Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (13): Samen, Kemeriahan Pesta Kenaikan Kelas
Acara samen yang paling menyenangkan, selain memakai baju baru dan diberi uang jajan, adalah hadirnya Pak Penilik yang datang untuk bercerita. Untuk mendongeng.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
30 Juni 2021
BandungBergerak.id - Dinding antarkelas sudah dibuka sehari sebelum acara. Terlihat pesuruh sekolah sudah sibuk membongkar dinding itu dan memiringkannya ke dinding kelas bagian luar, di sisi yang tidak terlihat dari depan. Setiap tahun, diding bagian dalam itu dibuka untuk acara pesta kenaikan kelas di SDN Pameungpeuk IV, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Kami menyebutnya samen.
Dinding bangunan sekolah kami berupa bilik, anyaman bambu yang dibelah tipis-tipis dan dihaluskan. Dindingnya setiap tiga bulan sekali, ketika ada libur beberapa hari setiap caturwulan, selalu dilabur dengan cairan kapur sehingga selalu terlihat putih. Tiang, kusen, dan pintunya yang tinggi, terdiri dari dua daun yang bisa dibuka ke dalam dan ke luar. Semuanya dibuat dari kayu jati yang dicat warna abu-abu.
Di bagian paling depan dari kelas-kelas yang dibuka, sudah ada panggung dengan berbagai hiasan dari kertas krep dan kertas wajit atau kertas minyak warna-warni. Di panggung itu ada pementasan acara kesenian dari pelajar kelas 4-6. Rasanya saya tidak pernah terpilih dalam acara kesenian. Anak-anak perempuan lebih banyak dipilih, menjadi penyanyi dalam rampaksekar, paduan suara dengan lagu-lagu berbahasa Sunda.
Gambar Kuda Sembrani dan Petis
Di halaman sekolah para pelajar bersuka ria menyambut pesta kenaikan kelas. Ada yang memakai baju baru dengan uang jajan yang cukup, sehingga hari itu menjadi hari gembira. Namun ada juga anak yang murung, khawatir tidak lulus. Walau dibelikan baju, olehnya tak dipakai. Demikian juga uang jajannya ia simpan di saku yang paling dalam.
Ada juga yang mendatangi aki Asikin yang duduk bersila di pinggir jalan. Ia jago menggambar kuda sembrani, kuda terbang. Sambil menggambar kuda sembrani, ia kadang meminta agar telapak tangan anak itu diperlihatkan, lalu dengan tenang, aki Asikin mengatakan, “Kamu naik kelas!” Akhirnya pelajar yang galau, dengan sedikit uang sebagai tanda terima kasih, datang meminta dibuatkan gambar kuda sembrani, walau sesungguhnya ia ingin mengetahui ramalan aki Asikin, apakah ia naik kelas atau tidak.
Pinggir jalan depan sekolah sudah dipadati oleh yang berjualan makanan yang tidak selalu ada setiap hari. Ada arum manis yang alat pembuatnya selalu berputar dengan cara digerakkan oleh kaki, seperti menggerakkan mesin jahit. Ada sangrai kacang tanah yang sudah dibungkusi dengan daun kuciat. Ada tebu yang sudah dipotongi dan ditusuk dengan bambu. Ada juga petis kangkung, petis buah-buahan, lotek, air soda, gulali, bahkan ada juga yang berjualan ikan pindang dan kerupuk.
Di kampung kami, yang dinamakan petis itu bumbunya bukan dengan bumbu petis, tapi dengan bumbu rujak uleg. Jadi, yang dimaksud petis kangkung adalah kukus potongan kangkung yang dibanjur bumbu rujak. Demikian juga dengan petis buah-buahan, maksudnya irisan buah-buahan yang dibanjur bumbu rujak. Bumbu petis-nya sudah disiapkan di dalam rantang besar. Potongan kangkung matang dimasukkan ke dalam daun pisang yang sudah dibentuk menyerupai mangkuk kecil bersudut dan diberi semat potongan lidi, lalu diguyur bumbu rujak. Di udara yang panas dan sedikit galau akan kenaikan kelas, petis kangkung ini terasa segar sekali, membuat mata melotot dan mulut sedikit menganga kepedasan. Jajanan seperti ini hanya keluar pada saat perayaan besar, seperti Agustusan dan samen.
Potong Rambut dan Dongeng
Bukan hanya berbaju baru, kami juga merapihkan rambut. Di sebelah timur alun-alun, setelah melewati irigasi, di bawah pohon cemara Junghuhn, ada tukang cukur. Namanya Mang Pani. Potongan rambut anak-anak saat itu tidak macam-macam. Seperti potongan rambut tentara yang sedang latihan. Rambut di pinggir kepala dicukur bersih. Di bagian ubun-ubun sampai ke depan rambutnya lebih panjang, sehingga masih bisa disisir.
Semua potongan rambut anak-anak sekolah sama. Tak ada tawar-menawar potongan rambut saat mau dicukur. Datang, duduk, lalu tukang cukur mulai beraksi. Yang membedakan antara satu anak dengan anak lainnya adalah gaya menyisir rambut bagian depannya. Saat itu tukang cukur di Pameungpeuk paling banyak juga 3-4 orang. Mang Pani yang di depan pasar, Mang Omas di Cigodeg, di sebelah utara sasakbeusi, jembatan besi yang membentang di Ci Palebuh.
Acara samen yang paling menyenangkan, selain memakai baju baru dan diberi uang jajan, adalah hadirnya Pak Penilik yang datang untuk bercerita. Untuk mendongeng. Tak ada yang memerintah, anak-anak langsung diam ketika bapak penilik menaiki panggung. Semua anak sudah tahu, dongeng Pak Penilik selalu menarik, membuat anak-anak diam tak bersuara karena terkesima oleh ceritanya.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (12): Ngabedahkeun Muara Ci Palebuh
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (11): Kemeriahan di Alun-alun Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (10): Menonton Tukang Sulap itu Mengasyikkan
Botram di Pasir Pogor
Setelah buku rapor dibagikan, Bu Guru memberikan pengumuman, esok hari semua harus ikut mayor, botram, outing, rekreasi sambil makan di Pasir Pogor. Bukit yang jaraknya kurang dari dua kilometer dari sekolah. Setelah berjalan sampai Cikoneng, dan bila irigasi dibagi dua sudah terlewati, akan sampai di Pangbarakan, kawasan untuk pangangonan, penggembalaan ternaik, seperti domba, kambing, dan kerbau.
Dari Kampung Pangbarakan itu jalan bercabang dua, jalan desa menuju Centrong dan Bojong, sedang yang melipir ke sebelah kiri menuju kebun-kebun warga. Dari jalan yang melilipir ke kiri itulah ada yang jalan setapak yang menuju puncak bukit dengan medan yang cukup terjal menanjak. Di lereng barat dari bukit ini ada gua, kata Bu Guru itu buatan tentara Jepang. Di pelataran yang luas di puncak Pasir Pogor yang tingginya +120 meter di atas permukaan laut (dpl), kami beristirahat, melihat pemandangan ke berbagai sisinya.
Hanya beberapa puluh meter di sebelah utara dari tempat kami duduk, ada beberapa kandang kerbau milik warga. Umumnya kandang itu dipagar rapat dengan tiang berupa pohon kayujaran yang terus membesar, dengan palang-palang bambu yang kokoh.
Di selatan, terlihat Samudra Hindia yang membentang luas. Dari ketinggian, air laut terlihat seperti berada di atas daratan yang setiap saat akan tumpah ke persawahan dan ke perkampungan. Bu Guru menunjukkan, itu Teluk Cilauteureun. Sedikit ke timurnya namanya Sayangheulang. Lebih jauh ke timur, ada bagian yang lebih menjorok ke laut, itu Sancang. Kami kaget. Wah, Sancang. Tempat yang sering disebutkan orang-orang tua, dan bagi kami sedikit menakutkan, karena di sana ada jelmaan harimau, katanya. Di tengah samudra terlihat ada kapal besar yang melaju.
Di arah timur, meliuk-liuk Ci Palebuh, yang akan mengalir ke hilir, ke Leuwi Kuning, tempat kami bermain dan berenang. Petak-petak sawah yang dibatasi pematang yang lurus dan melengkung. Di pinggirnya kebun berpohon dan pohon kelapa menjulang tinggi.
Setelah cukup mengenali keadaan sekeliling Pasir Pogor, tak perlu menunggu lama, anak-anak langsung membuka bekal masing-masing. Semua bekal makanan itu oleh Ema dimasukan ke dalam rantang berpenutup, kemudian dibungkus dengan lap kotak-kotak warna merah. Ya, begitulah lazimnya saat itu. Seluruh siswa menjinjing rantang yang dibungkus dengan lap.
Anak-anak sudah membuka bekal masing-masing. Satu-dua orang anak berlari sambil membawa teman nasi yang sudah disiapkan oleh orang tuanya untuk dihadiahkan kepada Bu Guru.
Selesai makan, rantang dibungkus kembali seperti Ema membungkusnya. Bu Guru memberikan pesan, bahwa minggu depan, seluruh anak-anak harus bercerita di depan kelas tentang pengalaman mayor di Pasir Pogor. Anak-anak dengan cekatan, setengah berlari menuruni kembali lereng bukit yang curam, pulang menuju sekolah.