• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (30): Para Pemimpin Partindo dan PNI Baru Ditangkap

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (30): Para Pemimpin Partindo dan PNI Baru Ditangkap

Operasi penangkapan oleh kepolisian Hindia Belanda pertama-tama dilakukan terhadap Sukarno, berikutnya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Berita tentang penangkapan Sukarno dalam Sipatahoenan 1 Agustus 1933. (Sumber: Arsip Sipatahoenan)

9 Mei 2022


BandungBergerak.idDitangkapnya para pemimpin Partindo dan PNI Baru membuat kedua partai nasionalis itu berada di ambang pergerakan. Peristiwa ini diawali dengan penangkapan Sukarno saat berada di Jakarta. Kala itu tanggal 31 Juli 1933, Sukarno dan Gatot Mangkoepradja berangkat dari Bandung menuju Jakarta selepas bertamu dari Semarang. Kepergian Sukarno dan Gatot ke Jakarta juga bersamaan dengan digelarnya kongres para anggota Pengurus Besar Partindo di rumah Sartono. Namun usai acara tersebut polisi langsung datang berhamburan (Sipatahoenan 1 Agusutus 1933) untuk menangkap seorang tokoh yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sukarno dan Gatot, yang waktu itu menginap di rumah MH Thamrin, sudah bersiap-siap untuk pulang ke Bandung. Tetapi ketika Sukarno sedang berbicara dengan seorang pribumi di depan halaman, polisi tiba-tiba datang menyergap dan langsung membawa Sukarno ke markas besar kepolisian Hindia Belanda. Untungnya hanya Sukarno yang dibawa ke sana. Sedangkan Gatot meneruskan perjalanan menuju Bandung (Sipatahoenan 1 Agustus 1933).

Di Bandung, rumah Sukarno digeledah oleh polisi. Semua buku-buku Sukarno yang jumlahnya sebanyak dua unit mobil itu diangkut ke kantor polisi (Sipatahoenan 3 Agustus 1933). Selain itu, terkait penangkapan Sukarno, surat kabar Sipatahoenan menganggap bahwa kasus ini berhubungan dengan brosur Mentjapai Indonesia Merdika yang mendapat sambutan hangat di tengah masyarakat. Konon, brosur yang sedang dalam cetakan ketiga itu sudah laris hingga 2.000 eksemplar. Namun, saat proses percetakannya yang ketiga di sebuah percetakan di Jalan Soemedangweg, polisi langsung melarang agar brosur yang ditulis Sukarno itu berhenti beredar (Sipatahoenan 1 Agustus 1933).

Di samping brosur tersebut, pemerintah Hindia Belanda mempunyai alasan resmi untuk menangkap Sukarno. Alasan itu berkenaan dengan rencana Partindo untuk menggelar rapat umum di Batavia tanggal 2 dan 31 Agustus 1933 sebagai momen besar bagi warga Belanda. Konon, tanggal 2 Agustus diperingati sebagai Hari Ibu Suri Nederland. Sedangkan tanggal 31 Agustus merupakan Hari Ratu Nederland. Dari persoalan itulah semua kegiatan Partindo dan PNI Baru dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda (Menjadi Indonesia buku I).

Setelah Sukarno dipindahkan ke Bandung, ia diinterogasi dan disodorkan beberapa pasal atas berbagai kesalahannya. Pada tanggal 18 Agustus 1933 Jaksa Agung mengirim rangkuman kesalahan-kesalahan Sukarno kepada Gubernur Jenderal. Menurut Giebels, rangkuman tersebut disusun oleh Albreghs dengan mengacu pada pasal pelanggaran berat. Albreghs, sebagaimana dikutip Giebels, menulis, bahwa “tinggal satu cara untuk mengamankan pemerintah maupun rakyat dari tindak-tanduk si demagog yang begitu membahayakan keamanan dan ketertiban umum ini yang ternyata tidak jera”. Albreghs juga menambahkan, “bahwa berdasarkan pasal 37 dari Indisch Staatsregeling baginya (Sukarno) bisa ditunjuk suatu tempat tertentu di Hindia Belanda”.

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (27): Persatoean Bangsa Indonesia Menuntut Pencabutan Ordonansi Sekolah Liar
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (28): Amir Sjarifudin Ikut Andil dalam Pertemuan Partindo Cabang Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (29): Kongres Pasundan di Bandung

Mohammad Hatta, proklamator sekaligus Wakil Presiden Pertama RI. (Sumber: Arsip Nasional Indonesia)
Mohammad Hatta, proklamator sekaligus Wakil Presiden Pertama RI. (Sumber: Arsip Nasional Indonesia)

Penangkapan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir

Selain pelarangan aktivitas Partindo dan PNI Baru, imbas dari kasus ini diterima oleh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi) di Minangkabau. PSII dan Permi mendapat larangan dari pemerintah dalam seluruh kegiatannya. Bahkan kalangan pers putih, media yang mendukung kehendak pemerintah Hindia Belanda seperti AID Preangerbode, turut memperuncing suasana yang di antaranya, menulis bahwa Sukarno dan Mochtar Luthfi akan mendapat hukuman pembuangan (Daulat Rajat 10 Agustus 1933).

Dengan kondisi seperti ini Mohammad Hatta dan Sartono mesti menggabungkan kekuatan. Kedua tokoh tersebut bersepakat untuk menjalankan kerja sama di antara cabang-cabang Partindo dan PNI Baru. Hal ini dilakukan agar setiap pertemuan kedua partai ini dapat berjalan (Menjadi Indonesia buku I). Di samping itu, PNI Baru yang harusnya melangsungkan kongres kedua di Surabaya bulan September 1933, terpaksa harus diadakan tanpa menggelar pertemuan dengan cara referendum. Sehingga hasil keputusan menetapkan Mohammad Hatta sebagai ketua PNI Baru selanjutnya.

“Oleh karena congres PNI jang ke-II jang telah ditetapkan akan dilangsoengkan pada penghabisan boelan September 1933 dikota Soerabaja, berhoeboeng dengan lahirnja vergaderverbod (tanpa pertemuan) jang sekonjong-konjong, tidak dapat dilanjoetkan, maka dengan djalan referendum telah ditetapkan soesoenan pimpinan oemoem Pendidikan Nasional Indonesia baroe jang terdiri dari: Ketua, Mohammad Hatta; Wakil Ketua, Maskoen; Penoelis, Boerhanoedin; Bendahari, Soeka; Commisaris Oemoem, Bondan. Pimpinan Oemoem jang baroe ini moelai memangkoe djabatannja dari tanggal 1 September 1933 dan berkedoedoekan tetap di Regentsweg 7, Bandoeng” (Daulat Rajat 30 Agustus 1933).

Belum genap lima bulan, Hatta yang saat itu sudah menjabat sebagai ketua Pendidikan Nasional Indonesia mendapat tekanan dari kaum kolonial. Rencana untuk menangkap para pemimpin PNI Baru sudah dilakukan di pengujung tahun 1933. Tepat di bulan Desember 1933, Jaksa Agung mengusulkan supaya Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir dan tokoh nasionalis lain yang beprinsip nonkoperatif ditangkap saja karena dianggap berbahaya (Menjadi Indonesia buku I). Minggu, 25 Februari 1933, lima orang polisi menggeledah rumah-rumah yang diduga anggota PNI Baru. 13 orang berhasil ditangkap dan dibawa ke penjara Banceuy. Selain itu empat tokoh PNI Baru yakni, Boerhanoedin, Maskoen, Soeka dan Moerwoto ditahan di markas besar polisi di Cicendo dengan pemeriksaan lebih lanjut (Sipatahoenan 26 Februari 1934). Sedangkan untuk Mohammad Hatta, Sjahrir dan Mohammad Bondan ditangkap di Jakarta dan ditahan di markas besar polisi sampai tanggal 1 Maret 1934 (Memoir).

Dengan ditangkapnya Mohammad Hatta, Sjahrir dan tokoh nasionalis lainnya mengakibatkan kekosongan di pucuk pimpinan PNI Baru. Majelis Penyiaran Pimpinan Umum PNI bahkan melaporkan hasil pemilihan wakil pimpinan umum yang terdiri dari ketua, sekretaris dan pembantu umum. Maka untuk mengisi kekosongan itu seluruh cabang PNI Baru yang terdapat di Indonesia memutuskan tiga orang sebagai wakil pengurus pusat PNI Baru, yakni Harjono sebagai ketua, TA Moerad sebagai sekretaris merangkap bendahara dan Soegra sebagai pembantu umum.

“Atas pilihan tjabang-tjabang PNI diseloeroeh Indonesia, diminta pada sdr.-sdr. Jang terseboet dibawah ini oentoek sementara waktoe mewakili djabatan Pimpinan Oemoem, menoenggoe sampai ada kepastian soal bagaimana sampai ada anggauta-anggauta pengoeroes PO jang sekarang semoanja masih ada dalam tahanan pendjara. Jang mewakili itoe, ialah: Ketoea, sdr. Harjono, Penoelis merangkap Bendahari, sdr. TA Moerad dan Pembantoe Oemoem, sdr. Soegra” (Daulat Rajat 10 April 1934).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//