• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (26): Partindo Cabang Bandung Membicarakan Imprealisme

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (26): Partindo Cabang Bandung Membicarakan Imprealisme

Usai Sukarno berpidato, Persatuan Islam (Persis) mengajak debat terbuka kepada Perserikatan Moeslimin Indonesia.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Sukarno berpidato pada rapat Partai Indonesia Cabang Bandung di kawasan Cilentah, 9 Oktober 1932. (Sumber: KITLV 44723)

2 April 2022


BandungBergerak.idPada tanggal 9 Oktober 1932, Partai Indonesia Cabang Bandung menggelar rapat terbuka di kawasan Cilentah. Rapat terbuka ini dipimpin oleh Soediro dengan menyampaikan sambutan dan tujuan digelarnya pertemuan ini. Di samping dihadiri oleh berbagai tamu undangan, rapat itu pun diliput oleh beberapa perwakilan pers.

Acara dimulai. Mula-mula seluruh tamu undangan berdiri seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan bangsa. Lalu setelah itu Gatot Mangkoepradja berbicara di depan para hadirin. Di forum itu ia menjelaskan asal-mula imprealisme yang dianggap merusak kehidupan bangsa kulit berwarna. Konon, peristiwa itu bermula sejak dimulainya perjalanan laut oleh bangsa kulit putih ke Amerika dan benua Asia. Dari situ muncullah kesengsaraan yang dirasakan oleh bangsa kulit berwarna sebagai dampak dari imprealisme abad modern. Dengan kemajuan teknologi, akses ke berbagai jalur semakin mudah untuk tujuan imprealisme. Perkembangan ini, bagi Gatot, bisa juga untuk memperluas pasar dunia yang terus menyebar (Sipatahoenan 12 Oktober 1932) yang juga melahirkan industrialisasi.

Selain itu Gatot menjelaskan bahwa kemajuan industri ditunjang pula oleh bank-bank di barat. Cara yang digunakan yakni, dengan membesarkan kebutuhan pada modal ekspansi ke tanah-tanah asing dan menghidupkan kembali kebutuhan di negeri-negeri jajahan. Dari abad ke-16 sampai abad ke-18, tanah jajahan bahkan didominasi oleh negara-negara Eropa seperti Spanyol, Portugal, Belanda, Inggris dan Perancis. Namun setelah Spanyol dan Portugal menerima keruntuhan, pada abad ke-19 muncullah Amerika dan Jerman sebagai negara imprealis baru (Sipatahoenan 12 Oktober 1932).

Pidato Gatot mengenai imprealisme memang memakan banyak waktu. Sebagai perwakilan pers yang ikut dalam rapat terbuka itu Sipatahoenan memuat pidato Gatot dengan sangat panjang yang juga dimuat bersambung menjadi dua edisi. Selain menggambarkan asal-usul imprealisme di Barat Gatot juga menyoroti ekspansi negara-negara bekas tanah jajahan. Ia menjelaskan dengan sangat detail bagaimana kaum kulit putih menjajah bangsa kulit berwarna di berbagai benua. Hal ini mengakibatkan imprealisme baru dari kebangkitan negara-negara jajahan. Dalam pidatonya ia menguraikan bagaimana negara-negara bangsa kulit berwarna banyak dipengaruhi oleh bangsa kulit putih sebagai kaum imprealis. Sehingga pada akhirnya negara-negara ini pun mempunyai maksud yang sama untuk menguasai tanah jajahan. Pada akhir abad ke-19 benua Amerika dan Australia sudah dibagi ke dalam wilayah-wilayah tertentu oleh kaum kulit putih. Begitu juga dengan benua Afrika dan Asia yang telah diduduki, sebagaimana yang dialami oleh negara Afrika Selatan, India, Indonesia dan Filipina (Sipatahoenan 12 Oktober 1932).

Usai Gatot berpidato, giliran Soetojo berbicara mengenai imprealisme dan kaum buruh. Di sela-sela uraian tentang sindiran terhadap bangsa Belanda, polisi mengingatkan agar tidak meneruskan pembahasan itu. Beberapa saat berselang Soetojo kemudian melanjutkan penjelasannya tentang kapitalisme dan imprealisme. Ia juga membahas cikal-bakal cultuurstelsel yang merusak para petani di Indonesia. Menurutnya pemodal asing menggerogoti kehidupan petani dengan meraih keuntungan sebesar-besarnya yang berujung pada politik terbuka oleh Pemerintah Hindia Belanda (Sipatahoenan 10 Oktober 1932).

Selain itu Soetojo mengkritik kondisi pemerintah di Hindia Belanda. Terutama setelah dibandingkan dengan yang terjadi negara Belanda. Konon dalam satu tahun, negara Belanda sudah mengeluarkan f 64.000.000 untuk menyumbang para penganggur. Sedangkan di Indonesia pemerintah tidak memberikan apa pun untuk rakyatnya. Penjelasan ini merupakan bagian akhir dari pidato Soetojo seraya menutupnya dengan ajakan agar seluruh kaum buruh bersatu dengan ikatan yang kuat (Sipatahoenan 10 Oktober 1932).

Selanjutnya Moehtar Lutfi dari Perserikatan Moeslimin Indonesia (PMI) mendapat giliran untuk berpidato. Ia berargumen bahwa Islam tidak menghalangi jalan pergerakan. Bahkan menurutnya kebangsaan merupakan suatu langkah yang suci dengan merujuk pada sumber-sumber Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an. Di samping itu Lutfi juga mengambil contoh di negara-negara lain. Ia mencontohkan beberapa keterangan yang terjadi di Mesir, India, Arab dan negara lainnya, bahwa di sana kalangan ulama banyak memberikan dukungan terhadap umat muslim, supaya berusaha untuk mengejar kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Dengan penjelasan ini, Lutfi mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari para hadirin (Sipatahoenan 10 Oktober 1932).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (22): Partindo Cabang Bandung Menyerang Mohammad Hatta
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (23): Pertemuan Gabungan Persatoean Aksi Bandoeng
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (24): Polemik Sipatahoenan dengan Surat Kabar Kiauw Po

Sipatahoenan edisi 12 September 1932 mengabarkan perdebatan Persis dengan Perserikatan Moeslimin Indonesia sebagai buntut dari rapat Partindo. (Sipatahoenan)
Sipatahoenan edisi 12 September 1932 mengabarkan perdebatan Persis dengan Perserikatan Moeslimin Indonesia sebagai buntut dari rapat Partindo. (Sipatahoenan)

Ajakan Debat Terbuka dari Persis

Tibalah pidato penutup dari Sukarno. Dalam pidatonya Sukarno menguraikan penjelasan yang sama yang sudah diterangkan sebelumnya oleh para pembicara. Namun ia juga menceritakan perjalanan saat mengunjungi cabang-cabang Partindo di Jawa Tengah. Selama sembilan hari, Sukarno memperoleh semangat tinggi dari rakyat. Meski demikian ia banyak menemukan kesusahan yang tersorot dari rakyat pribumi, terutama yang berada di wilayah Jawa bagian tengah dan timur (Sipatahoenan 10 Oktober 1932).

Setelah pidato Sukarno itu disampaikan, forum dilanjutkan dengan sesi pertanyaan. Banyak pertanyaan yang diarahkan kepada Moehtar Lutfi sampai berakhirnya rapat pada pukul 1 siang. Lantas setelah pertemuan tersebut berakhir, pihak Persatuan Islam (Persis) mengajak debat terbuka kepada Perserikatan Moeslimin Indonesia. Meskipun sebelumnya Persis sudah melayangkan ajakan debat kepada pihak PMI (Sipatahoenan 12 Oktober 1932).

Dengan menyoroti kembali apa yang disampaikan Lutfi dalam pertemuan itu, Persis menganggap argumen kebangsaan yang disangkutpautkan dengan Islam tidak membuahkan keterangan satu pun secara pasti (Sipatahoenan 12 Oktober 1932). Itulah yang membuat Persis bereaksi setelah Sipatahoenan memuat pidato perwakilan PMI itu yang terbit satu hari pascarapat terbuka Partindo.

Namun, setelah kedua belah pihak sepakat untuk berbagai urusan teknis, tersiar kabar bahwa acara itu tidak jadi dilanjutkan tanpa alasan yang jelas. Padahal masyarakat sangat menunggu forum debat terbuka itu dengan begitu antusias. Sampai-sampai redaksi Sipatahoenan ditugaskan untuk menjadi ketua panitia (Sipatahoenan 12 Oktober 1932), karena berhasil merekam satu jejak peristiwa kebangsaan yang menjadi sorotan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//