• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (16): Ketika Persib Bandung Bertanding di Pameungpeuk

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (16): Ketika Persib Bandung Bertanding di Pameungpeuk

Selalu ada cara menonton pertandingan bola secara gratis. Menjelang pos penjagaan karcis, anak-anak sudah mencari siapa yang akan dijadikan ‘bapak’ sementaranya.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Ilustrasi bola yang terbuat dari getah karet yang biasa dimainkan oleh Penulis dan kawan-kawan sebaya di Pemeungpeuk Garut. Kalau ditendang, bola bisa melayang tinggi sekali, bisa melewati atap rumah. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

21 Juli 2021


BandungBergerak.idDi selatan rumah, terhalang oleh jalan, ada lapangan yang luas. Lahan itu kepunyaan Pak Patih. Di pinggir lahan itu ada dua pohon mangga besar. Satu pohon dekat rumah Haji Amin, jenis mangga golek yang panjang, dan satu pohon lagi persis di depan rumah. Kalau sedang berbuah, mangga arumanis banyak sekali dan besar-besar.

Di lahan itulah anak-anak sering bermain bola, layangan, galah, rerebonan, sigug, dan korsel-korselan. Di sudut selatan-timur dari lahan, dekat pohon manga golek, tinggal keluarga Mang Sahman.

Kami bermain bola dengan bola yang dibuat dari getah karet. Kalau ditendang, bisa melayang tinggi sekali, bisa melewati atap rumah. Anak-anak di perkebunan karet Nagara sudah jago membuat bola jenis ini. Saya pernah ke sana diajak Den Endang untuk membeli satu bola karet. Berdua berjalan kaki ke Perkebunan Miramareu yang jauhnya hampir 7 kilometer. Di sana ada anak yang menghampiri kami.

Setelah menyampaikan bahwa kami akan membeli bola, dan disepakati harganya, anak itu segera berlari ke dalam bangunan tinggi yang sekeliling dinding bagian atasnya dari kaca. Anak yang perawakannya lebih besar itu keluar gedung dengan membawa selembar karet tipis. Oleh dia karet itu dilipat dua, lalu pinggirannya digigit-gigit hingga rapat, sehingga tidak ada udara yang keluar saat ditiup.

Bakalan bola sudah mengembung, tapi bentuknya masih tidak sempurna. Masih diperlukan getah karet yang akan dibelit-belitkan di sekeliling bakalan bola, sambil dibentuk agar bola menjadi benar-benar membulat dan tebal. Tak disangka, setelah melihat sekelilingnya aman, dengan kilat anak itu sudah masuk ke dalam tangki penampungan getah karet. Agak lama berada di sana, ia membentuk dan mempertebal bakalan bola itu dengan getah karet yang sudah menguning warnanya, dan banyak menempel di dinding dalam tangki, lalu keluar dengan bola yang sudah jadi. Besar, bulat, dan sempurna. Warnanya krem, dan ketika dibantingkan ke tanah, bola langsung memantul sangat tinggi.

Anak itu mengisyaratkan untuk segera pulang setelah Den Endang membayarkan uang sesuai yang telah disepakati. Rupanya ia ketakutan diketahui oleh mandor perkebunan. Kami berdua segera pulang membawa bola dari getah keret, menempuh perjalanan yang sepi dan gelap. Baru sampai di rumah lewat magrib. 

Bola getah karet ini daya pantulnya kencang sekali. Ditendang pelan pun bisa melambung sampai ke genting. Mang Sahman yang rumahnya persis bersebelahan dengan lapangan itu sudah terlalu sering membetulkan genting yang bocor karena dihantam bola. Lalu ia mengusulkan agar bolanya dikarut, dibungkus terlebih dahulu dengan kain bekas beberapa lapis, lalu dikarut, diikat dengan tali dari kulit batang waru. Bola menjadi lebih berat, sehingga tidak melambung terlalu tinggi.

Nonton Bola Gratis di Lapangan Darmabakti

Ada jalan pintas untuk menuju lapangan bola Darmabakti di Paas, Pameungpeuk Garut. Kami menyebrangi Ci Palebuh, terus melewati jalan di antara rumah-rumah di Kampung Segleng. Setelah melewati lio genting, sampailah di lapangan bola itu. Bila Ci Palebuh sedang banjir, kami harus melewati alun-alun, sasak beusi, jembatan besi yang melintas di Ci Palebuh, akan sampai di Cigodeg, terus berjalan ke utara sedikit menanjak, setelah melewati SMP Muhammadiyah, akan sampai di Paas. Dari tempat pembakaran kapur, berbelok sedikit saja ke arah barat, di sana ada lapangan bola.

Sekeliling Lapangan Darmabakti sudah dipagar dengan gedég, anyaman bambu yang kokoh setinggi dua meter. Di setiap arah pintu masuk ke lapangan bola sudah ada orang yang berjaga untuk memeriksa karcis.

Ini pertandingan istimewa, karena PS Fajar, Persatuan Sepakbola Pameungpeuk, akan bertanding dengan Persib dari Bandung. Di lapangan belum terlihat ada kesibukan, karena hari masih siang. Sengaja kami datang sebelum para petugas itu datang agar lolos ke dalam lapangan dengan tidak membeli karcis.

Melihat kerumunan anak-anak, panitia memanfaatkan tenaga mereka untuk ikut memotong rumput domdoman di sekitar gawang. Setelah sepakat, kemudian beberapa anak dipilih, lalu mereka bisa menonton secara gratis. Dari kejauhan saya melihat anak-anak sedang memotong domdoman. Saya anak yang tidak dipilih.

Saya mulai khawatir tidak bisa menonton bola dengan gratis. Pengamanan di dalam lapangan pasti sangat ketat, karena yang akan bertanding adalah pemain-pemain bola yang sangat kesohor. Anak-anak yang masih bergerombol di luar pagar rasanya tidak mungkin untuk membuka tali gedég agar bisa masuk ke lapangan karena penjagaan sangat ketat. Bila dapat masuk dari celah gedeg yang dibuka ikatan talinya, anak-anak akan segera ketahuan, dan akan digiring ke luar lapangan.

Ada cara untuk mengelabui penjaga karcis agar tetap bisa menonton bola gratis. Menjelang pos penjagaan karcis, anak-anak sudah mencari siapa yang akan dijadikan ‘bapak’ sementaranya, paling tidak sampai melewati pos penjagaan itu. Bapak-bapak sudah maklum bila tiba-tiba ada anak kecil yang memegangi celana atau bajunya. Mereka itu anak-anak yang berharap bisa masuk ke lapangan untuk menonton bola.

Anak-anak segera memalingkan wajah agar tidak teramati oleh penjaga karcis. Kalau ikut orang tua dadakan ke dalam lapangan, anak-anak itu tidak dipungut karcisnya. Tapi kalau masuk sendiri, anak-anak itu harus membayar karcis. Setelah mendekati kerumuman penonton, anak-anak mulai melepaskan pegangannya, dan segera menyelusup di antara penonton yang sudah berjajar di pinggir lapangan. Untungnya, tidak ada penjaga karcis yang mengenali saya. Kalau ada yang kenal, cara ini tidak mungkin menjadi pilihan.

Bila semua cara yang biasa dilakukan agar bisa menonton garis itu sulit untuk dilakukan, jalan paling akhir adalah anak-anak segera mencari pohon yang cukup tinggi, tapi mudah untuk dipanjat. Dari sana kami menonton bola.

Ada juga cara lain masuk lapangan dengan gratis. Caranya setengah balas dendam. Ketika ada bola yang melambung ke luar lapangan, masuk ke kebun atau ke dekat lio genting, anak-anak membiarkan bola itu di tempat yang susah dicari sampai ada teriakan minta tolong untuk mengambilkan bola. Dengan kilat, bola sudah di tangan, lalu bola dibawa beramai-ramai, diserahkan kepada orang yang berteriak tadi, dengan harapan bisa masuk dengan gratis. Bila kami tidak diizinkan masuk, maka bila ada lagi bola yang melesat ke kebun, bolanya akan dibiarkan tersembunyi di sela-sela batang pisang.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (15): Perintis Usaha Makanan di Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (14): Long March Tentara Maung
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (13): Samen, Kemeriahan Pesta Kenaikan Kelas

Wowo, Pemain Jagoan

Pengumuman akan diadakannya pertandingan antara Persib Bandung dengan PS Fajar sudah tersiar. Di batang pohon kelapa dekat kantor Kopem (Komandi Pemberantasan Malaria), ada poster yang mengumumkan jadwal pertandingan. “Banjirilah!” dalam itu tertulis. Anak-anak selalu paling gesit, dan, seperti biasa, jauh sebelum waktu pertandingan dimulai, kami sudah berada di lapangan. Dengan berbagai cara, yang penting kami bisa menonton bola dengan gratis.

Pemain-pemain Persib berlari memasuki lapangan. Walah, kaos kaki melorot ke bawah sampai mata kaki. Ada pemain Persib yang paling dijagokan. Katanya ia bernama Wowo, pemain Persib yang terkenal.

Karena jagoan, anak-anak menggemari bagaimana Wowo bermain. Kalau Wowo atau pemain Persib lainnya sedang menggiring bola di sayap kiri, misalnya, maka penonton di sisi itu akan bergerak ke lapangan agar dapat melihat pergerakan bolanya. Celakanya kalau bola dapat dikuasai dan kembali ke tengah lapang, pemain Persib yang akan balik bertahan ke belakang menjadi sedikit terhalang oleh penonton yang belum semuanya kembali ke luar garis.

Pertandingan sedang seru-serunya. Pemain PS Fajar sudah berada dalam tekanan pemain Persib. Entah siapa, tiba-tiba ada yang memasukkan anjing ke dalam lapangan bola. Ketika anjing mau ke luar lapangan, bukannya diberi jalan, malah dihalau dengan teriakan-teriakan yang bergemuruh dari penonton. Anjing kembali ke tengah lapang. Anjing yang kebingungan berlari dengan cepat ke berbagai arah lapangan. Teriakan-teriakan menghalau anjing semakin kuat dari berbagai sisi lapang.

Saat wasit meniup peluit istirahat, bola diletakkan di tengah lapangan, dan semua pemain berjalan ke pinggir lapangan. Ketika pemain ke luar lapangan, melihat bola menganggur di tengah lapangan, anak-anak segera berlarian ke tengah lapangan. Bola yang disimpan wasit ditendang tak tentu arah. Pokoknya dapat menendang bola. Makin lama rombongan pengejar bola semakin panjang, seperti tawon yang mengejar mangsa. Ketika ada anak berhasil menggiiring bola ke selatan, maka ratusan anak-anak berlari ke selatan.

Peluit terakhir yang ditiup wasit sangat mengecewakan kami. PS Fajar kebobolan beberapa gol.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//