut di antaranya, harus berusia 18 tahun ke atas sebagai syarat untuk menjadi bagian dari Partai Indonesia (Sipatahoenan 7 Mei 1931). Pengurus Partindo menyesuaikan syarat-syarat dan aturan yang sudah diterapkan sebelumnya oleh PNI. Kendatipun ketika itu syarat untuk menjadi anggota pada umur 18 tahun sudah umum diterapkan oleh organisasi yang lain.

Sebagai ketua Partindo, Sartono tentu tidak bergerak sendiri, ia didampingi oleh beberapa orang yang ikut merumuskan berdirinya Partindo. Seperti Soewirjo yang menjabat sebagai sekretaris, Angronsoedirdjo sebagai bendahara, serta Manadi dan Soekemi sebagai komisaris (Sipatahoenan 7 Mei 1931).

Sementara itu Partindo yang dianggap wujud lain dari PNI memang bukan partai pemula yang mesti menyiapkan langkahnya dari awal. Cita-cita PNI dan harapan Sukarno terkait persatuan dan kemerdekaan menjadi acuan para pengurus Partindo untuk terus pro terhadap rakyat pribumi. Itulah kenapa dukungan dari berbagai pihak hadir untuk PNI dalam masa-masa keruntuhannya dan juga dukungan terhadap Partindo sebagai partai pengganti. Hal ini seperti ditunjukkan oleh seseorang berinisial T yang menulis dalam Sipatahoenan. Di halaman paling awal T menyatakan bahwa partai pengganti PNI memiliki tujuan yang sama, yakni untuk Indonesia Merdeka. Dengan demikian rakyat Indonesia jangan berkecil hati terhadap jalan yang akan dicapai oleh partai pengganti itu, karena memiliki keyakinan atau tekad yang baru.

“PNI ajeuna geus leungit, timboel deui partaj anjar dibarengan koe kajakinan anjar, organisatie anjar, oerang Indonesiers sakoemna koedoe pada galede hate kana todjoean sarerea ‘Indonesia Merdika’ (PNI sekarang sudah hilang, muncul lagi partai baru disertai dengan keyakinan baru, organisasi baru, semua rakyat Indonesia harus besar hati terhadap tujuan bersama, Indonesia Merdeka) (Sipatahoenan 7 Mei 1931).

Meski PNI telah dibubarkan, banyak hal yang ditinggalkan untuk dimanfaatkan oleh kepentingan rakyat pribumi. Bukan hanya gagasan, melainkan harta benda milik PNI. Partai Nasional Indonesia yang telah bercabang hingga ke luar Jawa meninggalkan inventaris berharga di beberapa daerah seperti di Surabaya, Semarang, Malang, Mataram, Bandung, Palembang, Pekalongan dan Jakarta. Inverntaris ini konon diberikan kepada organisasi kebangsaan lain atau paguyuban-paguyuban koperasi. Bahkan inventaris ini kebanyakan diberikan ke sekolah Taman Siswa (Sipatahoenan 7 Mei 1931). 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//