Sepak Bola Tanpa Iming-iming Juara
Di Bandung lahir Riverside Forest, klub sepak dari subkultur punk football. Klub ini bisa dibilang satir terhadap industrialisasi sepak bola.
Irfan Muhammad
Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990
27 Februari 2022
BandungBergerak.id - Lazimnya klub-klub sepak bola mengidamkan gelar juara atau paling tidak punya posisi mentereng di tangga kasta. Untuk mencapai tujuan itu, berbagai upaya dilakukan. Suporter tentu mendukung habis-habisan, sementara pemain (mestinya) berjuang mati-matian. Manajemen mengelola klub agar berjalan stabil, kuat secara finansial, mengurus tetek bengek regulasi, dan kalau memungkinkan hingga belanja pemain bintang.
Namun dalam dunia sepak bola yang kadung diindustrialisasi, si kulit bundar tidak hanya dipandang sebagai hiburan rakyat tetapi justru merambah bisnis besar yang melibatkan bukan hanya pendukung, pemain, dan manajemen, tetapi juga pemodal besar. Pemodal kerap kali memandang sepak bola sekadar bisnis belaka dan mengesampingkan faktor hiburan rakyat tadi yang tak jarang sebenarnya berkaitan juga dengan sejarah dan kebanggaan.
Sepak bola lantas hadir dengan jas mentereng dan sederet aturan berkedok "civilization" yang menjadi pagar antara pendukung dan tim yang didukung. Suporter adalah komoditas yang hanya digunakan sebagai posisi tawar pada sponsor atau penjualan merchandise mahal atas nama loyalitas. Tak jarang suporter juga berarti lumbung suara dalam "pesta demokrasi lima tahunan" yang tak pernah benar-benar publik rayakan.
Tetapi lagi-lagi suara lain muncul dari Bandung. Membawa badge dengan gambar burung di dada, sebuah tim sepak bola amatir yang menamakan dirinya Riverside Forest menawarkan sepak bola yang kembali ke akar. Bersenang-senang tanpa iming-iming juara.
Tim ini memang baru. Seumur jagung pun nampaknya belum. Namun dengan nilai-nilai yang diusung, tim yang dibentuk pada Desember tahun lalu ini langsung jadi sorotan di kancah sepak bola Indonesia.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (31): Abah Indra Thohir, Legenda Sepak Bola ASEAN asal Kota Kembang
Persib Melawan SV Austria Salzburg, Kalah di Jakarta, Imbang di Bandung
Perjalanan Aing dari Dangding Hasan Mustapa ke Persib
Dari Suporter untuk Suporter
Klub amatir tentu bukan hal baru dalam kompetisi sepak bola dunia begitu juga Indonesia. Lalu apa yang membedakan Riverside Forest dengan klub amatir lainnya?
Mengenai hal ini saya sempat berbincang via layar ponsel dengan sejumlah pengelola Riverside Forest. "Punk football" menjadi kata kunci yang membedakan tim ini dengan tim sepak bola lainnya, paling tidak saat ini, di Indonesia.
Gagasan punk football sebetulnya bukan gagasan baru. Ia adalah respons dari modernisme sepak bola Eropa terutama di Inggris sana yang menolak kapitalisasi sepak bola dan berkehendak mengembalikan lagi sepak bola kepada khittahnya sebagai hiburan rakyat yang dekat dengan kelas pekerja.
Beberapa tim Eropa yang dikenal mengusung ideologi ini di antaranya adalah FC St. Pauli di Jerman yang telah dimulai pada 1910 atau FC United of Manchester pada 2005 yang menjadi sempalan dari Manchester United imbas dari ketidakpuasan pengelolaan klub oleh bohir Amerika, Malcolm Glazer.
Kalau begini, Riverside muncul bukan hanya sebagai tim tetapi sebuah subkultur dengan muatan ideologis dan politis.
Asumsi saya tak disanggah pula oleh para pengelola Riverside. Meski sebelumnya mereka sudah menjalankan tim amatir lain berbasis kampus dan tongkrongan untuk alasan senang-senang, Riverside berbeda karena punya kampanye yang hendak mereka usung atas nilai-nilai tadi. Alasan ini pula yang membuat mereka memilih turun laga di kompetisi resmi seperti Bandung Premiere League.
"Yang penting pemain bisa main bola, suporter bisa mendukung dengan cara yang tidak bisa dilakukan di stadion, dan kampanye kita tersampaikan," kata Riobie, salah satu pengelola tim.
Cara yang tidak bisa dilakukan di stadion yang Riobie maksud adalah sederet aturan yang selama ini membatasi ruang gerak suporter. Misalnya penggunaan flare, smokebomb, dan berbagai euforia lain yang di masa sebelumnya adalah lumrah dalam kultur sepak bola.
Riverside juga melepaskan hirarki yang selama ini menjadi sekat antara pendukung, pemain, dan manajemen. Punya semboyan "This Club Belongs to You and Me", Riverside mencoba membuat tim egaliter dengan melibatkan pendukung dalam setiap pengambilan keputusan tim.
Riverside tak menampik kalau ini bukan hal mudah untuk dilakukan. Namun, di situlah sisi pembelajaran bagi setiap insan yang terlibat di Riverside. Bagaimana mendengar semua suara secara demokratis, merumuskan masalah, dan mengambil keputusan tepat. Deretan proses ini telah mereka jalankan salah satunya saat menyusun kombinasi pemain dan manajemen tim.
Pengelolaan keuangan tim pun dilakukan kolektif dalam lingkup pihak-pihak tadi dan kemudian dilaporkan secara berkala lewat media sosial mereka.
Selamanya Kuda Hitam
Hal unik lain dari tim ini adalah ambisinya yang tidak muluk-muluk. Alih-alih naik liga dan memimpin kasta, Riverside justru mengutamakan tersampaikannya kampanye mereka atas gagasan sepak bola sejati kepada banyak pihak.
Menurut Riobie, Riverside Forest dengan pendukungnya yang dinamakan Bird Death Brigades justru hendak meminimalkan sikap "glory hunter" atau sebutan di mana pendukung hanya punya kebanggan kepada tim di saat timnya menang. Menurut dia, sikap-sikap seperti ini yang menimbulkan fanatisme buta pada tim dan menjadi bibit konflik.
"Rivalitasnya cuma 90 menit. Kami menekan potensi untuk menjadi yang superior. Menyingkirkan para glory hunters," kata dia.
Tak dimungkiri kalau pemain, pengelola, dan pendukung Riverside adalah juga mereka yang aktif mendukung Persib. Dengan berdirinya mereka di Kota Bandung dan latar belakang ini, ada yang beranggapan kalau Riverside muncul sebagai bentuk kekecewaan pada Persib dan hadir untuk menyaingi tim yang ditahbiskan pada 1933 itu.
Mengenai hal ini, Mamad, pengelola Riverside yang lain mengaku hingga saat ini tak ada batas geografis bagi Riverside. Ia juga menyebut sangat jauh bagi tim baru yang mengusung slogan "Forever Underdogs" untuk bisa satu kompetisi melawan Persib. Di sisi lain, ketika dikaitkan dengan dukungan mereka pada Persib Bandung, mereka juga mengelak karena mereka adalah tim baru yang tak berkaitan langsung dengan Persib.
Namun, terkait alasan kekecewaan pada Maung Bandung, meski tidak tersurat, kesan itu tetap tersirat. Riverside adalah satir atas semakin carut-marutnya pengelolaan tim besar seperti Persib yang sudah tidak lagi mendengar suara akar rumput dari bobotoh.
"Riverside mengekspresikan gairah yang tidak tertumpahkan di Persib. Kesan atas carut-marutnya sepak bola di Indonesia," kata Riobie.
Laboratorium Sepak Bola Arus Pinggir
Saya sendiri memandang Riverside Forest memang bukan dari aspek sepak bolanya, aspek yang saya tidak mahir di sana. Namun lebih kepada gerakan anak muda yang menyuntikkan subkultur baru pada kancah sepak bola Indonesia.
Ia menjadi laboratorium untuk semua pihak yang berada langsung di dalamnya juga mereka yang tidak terlibat secara langsung. Bagi pemain, pendukung, dan manajemen, Riverside tak ubahnya kendaraan yang harus mereka kendarai secara baik agar sampai di tujuan yang mereka idamkan. Kecelakaan mungkin tak terhindarkan, tapi bagaimana kemudi tetap dipacu agar gerakan tak padam.
Sementara bagi orang seperti saya, yang memantau dari luar, Riverside adalah suara lain dari sepak bola yang jarang kita dengar. Yang tak pernah menghiasi kolom-kolom mahal bertajuk “sportainment” di kanal-kanal berita. Bukan tentang kehidupan pemain di luar lapangan, berita WAGs, atau berita kekerasan suporter yang selalu salah mengartikan kata "anarkis".
Dan sekali lagi, subkultur baru lahir di Bandung. Setelah mempelopori gaya baru dalam mendukung tim sepak bola lebih dari satu dekade silam, kini kultur tim amatir yang sarat akan gerakan dimulai. Kita tidak pernah tahu masa depan, tetapi sejarah selalu dimulai dari hari ini. Dan membuat narasi itu penting.
Keep the flag flying high Riverside Forest! Respect!