Masjid Salman ITB, Masjid Kampus Pertama di Perguruan Tinggi Negeri
Pembangunan Masjid Salman ITB harus menempuh jalan berliku sebelum mendapat restu dari Sukarno. Panitia pembangunan menolak dana sumbanga dari hasil lotre.
Jusair
Peminat Literasi dan Sejarah Kota Bandung
17 April 2022
BandungBergerak.id - Usai salat Jumat, kami berjalan pulang, melewati kampus ITB. Sambil memandang kampus ITB yang luas itu, Abah menggerutu dalam bahasa Sunda,"Teungteuingeun, sakola sakitu gedena teu aya masjid-masjid acan(Sungguh terlalu, sekolah sebesar itu belum ada Masjid)."
Kisah itu diceritakan Guru Besar Konversi Energi ITB Prof.TM Soelaiman di autobiografinya "Berkawan Matahari” terbitan PT. Remaja Rosdakarya 2003 halaman 149. Ia ceritakan kala itu Abahnya bernama Syuaib Sastradiwirya yang tinggal di Jakarta datang menengok kediaman anaknya di Jalan Mundinglaya, Bandung, pada satu Jumat sekitar tahun 1960. Jelang tengah hari Abah minta diantarkan ke Masjid.
“Mari kita ke Masjid Agung di Alun-alun Kota," ajakku. "Ah, tidak," Abah menolak. Abah ingin salat Jumat di sekitar kompleks Kampus ITB saja. Maka kami berjalan menyusuri JalanTamansari.
Dalam perjalanan itu kami tertarik suara azan duhur dan mencari sumber suara azan yang menelusup ke telinga kami. Kami memenemukan surau tepi kali Cikapundung dan kami memutuskan untuk salat Jumat di sana. Usai salat Jumat, kami berjalan pulang, melewati Kampus ITB tempatku mengajar. Sambil memandang Kampus ITB yang luas itu, Abah yang asli Pandeglang menggerutu dalam bahasa Sunda," Teungteuingeun, sakola sakitu gedena teu aya masjid-masjid acan." Ucapan abah itu mengilhaminya untuk mendirikan sebuah masjid di kampus ITB.
Suatu hari ketika usai mengajar, Prof. TM Soelaiman berdiskusi dengan mahasiswanya, Hasan Babsel mengenai ide mendirikan masjid di kampus ITB. Hasan sangat antusias dan mengumpulkan simpatisan untuk pembangunan masjid itu. Lalu diadakan salat Jumat pertama di Aula Barat. Foto-foto Guru Besar ITB terpampang di dindingnya. Menjelang salat Jumat, kami berdiskusi soal foto-foto guru besar itu apakah perlu dibalikkan saja posisinya. Prof. TM Soelaiman mengatakan tidak perlu, biarkan saja foto-foto itu terpampang ditempatnya. Kita salat menghadap kiblat, hiraukan saja foto-foto itu. Kita hanya berkomunikasi dengan Allah.
Ketika Masjid Salman ITB mulai dibangun pada awal tahun 1960-an, suasana kehidupan kampus masih melihat Islam sebagai sesuatu yang "asing" dengan konotasi merendahkan. Imaduddin Abdulrahim, penggiat Latihan Mujahid Dakwah yang didirikan 1973 pernah berkisah, "Pada masa itu (1960-an) mahasiswa yang mau menjalankan salat Jumaat digelari 'Onta Arab'.”
Armahedi Mahzar bercerita di tahun 1961 ia masuk ITB sebagai seorang mahasiswa di Departemen Fisika. Salat Jum'at untuk civitas Academica ITB sudah ada, walaupun tidak di dalam sebuah bangunan masjid. Kami salat di sebuah kamar ujung tangga dari gedung Aula Barat ITB. Kamar itu adalah sebuah ruangan yang dipisahkan dari ruangan tengah aula dan kamar lainnya dengan penyekat semi permanen. Mulanya hanya ada dua atau tiga shaf jamaa'ah. Akan tetapi jamaahnya bertambah terus, sehingga dinding pemisah harus dibongkar dan akhirnya jamaah seluruhnya tidak dapat ditampung dalam ruangan Aula Barat sehingga meluap ke selasar sekitar aula. Itulah sebabnya para dosen dan mahasiswa muslim berjuang untuk mendirikan sebuah masjid kampus.
Tuturan Yudi Latief dan Armahedi Mahzar mereka tulis di buku "Wajah Islam Indonesia-Setelah 50 tahun Masjid Salman ITB", Kumpulan Makalah Seminar 50 Tahun Masjid Salman ITB, Refleksi Untuk Menyongsong Era Kebangkitan Islam, terbitan Kalam Salman ITB Oktober 2013.
Prof. TM Soelaiman dalam autobiografinya menceritakan upayanya mendirikan Masjid Salman ITB, usai menggelar jumatan beberapa kali di Aula Barat dan disambut antusias kaum muslimin ITB. Jemaah jumatan kian banyak sehingga ruang dalam Aula Barat ITB tak mampu menampung jemaah. Bersama sejawat dan simpatisan ia mengumpulkan tandatangan pernyataan mendukung pendirian masjid ITB tak hanya dari kalangan kampus ITB, tapi juga pihak-pihak di luar kampus seperti dukungan dari Wali Kota Bandung dan Pangdam Siliwangi.
Namun rintangan muncul saat menghadap pihak rektor. Usulan lokasi yang kami inginkan berada di bagian selatan Kompleks ITB. "Masjid dibangun di sebelah utara (Kompleks ITB) saja," tegas tektor saat itu.
Walau usulan kami diperkuat ahli dosen Planologi ITB Ir. Waworuntu, penganut Nasrani. Lokasi yang kita pilih sesuai dengan tata ruang karena dekat Gereja St.Borromeus & Gereja GII Dago. Di rapat senat bukti dukungan dari berbagai pihak disampaikan namun usulan lokasi masjid tetap ditolak sidang senat.
Baca Juga: Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
Gerakan Dapur Umum dari Solidaritas Sosial Bandung
Mahasiswa Bandung Kembali Turun ke Jalan
Menghadap Sukarno
Walau rapat senat itu menyakitkan hati, belum waktunya menyerah. Munculah ide dari TM Soelaiman untuk mengajukan audiensi dengan Bung Karno untuk mendapatkan dukungan dari "orang tertinggi” di Indonesia. Ia yakin gelar Pemimpin Besar Revolusi akan membantu 'revolusi' ini. Apalagi, Bung Karno lulusan ITB juga.
Berempat, yaitu TM Soelaiman, arsitek Achmad Noe'man, Achmad Sadali (pelukis) dan Ir. Adjat datang pagi ke Istana Negara, Jakarta. Rupanya Bung Karno pagi itu sudah marah-marah, "Ini insinyur malu-maluin, bikin jalan meleleh semua!" gertak Bung Karno di halaman istana kepada pihak yang membangun Jalan M.H Thamrin. Saat itu aspal yang baru dipasang sepanjang jalan M H Thamrin meleleh karena cuaca panas Ibu Kota Jakarta sehingga jalan menjadi botak-botak.
Achmad Sadali sudah khawatir dan mengusulkan untuk angkat kaki dari teras Istana Negara, daripada ikut-ikutan kena semprot Pemimpin Besar Revolusi. Tapi TM Soelaiman meyakinkan timnya bahwa mereka pulang harus membawa hasil. "Biar saya saja yang bicara dengan Bung Karno," ujar TM Soelaiman.
Presiden Ir. Sukarno masih terus ngomel ketika menemui kami di teras Istana sambil mempersilakan kami berempat bersamanya menuju beranda Istana. Di sana sudah menunggu pula Menteri Agama Saifuddin Zuhri.
TM Soelaiman membuka percakapan, "Bung Karno, kami datang dari Bandung, hanya untuk meminta nama untuk masjid yang akan kami bangun di ITB."
Rupanya Bung Karno sangat antusias. Bung Karno bertanya, "Menteri Agama, siapa sih, itu teknokrat Islam pertama di zaman nabi?"
Setelah berpikir sejenak, Menteri Agama menjawab, "Itu Salman Alfarisi."
“Betul! ya, sudah saya berikan nama Masjid Salman ITB,” kata Bung Karno.
Tiga foto kopi gambar desain masjid diserahkan kepada Bung Karno dan meminta beliau untuk berkenan memberi tandatangan. Selain membubuhkan tandatangannya, Bung Karno juga menuliskan kata "Setuju".
Dengan membawa gambar yang sudah ditandatangani Bung Karno tentu tak ada lagi yang berani menghalangi rencana mereka. Tak lama kemudian, di tanah lokasi rencana masjid dipancangkan plang bertuliskan, "Di Sini akan Dibangun Masjid Salman-ITB oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno".
Di samping lokasi pembangunan masjid dibuatlah mushala kecil, lalu kegiatan salat Jumat dipindahkan ke musala itu. Untuk mengoordinasikan dana pembangunan masjid itu, didirikan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB (YPM Salman ITB) pada tahun 1963. Satu di antara aktivis pengumpul dana adalah mahasiswa Zuhal yang usai lulus kuliah tetap aktif sebagai pengurus harian YPM Salman ITB. Di kemudian hari beliau menjadi Menteri Riset dan Teknologi di Kabinet Presiden B.J Habibie.
Sesudah cukup dana, pembangunan dilakukan secara bertahap sesuai dana yang terkumpul. Dana didapat juga dari masyarakat, caranya, dengan pembuatan kupon. Kupon itu dibawa mahasiswa saat pulang kampung selama musim liburan. Kalau ada yang memberi sumbangan lewat mahasiswa itu, maka pemberi sumbangan akan dikirimi surat ucapan terimakasih. Itu juga sebagai upaya cek dan ricek.
Proposal juga disebar kepada pribadi, institusi dan lembaga. Sumbangan pun mengalir dari luar negeri, di antaranya dari pelajar yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia dan Persatuan Masyarakat Islam Indonesia di Jepang.
September 1965 usai TM Soelaiman mendapatkan undangan ceramah di Tokyo, Jepang, selain memaparkan mengenai G/30/S/PKI, ia juga menyampaikan mengenai pembangunan Masjid Salman ITB. Alhasil, jemaah yang hadir secara spontan mengumpulkan uang lalu dibelikan perangkat sound system untuk dibawa ke Indonesia. Dengan demikian azan pertama bisa berkumandang dari menara Masjid Salman ITB. Azan itu membuat haru pasien-pasien di RS Borromeus, Jalan Dago, dan memberi harapan kesembuhan dari penyakitnya.
Walau perlu uang, ada pula dana yang ditolak, seperti dari Departemen Sosial waktu itu yang mengatakan sumber dana berasal dari penjualan lotere (kupon berhadiah). Dana dari lotere tidak halal, jadi tak diterima. Di era Orde Baru, sebuah yayasan yang didirikan Presiden Suharto juga mau memberikan dana, tapi oleh pihak YPM Salman ITB ditolak karena pemberi dana memberi syarat harus memasang Lambang Negara Garuda Pancasila di bagian atas masjid. YPM Salman-ITB berupaya mempertahankan Masjid Salman-ITB sebagai tempat ibadah, sekaligus sebagai tempat untuk membina kader-kader di ITB dalam bidang agama. Jangan sampai dikotori dengan kepentingan politik.
Masjid Salman pun dicita-citakan sebagai masjid dwifungsi seperti masjid zaman Rasulullah: pusat ibadah dan pusat budaya. Iman adalah bagian dari rasionalitas seorang ilmuwan dan teknolog, dan Islam sebagai ruh dari pengamalan ilmu sebagai bagian dari kebudayaan seutuhnya. Gerakan sosial yang menyatukan antara agama, sains dan budaya secara kolektif adalah realisasi dari gerakan pemikiran mengenai kesatuan iman, ilmu dan amal secara individual.
Berdiri sejak 4 Juli 1963, Masjid Salman ITB menjadi masjid pertama di lingkungan kampus Perguruan Tinggi Negeri Indonesia dan menjadi revolusi baru Islam di lingkungan perguruan tinggi negeri.