Inggit Garnasih Dapat Anugerah sebagai Ibu Marhaenisme
Inggit Garnasih pernah mengorganisasi dapur umum untuk makan 5.000 orang. Zaman itu belum ada kompor gas.
Penulis Deni Rachman12 Juni 2021
BandungBergerak.id - Diawali dengan berziarah ke makam Inggit Garnasih dan menyanyikan Indonesia Raya, Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) membuka acara penganugerahan di pelataran pemakaman Ibu Inggit Garnasih, TPU Porib Caringin, Bandung, Rabu (9/6/2021). Acara dilanjutkan dengan sambutan keluarga Inggit Garnasih oleh Tito Zeni Asmarahadi, sambutan dari Majelis Pimpinan Sentral GRM Soenardi, dan pembacaan sekaligus penyerahan SK Anugerah kepada Inggit Garnasih sebagai Ibu Marhaenisme oleh Sekjen GRM Gartono.
Dalam sambutannya, Tito Zeni Asmarahadi menyampaikan ucapan terima kasih atas penganugerahan gelar Ibu Marhaenisme ini kepada Ibu Inggit. Tito mewakili bukan saja atas nama keluarga, sebab penghargaan ini ditujukan pula untuk kaum Marhaenis. “Sebetulnya penganugerahan ini bukanlah kepada kami, saya kembalikan penghargaan ini kepada kawan-kawan Marhaenis yang ada di Indonesia ini.”
Sebutan Ibu Marhaenisme ini, Tito teringat kembali pada tahun 1930 seperti yang dituliskan oleh Im Yang Tjoe dalam bukunya Soekarno sebagi Manoesia. Im Yang Tjoe adalah nama pena dari seorang yang bernama asli Tan Hong Boen yang hidup sezaman, dekat dengan Bung Karno, bahkan pernah sama-dengan Bung Karno dipenjara di sel Sukamiskin.
Di dalam bukunya itu, Im Yang Tjoe un menyebutkan Inggit Garnasih yang mendampingi Bung Karno sebagai Ibu Marhaen. “Alhamdulillah saat ini ada yang mengingatnya kembali,” ucap Tito.
Sebelum muncul julukan dwitunggal Sukarno-Hatta, kata Tito, terlebih dahulu ada dwitunggal Sukarno-Inggit dari tahun1923 sampai 1943. Istilah dwitunggal Sukarno-Hatta sendiri terjadi sekembalinya Bung Karno dari Bengkulu tahun 1942.
Baca Juga: Pancasila dari Rakyat (2): Ajaran Sukarno di Permakaman Belanda
Sukarno dan Suharto Sama-sama Wariskan Buku Masakan di Akhir Kekuasan
Inggitlah yang memberikan dukungan, asuhan, dan menjadikan Sukarno sebagai seorang pemimpin. “Boleh dikatakan bahwa Inggit adalah alat cetak, dialah yang mencetak Bung Karno sebagai pemimpin.”
“Bahwa Bu Inggit ini sejak muda sudah menjadi pejuang, sudah mempunyai karakter sebagai wanita penggerak dari lingkungannya. Interaksi dengan Bung Karno menambah spirit yang luar biasa, sehingga dorongan Bu Inggit merupakan sumber yang tetap dan utama dari kepimpinan Bung Karno,” sambung Soenardi dalam sambutan selepas Tito Zeni Asmarahadi.
“Piagam ini ditandatangani pada tanggal 6 Juni 2021 oleh Gerakan Rakyat Marhaen sebagai maklumat kita untuk Bu Inggit yang kita nyatakan sebagai Ibu Marhaenisme”.
Piagam yang berisi Surat Keputusan tersebut kemudian dibacakan oleh Sekjen GRM dan diserahkan kepada Tito Zeni Asmarahadi.
Acara selanjutnya dilanjutkan dengan diskusi. Di awal diskusi Sekjen GRM, Gartono, menegaskan anugerah ini bukan karena hubungan suami-istri Inggit dengan Bung Karno, bukan karena Bung Karno sebagai Bapak Marhaenisme lalu otomatis Bu Inggit sebagai Ibu Marhaenisme. Akan tetapi, jika ditilik dari kurun waktu perjuangan Bung Karno digembleng di Bandung didampingi oleh Bu Inggit selama 20 tahun, lebih lama dari gemblengan oleh mentor politik HOS Tjokroaminoto di Surabaya yang hanya 5 tahun.
Ketika Bung Karno berusia 16 tahun masih menjadi pelajar di Surabaya, Inggit sudah menjadi organisatoris dan aktivitis Sarekat Islam. Tahun 1916, Inggit mengorganisasi dapur umum Kongres Sarekat Islam di Bandung.
“Saat itu dapur umum adalah fund rising juga. Bayangkan mengundang 5.000 orang, Bu Inggit sanggup memberi makan 5.000 orang. Zaman dulu belum ada kompor gas. Kalau bukan pemimpin tidak akan bisa. Bagi saya, Bu Inggit adalah mentor kedua baik secara spirit maupun pemikiran. Jauh sebelum Bung Karno ke Bandung, Inggit dibawa suami sebelumnya, Haji Sanusi, berinteraksi politik dengan Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker, Raden Sosrokartono, dan tokoh-tokoh politik di Bandung. Jadi Bu Inggit bukan sekadara ibu rumah tangga, dialah srikandi Jawa Barat, srikandi Nusantara, wanita pemberani, binangkit,” tutur Gartono.
Bu Inggit meninggalkan zona nyaman, seperti yang pernah terjadi di tahun 1943 ketika Jepang memberikan fasilitas rumah, mobil sedan, dan honor kepada Bung Karno dan hendak menjadikannya first lady. Namun Inggit menolak, karena sikapnya tak mau dimadu. Inggit memilih idealisme ini karena pola pikir. “Ini perempuan hebat, seorang diduakan sama dengan perempuan yang dijajah.”
Sejak muda, hingga akhir hayatnya Inggit tetap mandiri berjualan bedak dan perkakas apa saja, tidak disantuni. Marhaenisme bukan pemikiran murni Bung Karno an sich, tapi lahir dari interaksi dialektika dengan Bu Inggit. Bu Inggit adalah thesa, situasi adalah antithesa, dan Marhaenisme adalah sinthesa.