Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (7): Ikan di Ci Palebuh Mati Diendrin!
Ramailah orang berdatangan, tak terkecuali anak-anak. Mereka memunguti ikan mati, seperti bogo, belut, sidat, lubang, ikan mas, tawes, mujair, lele, dan udang.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
19 Mei 2021
BandungBergerak.id - Sungai di belakang rumah itu bukan sungai alami, namun irigasi yang dibuat pada masa lalu. Lebarnya tiga meter, sehingga air dari Ci Palebuh yang sedikit disodet dapat mengairi kawasan yang kemudian di-bedah, dibuat persawahan di tenggara Pameungpeuk, yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Pada masa lalu, tak ada bendungan melintang sungai. Ikan dari muara sungai dapat bergerak ke hulu pada musim tertentu tanpa rintangan. Di Ci Palebuh sekitar kampung kami, ketika alirannya melemah pada musim kemarau, berjuta-juta ikan sebesar teri bergerak ke hulu sungai. Pada saat itulah ada kebiasaan menangkap anak ikan itu dengan kain seprai, umumnya putih, atau dengan sinjang, kain batik yang biasa dikenakan ibu-ibu.
Acara tahunan itu disebut nyimbut, nenangkap ikan teri dengan simbut, selimut, atau kain. Seprai atau sinjang dibentangkan searah aliran sungai, lalu ditindih, diimpit dengan batu-batu sebesar kepala yang banyak berserakan di dasar sungai. Di ujung seprai atau kain bagian hilir, dasarnya diisi dengan kerakal, kerikil, dan pasir kasar, sehingga aliran airnya sedikit deras. Aliran seperti itulah yang disukai oleh teri-teri menuju hulu. Namun sayang, mereka justru masuk ke dalam seprai putih atau kain. Bila sudah terlihat banyak teri, kedua ujung seprai atau kain itu diangkat, lalu batu-batunya diangkat dipindahkan ke dasar sungai. Sekali mengangkat, teri yang didapat setengah cangkir. Begitu terus berulang, berkali-kali. Teri yang lolos terus bergerak ke hulu.
Untuk mengalirkan air dari sungai induk ke berbagai tempat, para perencana saat itu tidak membuat bendungan, tapi mengalirkan air dengan memperhitungkan ketinggian tempat yang akan diairi dan ketinggian titik di sungai induk yang akan dibuat mulut irigasi. Tentu, sodetan di sungai induk harus lebih tinggi beberapa meter dari tempat yang akan diairinya. Dengan membuat sodetan di daerah yang batuannya lebih keras di sungai induk, sudah seabad lebih ia dapat mengalirkan air dengan sangat baik tanpa bendungan. Berjuta ikan yang lahir di muara Ci Palebuh, yang bergerak ke hulu pada musim tertentu, tidak menemui rintangan. Keadaan lingkungan sungai seperti inilah yang memungkinkan terjaganya keragaman jenis dan jumlah ikan dari hilir sampai hulu.
Keadaan mulai berubah menjelang akhir tahun 1960-an. Ronabumi dasar sungai mengalami perubahan besar. Di pinggir Ci Palebuh, di mulut irigasi, dibuat bendungan tembok yang melintang sungai selebar 44,5 meter. Di sisi selatan bendungan dibangun pengatur air dengan pintu yang dapat dinaikkan atau diturunkan sesuai kebutuhan. Bendungan setinggi dua meter ini oleh masyarakat disebut Gulanjeng. Aliran Ci Palebuh terjun di bendungan, menjadi rintangan bagi berjuta ikan teri yang sedang melakukan ritual bergerak ke hulu.
Kejutan yang menggemparkan terjadi pada waktu subuh, ketika orang-orang mulai berdatangan ke Ci Palebuh dengan membawa lentera. Di tempat yang biasa, mulai ramai orang yang mandi, mencuci pakaian, dan mencuci piring. Mereka dikejutkan dengan banyaknya serakan ikan mati di dasar sungai. Sungai benar-benar penuh dengan ikan mati. Kabar menyebar begitu cepat. Ramailah orang berdatangan, tak terkecuali anak-anak. Mereka memunguti ikan mati, seperti bogo, belut, sidat, lubang, ikan mas, tawes, mujair, lele, dan udang.
Racun Serangga dan Tikus
Menurut cerita orang-orang tua yang ikut memunguti ikan, ikan mati mulai dari Desa Bojong. Inilah untuk pertama kalinya ada kematian ikan yang sangat dahsyat. Bukan hanya ikan yang mati, tapi semua yang ada di sungai itu.
Kata orang-orang tua, kematian ikan-ikan itu karena diendrin, diracun memakai endrin. Katanya, ada orang yang mengucurkan sedikit endrin, racun pembasmi serangga dan pengerat di daerah Bojong. Akibatnya, sepanjang aliran Ci Palebuh mulai Bojong sampai muaranya di Samudra Hindia sepanjang 10 kilometer itu teracuni endrin. Menjelang siang, ikan-ikan yang mati diendrin sudah dibawa ke rumah masing-masing untuk dimasak. Tidak ada yang memberikan keterangan bahwa ikan itu berbahaya kalau dimakan karena mengandung racun. Beruntung, kami warga beberapa kampung sepanjang sungai itu tidak ada yang keracunan.
Saat itu, hama tikus begitu merajalela. Hanya dalam satu malam, satu petak sawah dapat habis tak bersisa. Di kalangan petani beredar zat pemusnah serangga dan pengerat, yang dikenal dengan nama endrin. Zat racun ini dijual di toko kebutuhan pertanian dan dianggap cara paling ampuh untuk membunuh hama tikus.
Karena tingkat racunnya yang tinggi, maka daya bunuhnya pun sangat dahsyat. Endrin tidak bisa memilih binatang mana yang akan dibunuhnya. Akibatnya, bukan hanya tikus dan serangga yang mati, tapi juga belut, ular, dan binatang lainnya yang hidup di sawah ikut musnah.
Bukan hanya binatang yang dapat mati seketika, tapi pada hari-hari yang lain, dikabarkan ada orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara menenggak endrin, karena kalah judi nalo (national lottery).
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (6): Sehari Menjelang Lebaran
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (5): Tiga Bulan Pertama Sekolah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (4): Leo Penerbang Jagoan
Melempar Mangga
Rumah Abah dan Ema persis di antara sungai dan jalan, termasuk Kampung Kaum Kaler, Desa Pameungpeuk, Kecamatan Pameungpeuk, Kewadanaan Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Sungai atau irigasi di belakang rumah itu berasal dari gulanjeng, bendungan sungai di Ci Palebuh, yang menerus ke hilir mengairi persawahan di Tegalbuleud, Rancabujal, di selatan Padengdeng sampai persawahan yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Jalan desa di depan rumah kalau dilanjutkan akan melewati Manisi, Cikoneng, Pangbarakan, Centrong, dan Bojong.
Di belakang rumah, setelah menyeberangi sungai, ada hamparan persawahan. Bila terus berjalan melintas di pematang ke utara sejauh 500 meter, orang akan sampai di Bojongmongkong, lahan kebun singkong, kacangtanah, talun kelapa, dan pohon mangga.
Ada pohon mangga yang dahannya ke luar batas kebun, mengarah ke Ci Palebuh. Inilah yang menjadi sasaran lemparan kalau pulang dari gulanjeng melipir di pinggir sungai. Sekali waktu, begitu batu bulat sebesar telur asin dilemparkan, buah mangga langsung berjatuhan.
Sebelum kami memunguti mangganya, dari dalam kebun ada yang berteriak keras sekali. Itulah suara Mang Dodo, pemiliki kebun. Anak-anak berlari secepat mereka mampu. Sudah tak menghiraukan lagi mangga ranum yang berserakan. “Anak saha, maneh (Anak siapa, kamu)?” teriaknya menggelegar.
Itulah teriakan yang paling manakutkan. Takut keisengan melempar mangga milik orang lain itu sampai kepada orang tua. Wah, celaka 12!