JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (15): Para Pemimpin PNI Ditangkap
Penangkapan Sukarno dilakukan di Yogyakarta. Sebelumnya, Inggit Garnasih sang istri, bermimpi bahwa suaminya itu ditangkap oleh orang-orang bersenjata.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
15 Januari 2022
BandungBergerak.id - Kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda terhadap aksi pergerakan PNI berujung pada penangkapan Sukarno, dan kawan-kawan. Dengan penangkapan para tokoh itu dapat dianggap sebagai masa-masa kritis dalam tubuh PNI.
Sebelumnya, pada 27 Desember 1929, Sukarno berangkat ke Yogyakarta untuk berbicara dalam pertemuan PNI keesokan harinya. Ia juga hadir pada kongres PPPKI yang digelar di Jalan Tugu Kidul antara 25-27 Desember. Usai mengikuti kongres, Sukarno menginap di sebuah rumah milik kawannya, Soejoedi.
Pada tanggal 29 Desember 1929 pagi hari, tujuh orang polisi mendatanginya. Sukarno baru saja keluar dari kamar mandi dengan masih mengenakan baju tidur. Atas nama Sri Ratu, tujuh polisi itu lalu menangkap Sukarno bersama dengan Gatot Mangkoepradja dan supir taksi yang membawa Sukarno ke Yogyakarta. Mereka terpaksa diboyong ke rumah tahanan Mergangsan di Yogyakarta, dan esoknya Sukarno bersama Gatot dipindahkan ke Bandung untuk dimasukkan ke dalam sel tahanan Banceuy (Sukarno: Biografi 1901-1950).
Kabar penangkapan Sukarno sampai pada Inggit Garnasih yang sebelumnya sudah dihinggapi firasat buruk. Mula-mula, Inggit bermimpi tentang sekelompok lelaki berseragam menyerbu ke rumah Sukarno. Benar saja, mimpi itu menjadi nyata. Inggit menerima kabar mengejutkan tentang Sukarno dari surat kabar Perniagaan (Sukarno: Biografi 1901-1950).
Dua kawan lain Sukarno, Maskun dan Supriadinata, juga ditangkap pada hari selanjutnya. Hal ini bersamaan dengan penangkapan besar-besaran anggota PNI oleh pihak Pemerintah Hindia Belanda. Meski banyak yang dibebaskan kembali, namun Sukarno, Gatot, Maskun, dan Supriadinata mendapat interogerasi dan dibawa ke meja persidangan (Sukarno: Sebuah Biografi Politik).
Rencana untuk membekuk para tokoh PNI tersebut sudah dilakukan pada tanggal 24 Desember 1929 oleh Jaksa Agung R.J.M. Verheijen. Ia memberikan perintah kepada para gubernur dan residen agar menggeledah kantor dan rumah-rumah tokoh PNI pada tanggal 29 Desember. Perintah ini bertujuan untuk mendapatkan dokumen terkait aktivitas PNI yang dapat dituntut berkenaan dengan pasal 108 dan 169 KUHP. Rencana ini berhasil. Tujuh pemimpin PNI seperti Sukarno, Gatot, Maskun, Supriadinata, Iskaq Tjokroadisoerjo, Inoe Perbatasari, dan Soekaemi harus mendekam di balik jeruji (Menjadi Indonesia Jilid I).
Selain Sukarno dan Gatot yang berhasil ditangkap di Yogyakarta, Iskaq mendapat penggeledahan ketika ia berada di Bandung. Menjelang matahari terbit, sekelompok polisi memasuki rumah Iskaq dengan persenjataan lengkap untuk mencari dokumen kegiatan PNI. Polisi kemudian membawa Iskaq ke rumah tahanan Kosambi setelah menggeledah barang-barang di rumahnya sampai porak-poranda. Tidak lama ditahan di Kosambi, Iskaq lalu dipindahkan ke penjara Banceuy selama beberapa Minggu bersama dengan Sukarno dan tokoh PNI lainnya (Iskaq Tjokrohadisurjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng).
Berita penangkapan dan penggeledahan para pemimpin PNI itu membuat rakyat geram terhadap pemerintah. Protes dari berbagai pers Pribumi pun tak bisa dibendung. Dalam protes itu ditampilkan suatu pernyataan yang tegas bahwa masa pemerintahan De Graef penuh dengan janji yang kosong alih-alih mempunyai maksud baik terhadap pergerakan kaum pribumi (Menjadi Indonesia Jilid I). Sementara itu, pada Januari 1930, Sartono dan Anwari mengambil alih peran pimpinan dalam kepengurusan pusat PNI. Lalu pada tanggal 9 Januari kedua tokoh ini mengeluarkan instruksi kepada para pengurus cabang dan anggotanya supaya menghentikan sementara kegiatan PNI. Instruksi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan anggota PNI yang juga memicu kritik tajam dari Mohammad Hatta (Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934).
Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (11): Sukarno Menjawab Sikap PNI
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (12): Rangkaian Kursus PNI Membahas Nasionalisme dan Imperialisme
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (13): Pertemuan Terbuka PNI Membahas tentang Poliklinik, Pendidikan, dan Kaum Intelektual
Pengadilan Lanraad
Tiba saatnya bagi Sukarno, Maskoen, Gatot, dan Supriadinata untuk diadili dimuka pengadilan. Tanggal 18 Agustus 1930 setelah ditahan selama tujuh setengah bulan, para terdakwa itu dimajukan ke hadapan hakim di gedung Landraad Bandung (kini Gedung Indonesia Menggugat). Sampai tanggal 27 September 1930, sidang pemeriksaan baru berakhir. Namun sidang pledoi dari masing-masing terdakwa berlangsung hingga tanggal 22 Desember (Menjadi Indonesia Jilid I). Sebagai tokoh yang paling diandalkan, Sukarno menyampaikan pledoinya yang dikenal dengan judul Indonesia Menggugat. Salah satu pembelaan yang dilontarkan Sukarno berisi tentang kritik atas pasal yang membatasi pergerakan kaum pribumi.
“Sebab, Tuan-tuan Hakim kami di sini didakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada pendapat subjektif yakni pendapat yang kurang sama tengah. Kami didakwa melanggar pasal 169 yang di dalam surat tuduhannya berisi tuduhan-tuduhan pelanggaran, tentang pemberontakan, pasal 161 bis, pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kami didakwa menjalankan hal-hal yang di dalam Kitab Undang-undang itu dialkalimahkan dengan cara membuka jalan bagi subjektiviteit itu. Terutama sekali pasal-pasal 161 bis dan 153 bis sangat sekali membuka keempatan lebar pada pendapat subjektif itu. Kami, kaum politik Indonesia, kami sejak semula pasal-pasal diterbitkan, tidak henti-hentinya mengkritiknya, tidak berhenti-hentinya memprotesnya” (Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di depan Pengadilan Kolonial, Bandung, 1930).
Seorang anggota Volksraad, Idih Prawirawinata, menanyakan wewenang ihwal penggeledahan dan penangkapan terhadap para tokoh PNI itu. Namun, hakim menghentikan Idih dan melarang pertanyaan itu diajukan. Sementara itu, dua anggota PNI, Oeli dan Haji Sabari, dibawa sebagai saksi. Namun, hakim memberikan putusan agar kedua orang tersebut ditangkap setelah dianggap membuat kesaksian palsu.
Dalam berbagai surat kabar berbahasa Belanda dilaporkan bahwa Oeli dan Haji Sabari sering mengikuti kursus yang digelar oleh Partai Nasional Indonesia. Oeli yang terjerat kasus sumpah palsu itu merupakan anggota PNI dari Banjaran. Sedangkan Haji Sabari, selain anggota PNI juga merupakan seorang petani. Sabari dengan tegas mengatakan tentang tujuan PNI. Menurutnya, “Tujuan PNI adalah pembebasan Indonesia, seperti yang dikatakan oleh terdakwa” (De Tribune edisi 30 September 1930).
Persidangan yang diketuai oleh Mr. R. Siegenbeek van Heukelom ini baru dapat memutuskan hukuman pada tanggal 22 Desember 1930. Persidangan ini melibatkan Jaksa Penuntut Umum, Rd. Soemadisoerja bersama R.K. Kartakoesoemah, R.K. Wirianata Atmadja dan Tirtawinata (Riwajat Soekarno Djilid Ka I), dan menimbulkan kritik dan protes dari berbagai pihak.
Sukarno, Gatot, Maskoen dan Supriadinata, diganjar hukuman oleh Landraad Bandung dengan durasi tahanan yang berbeda-beda. Di antara keempat orang itu, Sukarno yang paling lama. Ia harus menjalani masa-masa getir tersebut selama 48 bulan. Sedangkan Gatot diganjar 24 bulan, Maskoen 20 bulan, dan Supriadinata mendapat hukuman 15 bulan (Menjadi Indonesia Jilid I).