• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (10): Menonton Tukang Sulap itu Mengasyikkan

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (10): Menonton Tukang Sulap itu Mengasyikkan

Golok dari kayu itu dicat bron warna perak, lalu anak-anak bergaya seperti tukang sulap.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Golok tiruan dari bilah papan bekas peti sabun dibuat anak-anak setelah melihat aksi tukang sulap. (Ilustrasi oleh T. Bachtiar)

9 Juni 2021


BandungBergerak.idPukul tujuh pagi, ketika banyak orang yang ke luar masuk pasar, tambur besar itu terus dipukul oleh seorang remaja. Tukang sulap berbaju dan bercelana hitam menaburkan kapur bakar kering membentuk bidang segi empat berukuran 2 x 3 meter. Tambur terus dipukul. Dur…. dur… durdurdur… durdur… dur…

Lelaki berbaju hitam itu meletakkan kotak kayu berwarna hitam di salah satu sudut. Di dekatnya ada kantong kain berwarna hitam. Isi kantungnya terlihat bergerak-gerak.

Anak-anak mulai berdatangan mengelilingi bidang yang dibatasi garis putih kapur bakar. Remaja pemukul tambur ikut membereskan bungkusan dari kertas selebar tiga jari orang dewasa, lalu disusun dalam wadah, diletakkan di atas kotak kayu. Tukang sulap terus berbicara dengan suaranya yang lantang dan parau. Kalimat-kalimatnya begitu meyakinkan, dan anak-anak rela berjongkok berlama-lama, ingin menyaksikan apa yang ia sebutkan berulang-ulang. Di dalam kantung hitam itu, katanya, ada ular berkepala dua.

Jualan Salep Kulit

Pagi ini tukang sulap membuka lapaknya di sempadan jalan di depan Kantor Pos dan Telegraf, di seberang Rumah Sakit Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Dari pasar, lokasi itu hanya dipisahkan oleh sungai, dan hanya beberapa belas meter saja dari alun-alun sisi timur-selatan. Banyak lelaki dewasa yang akan atau sudah membeli tembakau, ikut berdiri menyaksikan tukang sulap yang terus berbicara. Kini ia beralih topik, menjadi tentang segala penyakit yang banyak diderita masyarakat, terutama budug dan kudis.

"Pukul tamburnya, De!"

Remaja itu segera memukul tambur dengan semangat. Anak-anak yang sudah mulai bosan dengan cerita manfaat obat, berharap bisa segera menyaksikan ular berkepala dua. Dur… dur... dur….

Tukang sulap berbicara dengan lantang, nyaris berteriak, menjelaskan mengapa dia berada di tempat ini. Yang mengelilingi tukang sulap semakin banyak. Dia menjelaskan lagi tentang pentingnya menjaga kesehatan.

"Pukul tamburnya, De!"

Remaja itu segera menabuh tambur dengan kerasnya. Pengunjung berjejal. Tak menyia-nyiakan kesempatan, tukang sulap itu segera membuka satu bungkus salep, lalu berkeliling sambil menerangkan manfaat salep yang dibungkus dengan kertas roti ukuran 2 x 3 centimeter. Belum ada yang tertarik untuk membeli salepnya.

Bunyi tambur dipukul semakin nyaring. Tukang sulap mengulang kembali penjelasan tentang manfaat salepnya. Kotak hitam dan kantong kain hitam yang menjadi perhatian saya, belum juga dia sentuh. Mungkin di sana memang ada ular. Kantongnya terlihat bergerak-gerak.

Tambur berbunyi keras. Tukang sulap berkeliling menawarkan salepnya. Tapi belum ada juga yang membeli. Penonton tampaknya masih ragu. Lalu tukang sulap menanyakan, apakah di antara yang hadir ada yang mempunyai penyakit kulit yang sudah lama dan tak sembuh-sembuh?

Tiba-tiba ada seorang anak dan seorang bapak yang maju ke depan. Borok di pergelangan kaki ditunjukan ke tukang sulap. Segera salep digosokkan di kedua telapak tangannya, tanpa ragu ia gosokkan di atas borok itu. Betis dan pergelangan kakinya berubah menjadi bersih. Demikian juga hal yang sama dilakukan kepada anak kecil itu. 

Berkali-kali tukang sulap bertanya kepada dua orang yang baru saja dibalur salep. Bapak dan anak itu bicara begitu jelas dan meyakinkan tentang manfaat salep yang mereka rasakan setelah dibalur.

Dur… dur… dur… Tambur kembali ditabuh. Tukang sulap berkeliling mengedarkan salep yang dijepit di antara jari-jarinya. Beberapa orang mulai membeli. Kotak hitam dan kantung kain hitam belum juga dimainkan. Tambur dipukul keras sekali. Salep diedarkan sambil meyakinkan calon pembelinya.

Makin siang, ular berkepala dua itu belum dikeluarkan juga. Seorang anak diam-diam menjilat punggung lengannya sampai basah, lalu digosok-gosokan beberapa kali sampai keluar bau yang melebihi bau angit. Baunya lebih mirip bau kotoran ayam yang halus seperti coklat cair, yang biasa disebut tai kotok oleh anak-anak. Tahi ayam itu ada dua jenis. Yang satu jenis lagi kotoran ayam yang biasa, yang seperti sambal oncom, yang dinamai tai hayam.

Punggung lengan bau tai kotok itu kemudian diciumkan ke rekan di sebelahnya. Kontan anak itu terlihat mual dan memukulkan tangannya, tapi tak kena, karena dengan sigapnya anak yang jail itu segera menghindar dan berlari. Satu per satu anak-anak yang sudah kesal karena ular berkepala dua tak keluar juga mulai meninggalkan tempat sulap.  

Sudah dapat diduga, anak itu berlari menuju Leuwi Kuning di Ci Palebuh. Di sana ia akan bermain loncat dari tebing dan berenang gaya kura-kura, kaki dilipat seperti bersila, lalu digerak-gerakkan dengan susah payah. 

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (9): Demam Rudy Hartono dengan Raket Kayu tanpa Senar
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (8): Nyaba ke Bandung: Bemo, Es Krim, dan Sepatu Bata
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (7): Ikan di Ci Palebuh Mati Diendrin!

Golok Rompal

Pada bulan berikutnya, di lokasi yang sama, datang tukang sulap yang lain lagi, dengan pertunjukan yang berbeda. Sebelum menawarkan obatnya, dia sudah memutarkan 5-6 piring beling di atas tongkat kecil setinggi 1,5 meter yang ditancapkan di tanah. Bila putaran piringnya melambat, segera tongkat kecil itu digoyang-goyangkan lagi, agar tidak jatuh. Tukang sulap menjelaskan manfaat obat yang dijualnya.

Piring-piring beling diputar kembali. Tukang sulap berkeliling menawarkan obat, sambil menggoyang-goyangkan beberapa tongkat agar putaran piring beling yang sudah melemah kembali berputar kencang. Beberapa orang dewasa terlihat membeli obat.

Pernah juga ada tukang sulap di alun-alun yang kami sukai. Permainan sulapnya banyak sekali. Ada sulap yang memakai tali, seperti memotong tali tapi talinya tidak putus, dan beberapa permainan sulap yang menggunakan bola-bola kecil.

Ada juga tukang sulap yang permainannya agak-agak serem. Yang paling saya ingat dua permainan menggunakan golok. Pertama, golok yang mengkilap itu dia letakkan di lengan bagian dalam, yang sebelumnya sudah dia usap-usap dengan ludahnya. Lalu golok itu dia jepit di lengannya yang ditekuk dengan kuat, lalu goloknya ditarik, menimbulkan suara suiiiit yang keras.

Permain kedua, golok yang dibacokkan dengan cepat ke lengannya. Wah, goloknya menancap dalam. Anak-anak keheranan dan deg-degan. Tapi bacokan yang dalam itu tidak mengeluarkan darah. Saat anak-anak terkagum-kagum, tukang sulap mencabut goloknya. Terlihat jelas, golok yang tidak segera ia masukkan ke dalam peti, membuat anak-anak menunjuk-nunjuk golok yang rompal melengkung. Tukang sulap pun tertawa. Yang hadir pun tertawa terbahak-bahak enak sekali. Di luar dugaan, banyak bapak-bapak yang membeli obatnya.

Sepulang menonton sulap golok di alun-alun, kami berjalan ke depan tokonya Otong, toko serba ada, yang biasa membuang peti-peti bekas sabun atau ikan asin dengan menumpuknya di dekat drum minyak tanah yang berjajar di sempadan jalan depan tokonya. Masing-masing anak mengambil satu bilah papan bekas peti. Bilah kayu ringan itu dihaluskan dengan golok, lalu dibentuk menyerupai golok besar, meniru golok milik tukang sulap tadi, yang dibuat rompal berbentuk setengah lingkaran selebar lengan. Golok dari kayu itu dicat bron warna perak, lalu anak-anak bergaya seperti tukang sulap.

Di sekolah, anak-anak menirukan permainan golok yang satu lagi. Lengan bagian dalam dekat sikut yang sudah diusapi dengan ludah, lalu penggaris dari kayu warna kuning itu dijepit, ditarik, menimbulkan bunyi seperti yang dihasilkan tukang sulap. Tapi, permainan ini tidak sering dimainkan karena gesekan penggaris kayu itu cukup panas juga di kulit, kecuali untuk gaya-gayaan bila Si Imas lewat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//