Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
Dalam delapan tahun terakhir, penggusuran demi penggusuran terjadi di Bandung, kota yang mendaku ramah HAM (hak asasi manusia). Warga selalu jadi korban.
Dalam delapan tahun terakhir, penggusuran demi penggusuran terjadi di Bandung, kota yang mendaku ramah HAM (hak asasi manusia). Warga selalu jadi korban.
BandungBergerak.id - Kepada saya, 6 Maret 2022 lalu, warga menunjukkan surat perintah pembongkaran rumah-rumah di RW 04,05, 06, dan 08 Kelurahan Gumuruh, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Surat bertanggal 2 Maret 2022 tersebut ditandatangani oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung, Rasdian Setiadi. Hari itu, sebagian rumah warga di bantaran Sungai Cikapundung Kolot sudah dibongkar secara mandiri oleh para pemiliknya.
Oleh pemerintah, permukiman warga ditetapkan sebagai kumpulan bangunan liar yang harus ‘ditertibkan’. Jka dalam waktu 7x24 jam sejak surat dikeluarkan rumah-rumah itu belum juga dikosongkan atau dibongkar sendiri oleh penghuninya, aparat akan membongkar paksa.
Cerita selanjutnya mudah ditebak. Warga resah dan tak siap karena perintah pengosongan dianggap mendadak menjelang datangnya bulan Ramadan. Intimidasi jadi bumbu yang sangat lumrah dalam konflik tanah antara warga dan pemerintah.
Aparat dikerahkan. Apalagi ‘penertiban’ bangunan-bangunan ilegal ini embel-embelnya adalah bagian dari program revitalisasi sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Urusannya dengan Satuan Tugas (Satgas) Citarum Harum, alias tentara.
Betapa ampuh dampaknya! Sebelum surat perintah pengosongan bangunan terbit, sejumlah rumah warga sudah mulai dibongkar. Bahkan sebagian besar permukiman tetangga di Kelurahan Binongjati di seberang sungai, hari itu, sudah duluan rata.
Derita kehilangan rumah juga dialami warga di permukiman Anyer Dalam, Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan Batununggal, akibat eksekusi PT. KAI pada 18 November 2021. Meski mereka memberontak, tak banyak yang bisa dilakukan ketika aparat (Satpol PP dan Polsuska PT. KAI) merangsek maju merobohkan semua yang ada di area sengketa. Konflik ini berlanjut ke ruang pengadilan, sementara warga korban penggusuran bertahan di sekitar reruntuhan kampung mereka menunggu kepastian hukum.
Penggusuran di masa pagebluk memutar kembali ingatan saya pada apa yang terjadi di Kota Bandung dalam sewindu terakhir. Masih jelas teringat bagaimana permukiman padat di Jalan Karawang dan Jalan Banten rata dengan tanah pada 3 Agustus 2015. Warga berupaya terus mempertahankan ruang hidup mereka, tapi toh pemerintah bergeming. Penggusuran terus berlanjut sampai 6 Oktober 2016.
Kawasan ini sekarang jadi ruang publik dan area komersial Kiara Artha Park. Pengelolaannya menjadi kewenangan PT. Bandung Infra Investama, dengan Pemerintah Kota Bandung sebagai salah satu pemegang sahamnya. Jarak Kiara Artha Park sepelemparan batu saja dari Kampung Anyer Dalam yang saat ini sedang berkonflik.
Penggusuran juga melenyapkan Kampung Kolase di bantaran Sungai Cikapundung di Lebak Siliwangi pada September 2015. Kampung yang sudah tumbuh selama puluhan tahun sebagai bagian dari Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap tersebut kalah oleh pembangunan Teras Cikapundung yang diinisiasi oleh Pemkot Bandung dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.
Ruang publik baru dibangun. Kampung yang pernah mencuri perhatian publik dengan pameran kolase yang melibatkan masyarakat kampung dengan sejumlah seniman dari dalam dan luar negeri rata dengan tanah. Ratusan warganya dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Sadang Serang.
Pada 26 Juli 2016, pukul 8 pagi, ratusan aparat kepolisian Pengendali Massa dan Pasukan Anti Huru Hara bersenjata lengkap berjalan rapi menuju Jalan Stasiun Barat di kawasan Stasiun Bandung, Kelurahan Kebon Jeruk, atau bagian stasiun lama di sisi selatan. Bentrok tak terhindarkan. Pasukan berhadap-hadapan dengan warga yang berusaha mempertahankan kampung mereka dari klaim PT KAI atas permukiman dan jajaran toko serta warung makan di kawasan tersebut sebagai aset negara.
Hasilnya bisa ditebak dengan mudah. Rakyat kalah. Kampung mereka langsung digusur mumpung aparat bersenjata masih dalam posisi bersiaga.
Warga pun melawan melalui jalur hukum. Dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 31 Mei 2017, warga menang dan PT. KAI dinyatakan bersalah atas penggusuran kampung Kebon Jeruk. Namun euforia kemenangan warga hanya bertahan beberapa bulan. Pada 5 Desember 2017, Pengadilan Tinggi Jawa Barat memenangkan PT. KAI pada tingkat banding.
Di RW 11 Tamansari, puncak perlawanan warga terjadi pada 12 Desember 2019. Saat sidang sengketa masih berproses di pengadilan, seribuan aparat Satpol PP, polisi, dan TNI mengepung kampung mereka. Warga melawan dalam ‘pertarungan’ yang tak seimbang. Puluhan warga dan aktivis ditangkap. Puluhan lainnya luka-luka. Saat iini, tersisa satu warga yang tetap bertahan di Tamansari.
Pada 30 Maret 2022, awan hitam menggelayut di kawasan padat kendaraan di sekitar Jalan Arjuna hingga area sekitar Stasiun Kereta Api Ciroyom dan Pasar Ciroyom. Sekitar 1.000 keluarga yang tinggal di RW 04 Kelurahan Husein Sastranegara itu mulai resah. Berseliweran kabar, ruang hidup dan tempat mereka menggantungkan usahanya bakal terdampak proyek jalan layang (flyover) Ciroyom yang membentang sepanjang 700 meter.
“Kami tidak ingin menghambat proyek pemerintah asal jelas dan ada solusi yang berpihak pada warga. Kami sudah puluhan tahun tinggal dan merintis usaha di kawasan Jalan Arjuna ini,” kata salah satu warga.
Simpang-siurnya informasi tentang pembangunan jalan layanag Ciroyom sudah membuat resah warga. Kabarnya, mulai ada intimidasi dari ormas (organisasi massa) tertentu. Cara-cara usang penggusuran dengan meminjam tangan aparat dan ormas sedang dialami warga di sekitar Jalan Arjuna dan Ciroyom.
Abai Dampak Sosial
Dalam setiap penggusuran, negara sering mengabaikan dampak sosial yang diderita warga tergusur. Pemberian uang pengganti tidak akan pernah cukup karena penggusuran berarti lenyapnya juga sumber pendapatan sehari-hari mereka. Sebagian besar warga korban gusuran adalah para pekerja sektor informal yang menggantungkan nafkah dengan berdagang atau berusaha di sekitar permukiman.
Hak anak-anak korban penggusuran juga ditelantarkan. Selama ini mereka tumbuh, bermain, dan bersekolah di sekitar kampung mereka. Ruang hidup yang sudah terbentuk selama puluhan tahun dari generasi ke generasi inilah yang lenyap oleh penggusuran.
Urusan ‘bedol-membedol’ sebuah kampung tidak pernah semudah membalikkan telapak tangan. Betul bahwa sebagian penghuni kampung yang digusur itu dipindahkan ke rusunawa-rusunawa milik pemerintah, namun itu juga artinya mereka harus memulai lagi nyaris semuanya dari nol. Demikian juga sebagian lain warga yang harus menghuni kontrakan-kontrakan baru atau memilih bertahan dan terus melawan.
Lenyapnya rumah tidak selayaknya dibelokkan menjadi sekadar kalkulasi luas tanah dan bangunan. Pun hilangnya sejarah dan sumber penghasilan tidak akan pernah cukup dikompensasi dengan uang kerahiman.
Apa yang lahir dari penggusuran demi penggusuran, selain hilangnya ruang-ruang hidup manusia yang lalu terkamuflase ke dalam ruang-ruang publik ‘indah’ yang katanya bisa meningkatkan indeks kebahagian warga kota?
Foto dan teks: Prima Mulia
COMMENTS