• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (28): Amir Sjarifudin Ikut Andil dalam Pertemuan Partindo Cabang Bandung

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (28): Amir Sjarifudin Ikut Andil dalam Pertemuan Partindo Cabang Bandung

Beberapa kali polisi menghentikan pidato Amir Sjarifudin pada acara Partindo Cabang Bandung. Bahkan pidato Sukarno tak lepas dari sensor ketat kepolisian.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Amir Sjarifudin bersama konsul Amerika, Walter Forte, dan Sukarno pada tahun 1947. (Sumber: Perpustakaan Nasional)

17 April 2022


BandungBergerak.idBandung, 12 Februari 1933, Partai Indonesia Cabang Bandung menggelar pertemuan di Gedung GRI, Cilentah. Acara ini dihadiri oleh 4.000 orang peserta termasuk dari kalangan perempuan. Seperti biasa, setiap pertemuan Partindo tak luput dihadiri utusan organisasi lain dan juga perwakilan dari berbagai pers.

Pada pukul 09.30 acara dibuka oleh ketua Partindo Bandung, Gatot Mangkoepradja, seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian dia bercerita tentang perkembangan Partindo yang dilanjutkan oleh Kosasih dengan menerangkan Partindo dan rakyat. Perbicangan mengenai kooperatif dan nonkooperatif yang diperdebatkan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta sebelumnya, juga menjadi perhatian.

Setelah itu pembicara menjelaskan kondisi politik Indonesia serta mengulas berdirinya Partindo pada 29 April 1931 di Jakarta. Menurut Kosasih sejak awal berdirinya, Partindo mempunyai tujuan untuk merebut kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Namun, hanya sampai di situ, polisi Albreghs meminta agar Kosasih menyampaikan hal yang sewajarnya (Sipatahoenan 13 Februari 1933).

Usai Kosasih berbicara, giliran Amir Sjarifudin menjelaskan azas-azas Partai Indonesia. Mula-mula Amir menerangkan bahwa munculnya pergerakan timbul dari perselisihan di tengah kehidupan masyarakat. Ia mencontohkan perbedaan kehendak pada diri masyarakat, jika menurutnya ada yang ingin Indonesia merdeka, tetapi ada pula yang tetap berada di tanah jajahan. Kondisi ini bagi Amir, tidak terlepas dari sistem imprealisme (Sipatahoenan 13 Februari 1933) seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang telah menguasai tanah jajahan.

Selain itu Amir juga memberikan contoh dalam kasus pengaruh imprealisme Inggris di dunia. Ia mengambil salah satu tulisan penulis berkebangsaan Inggris yang telah melihat langsung pengaruh negaranya kala ia menumpangi pesawat dari London menuju Kairo, Capetown, India, Hongkong, Kanada dan kembali lagi ke London. Amir juga menjelaskan bagaimana penyebaran imprealisme modern di Indonesia setelah tahun 1905. Dengan menggambarkan peristiwa kala itu ia juga mengecam negara-neraga lain dengan dalih politik pintu terbuka (openteur politiek), namun sebetulnya ingin mengembangkan sistem imprealisme semata (Sipatahoenan 13 Februari 1933).

Ketika Amir menerangkan minimnya penghasilan bangsa jajahan yang hanya mengandalkan uang 1-2 setengah sen untuk kehidupan sehari-hari, polisi menghentikan agar Amir tidak melanjutkan pembahasan itu. Ia pun lalu mengubah bahasannya dan menceritakan perbedaan kepentingan antara organ lain dan Partindo sebagai landasan untuk tidak dapat bekerja sama. Setelah itu Amir menyatakan bahwa simbol imprealisme berada pada pemerintahan. Kalau tidak ada perbedaan kepentingan, menurut Amir, tentu tidak akan ada nonkooperatif di tengah pergerakan (Sipatahoenan 13 Februari 1933).

Di samping itu Amir menyinggung soal Tweede Kamer (Dewan Perwakilan) yang tidak sepakat dan tidak memercayai kemerdekaan Indonesia. Ia juga menceritkan tentang massa aksi yang lebih tegas sebagai capaian Partindo untuk memengaruhi seluruh rakyat Indonesia. Amir mengambil contoh sosok Gandhi di India dan Sun Yat Sen di Tiongkok yang berhasil mengakomodir 2-3 juta orang dan mengubah ratusan jiwa melalui massa aksi tersebut. Hanya sampai di situ, polisi melarang Amir kembali untuk melanjutkan penjelasannya (Sipatahoenan 13 Februari 1933).

Sebagai tokoh Partindo, Amir Sjarifudin awalnya tercatat sebagai pengurus Cabang Jakarta. Sebuah dokumen Perpusatakaan Nasional RI memperlihatkan jika pada tahun 1932 Amir sudah menjabat sebagai bidang pembantu dalam kepengurusan Partindo Cabang Jakarta. Ia bersama dengan Arifin, Jabar dan Ismanguwinoto masuk dalam bidang pembantu di bawah kepemimpinan D. Winoto. Dokumen yang dicetak tanpa penerbitan resmi itu mencantumkan berbagai pengurus Partindo di seluruh Indonesia. Selain itu, dokumen itu juga menampilkan nama “Partai Indonesia” sebagai judul disertai azas, tujuan dan kongres yang sudah maupun akan diselenggarakan di tahun berikutnya. Seperti kongres yang akan berlangsung di Surabaya pada pertengahan tahun 1933.

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (24): Polemik Sipatahoenan dengan Surat Kabar Kiauw Po
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (25): Partindo Cabang Bandung Membicarakan Imprealisme
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (26): Persatoean Bangsa Indonesia Menuntut Pencabutan Ordonansi Sekolah Liar

Polisi Menghalangi Sukarno

Pertemuan terbuka Partindo Cabang Bandung yang menghadirkan Amir Sjarifudin itu memang cukup antusias dan penuh pencekalan. Beberapa kali polisi menghentikan para pembicara di sela-sela pembahasannya. Selain Kosasih dan Amir, pencekalan juga dialami oleh Soetojo sebagai salah satu pembicara utama. Soetojo semula akan menjelaskan ihwal pajak tanah, pajak bakau dan pajak kepala. Namun ketua Partindo Bandung meminta agar topik pembahasan diganti lantaran dilarang oleh polisi. Sehingga Soetojo akhirnya membahas tentang formasi kekuatan massa aksi dan radikalisme (Sipatahoenan 13 Februari 1933).

Ihwal pembahasan ini, mula-mula Soetojo menjelaskan kondisi masyarakat dan rakyat pada umumnya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Partindo akan menghilangkan segala perselisihan untuk mengejar persatuan Indonesia sambil mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap orang-orang yang saling menjelek-jelekan Sunda, Jawa dan Sumatera maupun suku lainnya. Soetojo menggambarkan penjelasannya itu dengan sebuah perumpamaan. Menurutnya, barisan rakyat Indonesia ibarat keretaapi yang akan diseret oleh Partindo sebagai lokomotif menuju jalan lurus stasiun dalam menempuh kemerdekaan Indonesia (Sipatahoenan 13 Februari 1933).

Sementara itu, usai Soetojo berbicara giliran Sukarno untuk menyampaikan bahasan yang sudah ditentukan oleh panitia. Awalnya ia akan menjelaskan soal pajak. Namun sebagaimana yang dialami Soetojo karena dilarang oleh polisi, akhirnya Sukarno menjelaskan tentang sosio-nasionalisme dan sosial-demokrasi. Sambil menerangkan pengertian demokrasi, Sukarno mencotohkan kondisi di Belanda dan Inggris. Sukarno tidak sepakat dengan demokrasi yang diterapkan dalam kedua negara itu. Karena menurutnya masih ada kesengsaraan rakyat seperti yang ditunjukkan pada demokrasi setelah kemunculan Revolusi Perancis. Ia juga menyebut bahwa sebelumnya terdapat zaman di mana rakyat dibodohi oleh kaum borjuis demokrat. Dengan demikian ia menegaskan demokrasi yang diharapkan oleh Partindo yakni demokrasi mulia bagi seluruh rakyat Indonesia (Sipatahoenan 13 Februari 1933).

Setelah Sukarno membahas nasionalisme, pertemuan pun ditutup tepat pada pukul 12 siang. Ribuan hadirin yang ikut dalam pertemuan itu berbondong-bondong meninggalkan gedung GRI.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//