BANDUNG HARI INI: Spirit Konferensi Asia Afrika dalam Perangko dan Radio
Spirit Bandung yang lahir dari Konferensi Asia Afrika kini menemukan relevansi dan ujiannya.
Penulis Iman Herdiana18 April 2022
BandungBergerak.id - Abah Landung, saksi hidup Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, pernah berkata bahwa perhelatan akbar yang mempertemukan ratusan negara dari Asia dan Afrika sebagai hasil kerja bersama antara pemerintah dan rakyatnya. Tanpa kerja sama ini, sulit untuk menyukseskan KAA.
“KAA bukan an sich pemerintah tapi rakyat Bandung yang membantu!” kata Abah Landung.
Dengan kata lain, KAA merupakan hasil kerja rakyat bersama elite politik atau pejabat pemerintahnya. Abah Landung sendiri waktu itu relawan KAA 1955 yang bertugas mencari mobil-mobil pinjaman untuk dipakai delegasi KAA.
Pos dan radio menjadi komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam penyelenggaraan KAA 1955. Karena dengan dua institusi inilah informasi dan komunikasi para delegasi KAA bisa tersampaikan, termasuk komunikasi antardelegasi, antara anggota delegasi dengan negaranya, antara anggota delegasi dengan anggota keluarganya di belahan dunia sana.
Alur komunikasi para delegasi ini digambarkan dalam buku tua berjudul “Laporan KAA Bandung April 1955” yang menjadi koleksi Museum PT Pos, Bandung. Di dalam buku ini dicatat terperinci mengenai peristiwa komunikasi perhelatan akbar yang kemudian memicu kemerdekaan di negara-negara Asia dan Afrika itu.
Melalui buku tersebut, diketahui bahwa dalam dalam sehari KAA terdapat 17.000-an kata yang dikirimkan melalui telegraf, ada 1 juta kata telegraf ke luar negeri, 831 sambungan telepon rumah, 800 panggilan telepon, dan seterusnya.
Kata-kata yang dikirimkan para anggota delegasi KAA itu baik yang bersifat resmi kenegaraan maupun personal dengan anggota keluarga mereka. Karena seperti diketahui, KAA dihelat 18 - 24 April 1955. Ada banyak delegasi yang menginap di hotel-hotel di Bandung. KAA sendiri diikuti sedikitnya 1.500 delegasi dari 29 negara Asia Afrika dan diliput oleh 500 jurnalis dari dalam dan luar negeri.
Kepala Museum PT Pos, Ahmad Miftahuddin, menuturkan PT Pos Indonesia di masa KAA 1955 khusus mencetak buku panduan dan suvenir untuk para delegasi. Semuanya tercatat dalam buku “Laporan KAA Bandung April 1955”.
“Buku tua ini mencatat bahwa saat itu Pos menerbitkan perangko istimewa Konferensi Asia Afrika. Ada perangko 13 sen, 15 sen, 35 sen, 50 sen, 75 sen. Dibuat cap khusus untuk peristiwa itu,” kata Ahmad Miftahuddin, dalam acara Ngobrol Bareng Edukator Museum KAA seri ke-87 sebelum Ramadan lalu.
PT Pos Indonesia mencetak perangko khusus KAA dalam jumlah terbatas, yakni 2.000-an pcs yang semuanya ludes diborong delegasi selama event KAA. “Jadi 2000-an pcs perangko itu habis. Dijual dengan harga senan. PT Pos untung sampai Rp 500 ribu. Rp 500 ribu zaman dulu, bukan zaman sekarang,” katanya.
Selain perangko, PT Pos juga mencetak buku panduan untuk delegasi. Buku ini memberikan informasi layanan bagi peserta delegasi, mulai dari hotel dengan jaringan teleponnya, nomor telepon interlokal yang bisa dihubungi, dan sebagainya. Tarif telepon ke luar dibanderol 75 sen, dan layanan surat 50 sen.
Baca Juga: Ancaman Kematian karena Covid-19 pada Libur Lebaran masih Ada
Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
Masjid Salman ITB, Masjid Kampus Pertama di Perguruan Tinggi Negeri
Peran RRI
Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung juga tidak kalah sibuknya dengan PT Pos di masa KAA 1955. Sebagai radio yang memiliki jaringan infrastruktur lengkap warisan Belanda dan Jepang, RRI Bandung menjadi pusat informasi bagi jaringan radio lainnya se-Indonesia.
“Banyak yang me-relay siaran RRI Bandung pada saat KAA 1955 ini,” kata Tjutju Tjuarna Adikarya, sesepuh RRI Bandung, pada acara Ngobrol Bareng Edukator Museum KAA seri ke-88, awal Ramadan kemarin.
Selama KAA, RRI Bandung bekerja sama dengan RRI Jakarta. Beberapa reporter dari Jakarta dikirimkan ke Bandung untuk meliput event dunia ini. Selama konferensi, para reporter RRI menempati balkon timur Gedung Merdeka bersama ratusan jurnalis lainnya.
Senada dengan Abah Landung, Tjutju sepakat bahwa KAA adalah hasil kerja sama seluruh komponen bangsa.
“RRI salah satu radio yang berperan aktif selama KAA 1955. Waktu itu negara baru berumur 10 tahun tapi sudah mengumpulkan negara-negara dari Asia Afrika. Ini hasil kerja sama anak bangsa sampai KAA sukses,” ungkap Tjutju.
Tjutju juga menyebut bahwa RRI Bandung selalu hadir dalam momen-momen penting sejarah pergerakan kemerdekaan, selain pada momen KAA. RRI berdiri 26 hari setelah Indonesia merdeka, yakni 11 September 1945. Tetapi siaran pertama RRI sudah jauh lebih tua, yakni 2 mei 1923 ketika masa kolonial.
RRI Bandung pula yang pertama kali menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke penjuru dunia. Pembacaan teks penting ini dilakukan tim penyiar Sakti Alamsyah dan kawan-kawan. Mereka melakukan siaran secara sembunyi-sembunyi di bawah pengawasan Jepang yang masih bercokol kuat di Bandung.
Spirit Bandung Kini
Ada kesamaan situasi Konferensi Asia Afrika tahun 1955 dengan peringatan KAA hari ini yang genap berusia 67 tahun. Dahulu perhelatan KAA dilatarbelakangi Perang Dingin antara Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet). Ketegangan ini nyaris meletuskan Perang Dunia Ketiga.
Di tengah dua kutub tersebut, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo bersama Presiden Sukarno merancang Konferensi Asia Afrika. Padahal situasi dalam negeri Indonesia juga sedang krisis, baik secara politik maupun ekonomi. Indonesia baru 10 tahun merdeka, banyak tatanan yang harus dibangun. Kabinet pun masih terus mengalami bongkar pasang.
Kini, blok Amerika Serikat masih berdiri lengkap, tetapi Blok Timur sudah hancur dalam bentuk negara-negara merdeka, antara lain dan yang paling besar, Rusia. Sekarang dunia menghadapi ketegangan baru yang dikhawatirkan memicu perang nuklir, yang ditandai dengan dimulainya invasi Rusia ke Ukraina.
Ketegangan tersebut diperparah dengan situasi dunia yang masih dilanda pagebluk Covid-19. Indonesia sebagai penyelenggara KAA 1955 sebenarnya memiliki modal sejarah untuk berperan lebih aktif lagi dalam mencegah pecahnya Perang Dunia Ketiga.
Sementara kondisi di dalam negeri Indonesia saat ini juga tidak terlalu baik karena hantaman dua tahun pagebluk dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, terutama minyak goreng. Beberapa kali ribuan mahasiswa berunjuk rasa menuntut perbaikan ekonomi. Belum lagi dengan manuver elite politik yang menginginkan pemilu ditunda. Spirit Bandung yang lahir dari Konferensi Asia Afrika kini menemukan relevansi dan ujiannya.