• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (27): Persatoean Bangsa Indonesia Menuntut Pencabutan Ordonansi Sekolah Liar

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (27): Persatoean Bangsa Indonesia Menuntut Pencabutan Ordonansi Sekolah Liar

Protes terhadap kebijakan ordonansi untuk sekolah liar bukan saja datang dari Perstoean Bangsa Indonesia, namun juga muncul dari Taman Siswa.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Sekolah Rakyat Taman Siswa Tahun 1947. (Dokumentasi geheugen.delpher.nl)

10 April 2022


BandungBergerak.idMinggu, 11 Desember 1932, Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) Cabang Bandung mengadakan pertemuan terbuka yang berlangsung di Gedung Himpoenan Soedara. Selain dihadiri oleh anggota dan pengurus PBI, acara ini juga diliput oleh berbagai surat kabar serta dijaga ketat oleh barisan aparat polisi.

Tujuan dari digelarnya pertemuan ini yaitu, menuntut pemerintah agar mencabut aturan yang diperuntukkan bagi sekolah swasta (sekolah liar) yang dikenal dengan Onderwijs Ordonnantie (Undang-Undang Pendidikan). Sebab dengan diberlakukan aturan ini, seluruh sekolah rakyat sangat terbebani karena berisi poin-poin yang bertolak belakang dengan praktik pendidikan.

Pertemuan terbuka dipimpin langsung oleh Bachrum sebagai ketua PBI cabang Bandung. Setelah acara dibuka, Haji Achmad dari Centraal PBI berpidato tentang kemajuan pendidikan di negara-negara lain. Kemudian Haji Achmad menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah seperti di negara Swiss dan Rusia mewajibkan anak usia dini untuk bersekolah. Bahkan bila orang tua tidak memaksakan anak-anaknya bersekolah pemerintah akan memberi sanksi yang berujung tuntutan di pengadilan (Sipatahoenan 12 Desember 1932).

Selain itu Haji Achmad membandingkan kondisi pendidikan di Indonesia sangat berbeda dengan perkembangannya di negara-negara lain. Hal ini mengacu pada kekurangan sekolah yang juga menjadi indikasi minimnya kemampuan membaca dan menulis bagi kalangan anak-anak pribumi. Sehingga bagi Haji Achmad kondisi ini begitu memprihatinkan dibanding dengan negara-negara yang kemajuan pendidikannya sudah berkembang sangat jauh (Sipatahoenan 12 Desember 1932).

Berdasarkan Staatsblad 1932 no. 494, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan yang membatasi seluruh sekolah swasta. Isi yang terkandung dalam aturan itu antara lain, pengajar harus lulusan sekolah pemerintah, dan juga sekolah harus memelihara kesehatan (Soeara Taman Siswa nomor 3 Oktober 1932). Dengan adanya aturan ini bukan saja mengurangi hak masyarakat pribumi dalam menyelenggarakan pendidikan menurut kebutuhan dan kehendaknya sendiri (Hasil rapat Budi Utomo dalam De Locomotief 29 Desember 1932), tapi juga dapat memperbanyak buta huruf di kalangan anak-anak pribumi, terutama bagi mereka yang masuk ke sekolah-sekolah partikulir.

Selain Haji Achmad, perwakilan lain dari Centraal PBI mendapat giliran untuk berpidato. Ngoesman, utusan kedua dari Centraal PBI, menganggap bahwa ordonansi yang muncul tanpa perundingan itu terlalu rumit bagi para pengelola sekolah pribumi yang ingin terus beroperasi. Di samping harus mendapat lampu hijau dari para pejabat pemerintah, kepemilikan gelar bagi para  guru merupakan halangan lain yang dianggapnya cukup sulit. Padahal bagi Ngoesman, seorang guru yang mempunyai gelar belum tentu lebih pintar dari guru yang tidak memiliki gelar bila dilihat dari sepak terjangnya di lapangan (Sipatahoenan 12 Desember 1932).

Ngoesman juga menjelaskan bahwa jumlah murid dan urusan kesehatan merupakan poin yang patut dipertanyakan. Ngoesman lalu menggambarkan praktik sekolah yang dilakukan di rumah. Dalam aturan itu disebutkan bila seorang guru tidak boleh mengajar lebih dari tiga orang murid. Hal ini lalu menjadi tanda tanya bagi Ngoesman, terutama kalau di sebuah rumah memiliki 7 orang anak atau lebih.

Sementara itu untuk urusan menjaga kesehatan sekolah, Ngoesman menganggap poin ini sebagai halangan yang tidak masuk akal. Ia berpendapat bahwa menjaga kesehatan tidak hanya berlaku di sekolah, namun juga di luar sekolah seperti di rumah dan tempat di mana anak-anak bermain. Sehingga Ngoesman menilai poin-poin tersebut sangat menghalangi kemajuan pendidikan. (Sipatahoenan 12 Desember 1932).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (23): Pertemuan Gabungan Persatoean Aksi Bandoeng
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (24): Polemik Sipatahoenan dengan Surat Kabar Kiauw Po
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (25): Partindo Cabang Bandung Membicarakan Imprealisme

Protes Taman Siswa

Protes terhadap kebijakan ordonansi untuk sekolah liar bukan saja datang dari Perstoean Bangsa Indonesia, namun juga muncul dari perkumpulan lain seperti Taman Siswa. Sebagai sekolah yang digagas oleh kaum pribumi, Taman Siswa tentu saja mengalami kerugian atas kebijakan itu. Bahkan saat onderwijs ordonnantie pertama kali mencuat, rengrengan Taman Siswa langsung merespons dengan penuh kekecewaan. Pada majalah Soeara Taman Siswa nomor ketiga Diksoewana dan Singaranoe menggambarkan kekecewaan itu sebagai huru-hara gunung meletus. Tulisan itu disertai juga dengan implikasi kebijakan tersebut yang akan membuat sekolah-sekolah partikulir gulung tikar.

Sementara itu dalam Deli Courant 26 Oktober 1932, terdapat perhatian yang ditujukan kepada kaum nasionalis, khususnya terhadap Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri sekolah Taman Siswa. Dalam artikel yang dilansir dari Bataviaash Niuewsblad itu, Deli Courant menampilkan judul yang cenderung provokatif dengan sebuah pertanyaan yang diajukan sebagai pembangkangan sipil. Di bawahnya tertulis, “En het Kwaad der Wilde Schoolen”, yang berarti memberi gambaran naif terhadap sekolah liar.

Selain menyinggung soal-soal kebijakan pendidikan, isi artikel tersebut mengulas kiprah Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) sejak bersekolah di Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra). Lalu masalah onderwijs ordonnantie yang membebani seluruh sekolah swasta itu akhirnya kembali menjadikan Ki Hajar Dewantara sebagai musuh utama pemerintah Hindia Belanda. Mengingat sebelumnya ia pernah diasingkan ke Belanda sampai ia kembali ke Indonesia mendirikan sekolah rakyat Taman Siswa.

Tuntutan Persatoean Bangsa Indonesia melalui pertemuan terbuka di Bandung itu tentu saja mengikuti sikap yang ditunjukkan oleh Taman Siswa. Maka, dari rapat itu dihasilkanlah keputusan bahwa:

“Melihat adanja ordonnantie jang mengenai past onderwijs jang ta bersubsidie. A. menimbang, bahwa ordonnantie terseboet menjerang hak-hak ra’jat Indonesia tentang memilih sematjam pendidikan jang selaras dengan perasaan dan kekoeatan ra’jat. B. menimbang, bahwa ordonnantie terseboet selainnja meroegikan pergaoelan hidoep dan pendidikan ra’jat, djoega mematikan nafsoe ichtiar Rajat Volkuniversiteit. Memoetoeskan: 1. Mengeloearkan protest sekeras-kerasnja terhadap Ordonnantie itoe. 2. Berichtiar soepaja ordonnantie itoe ditjaboet. 3. Menjetoedjoei sikapnja Taman Siswa menentang Ordonnantie itoe” (Sipatahoenan 12 Desember 1932).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//