• Cerita
  • Konferensi Asia Afrika 1955, Kisah Genteng Bocor Gedung Merdeka dan Mobil Pinjaman

Konferensi Asia Afrika 1955, Kisah Genteng Bocor Gedung Merdeka dan Mobil Pinjaman

Pemimpin regu keamanan Gedung Merdeka melapor kepada Roeslan Abdulgani dengan suara gugup. Ia bilang, bagian ruang pleno Gedung Merdeka bocor, lantai tergenang. 

Jalan Asia Afrika, Bandung. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Penulis Iman Herdiana20 Maret 2021


BandungBergerak - Laporan regu keamanan itu terjadi Senin, 18 April 1955, tepat jam makan siang, ketika para delegasi Konferensi Asia Afrika (KAA) beristirahat. Roeslan Abdulgani yang menjabat Sekjen KAA 1955, lagi makan siang di Hotel Trio Bandung.

Pagi sebelumnya, Roeslan Abdulgani ikut sibuk dalam rangkaian pembukaan KAA, konferensi akbar yang berlangsung di tengah Perang Dingin Blok Amerika Serikat vs Blok Uni Soviet. KAA digagas panca-Perdana Menteri, yakni Ali Sastroamidjojo (PM Indonesia), PM Pakistan Mohammad Ali Bogra, PM India Jawaharlal Nehru, PM Sri Lanka Sir John Kotelawala, dan PM Myanmar U Nu itu.

Di sekitar Gedung Merdeka, jalan ditutup dan dipakai parkir untuk mobil yang mengangkut sekitar 1.500 delegasi dari 29 negara Asia Afrika. Helatan ini diliput 500 jurnalis dari dalam dan luar negeri. Rakyat Bandung berjubel di pinggir-pinggir jalan.

KAA membetot perhatian dunia. Selain dihadiri delegasi dari 1/3 penduduk dunia, konferensi ini dihadiri Zhou Enlai, Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok yang kala itu menjadi pusat perhatian dunia.

Pukul 09.00 Presiden Ir Sukarno memberikan pidato Bahasa Inggris dalam aksen Jawa tapi bisa dimengerti oleh hadirin. Usai pidato Sukarno yang penuh tepuk tangan, Ali Sastroamidjojo terpilih menjadi Ketua KAA.

Tepat jam makan siang, konferensi diskor sampai pukul 15.00. Para delegasi meninggalkan ruang sidang Gedung Merdeka menuju tempat istirahat masing-masing sambil menunggu agenda KAA selanjutnya. Mereka istirahat makan siang di Hotel Savoy Homann dan Preanger yang tak jauh dari Gedung Merdeka.

Siang itu langit mendung. Hujan lebat disertai petir pun mengguyur Bandung, ketika Roeslan Abdulgani makan siang dan didatangi pemimpin regu keamananan Gedung Merdeka yang menyampaikan kabar buruk kebocoran gedung.

Tanpa menyelesaikan makan siang, Roeslan bersama dua orang stafnya langsung menuju Gedung Merdeka. “Memang keadaan di Gedung Merdeka mengerikan. Yang paling hebat bocornya di sebelah pinggiran bagian barat. Air terus nerocos dari atas,” tulis Roeslan Abdulgani, dalam bukunya “The Bandung Connection: Konferensi Asia Afrika di Bandung Tahun 1955”, Penerbit Gunung Agung (1980).

Tempat duduk delegasi, para menteri, dan pembesar lainnya basah kuyup. Panitia dan pewagai dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) langsung dikerahkan mengeringkan air dengan lap-lap yang ada.

Roeslan dan pejabat dari PU terjun langsung mengepel dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja. Pukul 14.00, hujan berhenti. Biang kebocoran disinyalir akibat genteng Gedung Merdeka yang merosot.

Dalam waktu 45 menit, sebelum agenda konferensi selanjutnya, ruang pleno itu sudah kering. Beruntung tidak ada peserta konferensi atau jurnalis yang menyaksikan petaka itu.

Usai konferensi, Roeslan baru melaporkan kejadian itu kepada Ali Sastroamidjojo. Ali terkejut dan sempat merenggut, tetapi akhirnya tertawa membayangkan panitia yang hanya mengenakan celana dalam mengepel ruang pleno yang kebocoran.

Hari pertama konferensi yang masa itu disingkat “Konperensi A-A”, berlangsung mulus. Hari kedua keesokannya, Bandung tak lagi diserang hujan lebat. Konon, kata Roeslan, panitia lokal telah giat mengerajkan segala macam kekuatan ‘gaib’ untuk menolak hujan, dengan keris, sapulidi, lombok merah, pakaian dalam yang sudah amoh dilemparkan ke genting Gedung Merdeka dan sebagainya dan sebagainya.

Jalan Asia Afrika saat Konferensi Asia Afrika 1955 (Dok. Museum KAA)
Jalan Asia Afrika saat Konferensi Asia Afrika 1955 (Dok. Museum KAA)

Mobil Pinjaman Buat Delegasi

Kerja keras mensukseskan KAA tak hanya dilakukan para pejabat pemerintah. Konferensi ini melibatkan banyak relawan warga Bandung. Salah satunya Abah Landung yang kini berusia 96 tahun namun masih lancar bergerak dan berbicara.

Abah Landung hadir memberikan kesaksian dalam acara menyambut 66 tahun KAA: “Media Engagement Museum Konferensi Asia Afrika Menyapa” di Museum KAA, Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat, 5 Maret 2021.

Tahun 1955, Abah Landung masih berusia 29 tahun dan bekerja sebagai ‘guru’ keliling. Dia mengalami hidup di 5 zaman, yakni Belanda, Jepang, era Sukarno, Suharto, dan kini pasca-reformasi.

Pria kelahiran Bandung 11 Juli 1925 itu sejak zaman Jepang menjadi relawan pengajar dan berkeliling dengan sepeda ontelnya untuk mengajar membaca dan menulis. Waktu itu Bandung belum sepadat sekarang. Penduduk Indonesia sekitar 80 jutaan, menurut Abah Landung.

Ia biasa berkeliling di sekitar Gedung Merdeka, Pasar Baru dan dikenal dengan sebutan pak guru. “Padahal saya bukan guru, hanya relawan mengajar,” kata Abah Landung.

Bulan Februari 1955, Gubernur Jawa Barat (1951–1957), Mohamad Sanusi Hardjadinata, mendapat perintah dari Jakarta untuk mempersiapkan KAA. Sanusi kemudian membentuk panitia lokal di mana Abah Landung terpilih sebagai relawan yang bertugas menyiapkan mobil atau akomodasi. 

Abah Landung hingga kini menaruh hormat pada Sanusi Hardjadinata yang pernah menjadi Rektor Unpad itu. Menurutnya, Sanusi adalah sosok kharismatik dan tidak sombong. “Pak Sanusi mengatakan sok jalankan jangan malu-maluin ini buat kepentingan kita semua,” cerita Abah Landung.

Menurutnya, pejabat di masa lalu tidak banyak cakap. Namun sekali bicara, perkataan mereka meresap dan penuh motivasi.

Maka dengan sepeda ontelnya, Abah Landung berkeliling pagi, siang, malam untuk mencari mobil pinjaman dari orang-orang kaya di Bandung yang jumlahnya masih bisa dihitung jari.

Ia menemui juragan-juragan pemilik hotel, pengusaha, dokter, yang tersebar di Jalan ABC, Alkateri, Cikapundung, Cigondewah, daerah Citarum dan lain-lain, yang secara sukarela mau meminjamkan mobilnya.

Dari Februari sampai menjelang KAA, ia dan relawan lainnya berhasil mengumpulkan 28 mobil antik. Ada saudagar yang bekerja sama dengan perusahaan mobil Jerman yang sanggup meminjamkan 80 mobil.

Mobil-mobil antik hasil pinjaman disimpan di Gudang Selatan, dan saat pelaksaanaan KAA mobil tersebut diparkir di Jalan Cikapundung sekitar Gedung Merdeka.

Begitu juga mobil RI 1 untuk Sukarno yang didatangkan dari Jakarta dengan terlebih dahulu dilepas pelat nomornya. Setelah tiba di Bandung, baru pelat nomor RI 1-nya dipasang Kembali.

Menurut Roeslan Abdulgani dalam “The Bandung Connection”, keperluan transportasi KAA dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin. Sarana transportasi tersebut disediakan panitia lokal yang dibentuk untuk menyiapkan KAA.

Selama menjadi relawan KAA, Abah Landung menuturkan semua relawan bekerja demi mensukseskan konferensi. Ia makan sepemberian panitia, yakni nasi bungkus. Sedangkan para delegasi makan kuliner-kuliner terkenal masa itu, antara lain, Sate Hadori, Colenak Kurdi, Bajigur Senen, Bakmi Pak Hasan, dan lain-lain.

“Saya tugasnya sebagai OB, tapi bangga sampai hari ini,” katanya. Baginya kesuksesan KAA bukan saja karena kerja keras pemerintah. “KAA bukan an sich pemerintah tapi rakyat Bandung yang membantu!”

Konferensi Asia Afrika 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. (Dok. Museum KAA)
Konferensi Asia Afrika 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. (Dok. Museum KAA)

Foto Hitam Putih Gratisan

Kisah dari saksi sejarah KAA lainnya, Inen Rusnan, lain lagi. Ia bertugas sebagai tim fotografer KAA 1955. Usia Inen sebenarnya lebih muda dari Abah Landung, yakni 83 tahun. Namun Inen sudah banyak mengalami keterbatasan fisik.

Inen datang ke acara “Media Engagement Museum Konferensi Asia Afrika Menyapa” Museum KAA didampingin istirinya, Dedeh Kurniasih. Langkah Inen sudah lamban, pendengarannya juga berkurang, dan suaranya pelan. Istirinya bertugas mengulang pertanyaan yang disampaikan moderator acara.

Inen lahir di Sumedang, 2 Agustus 1937. Ketika KAA, ia baru berusia 17 tahun sekaligus fotografer termuda di konferensi terbesar di zaman itu.

Masa itu Inen bekerja sebagai fotografer lepas. Ia diangkat anak asuh oleh James, tokoh fotografi Bandung. Dari James, Inen banyak belajar seni fotografi sampai akhirnya mendapat tugas menjadi bagian dari tim fotografer KAA.

Inen masih ingat menggunakan kamera Leica F3 dan membawa 20 roll film selama mengabadikan momen bersejarah KAA. “Bapak angkat saya (James) mengingatkan jangan sampai kehabisan film, bisa repot,” tutur Inen.

Teknologi kamera tahun 1955 jauh berbeda dengan teknologi digital sekarang. Dahulu, kamera harus dipasang film agar bisa mengabadikan gambar. Roll film yang sudah dipakai harus masuk kamar gelap untuk dicuci dan dicetak hitam putih.

Tugas Inen adalah membantu penyediaan dokumentasi untuk wartawan dalam dan luar negeri, plus menyediakan foto bagi para delegasi. Foto-foto tersebut dibagikan cuma-cuma. “Foto-foto Pak Inen supaya tayang di koran masing-masing,” katanya. Inen ingat, ia mencetak ratusan foto delegasi KAA.

Sebagian foto karya jepretan Inen kini menjadi dokumen negara, beberapa dipajang di Gedung Merdeka dan Museum KAA. Foto lainnya banyak yang dibawa peserta delegasi ke luar negeri.

Kepala Museum KAA, Dahlia Kusuma Dewi, mengatakan kisah para saksi KAA seperti Abah Landung dan Inen Rusnan penuh pesan penting bagi generasi saat ini, termasuk bagi para pengelola Museum KAA.

Abah Landung dan Inen Rusnan telah menyuarakan semangat kerelawanan yang akhir-akhir ini mungkin berkurang. Mereka bekerja tanpa memikirkan pamrih.

“Bukan soal berapa harganya, tapi kalau mereka senang ikut senang. Ikut bahagia ketika orang lain bahagia. Itu hal yang susah dilakukan tapi Pak Inen telah memberikan contoh kepada kita,” kata Dahlia Kusuma Dewi.

Begitu juga dengan Abah Landung yang keliling mengowes sepeda demi mendapat mobil pinjaman untuk dipakai delegasi. Di zaman sekarang mungkin orang akan memikirkan bayaran dulu sebelum bekerja.

Tetapi Abah Landung dan Inen Rusnan rela bekerja keras agar Indonesia yang baru merdeka, yang masih menghadapi ancaman penjajah dan konflik dalam negeri dengan munculnya berbagai pemberontakan, bisa sukses menyatukan negara dari Bendua Asia dan Afrika yang dirundung penjajahan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//