• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (5): Tiga Bulan Pertama Sekolah

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (5): Tiga Bulan Pertama Sekolah

"Cukup. Ujung jari tangan kanan sudah menyentuh daun telinga sebelah kiri. Diterima untuk sekolah di SDN Pameungpeuk IV!”

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Pada tahun 1965 di Pameungpeuk, Garut, pelajar kelas 1 SD diberi pinjaman sabak. Dalam foto di kiri terlihat pelajar Sekolah Rakyat (SR) Taman Siswa tahun 1947 membawa sabak (Sumber: koleksi Nederlands Fotomuseum). Gambar sabak dan gerip atau grip di kanan (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sabak).

5 Mei 2021


BandungBergerak,id - Saya sedang bermain pagi itu. Terlihat ada rombongan ibu-ibu dengan anak mereka berjalan berombongan, berbelok ke arah selatan melalui jalan kecil yang sudah sangat saya ketahui sampai rumah-rumah dan pemiliknya. Saya penasaran, teman-teman itu mau ke mana? Saya mengikutinya dari belakang. Ternyata mereka menuju sekolah. Di sana ada Sekolah Dasar (SD) 1 dan SD 4.

Saya pun duduk di bangku panjang mengikuti ibu-ibu tadi. Ibu-ibu bergeser sesuai urutan, saya pun mengikutinya. Ada Pak Guru di depan kelas yang duduk di kursi kayu, di depannya ada meja dengan taplak batik. Setelah semua anak dicatat identitasnya dan keluar ruangan, kini giliran saya dipanggil dengan isyarat tangan. Semua guru adalah tetangga. Mereka mengenal orang tua dan mengetahui saya juga.

Guru yang menjadi petugas penerimaan siswa baru itu tidak bertanya sedikit pun apakah saya akan daftar sekolah atau bukan. Guru itu menyuruh saya berdiri. “Lingkarkan tangan di atas kepala,” Pak Guru memberi contoh. “Cukup. Ujung jari tangan kanan sudah menyentuh daun telinga sebelah kiri. Diterima untuk sekolah di SDN Pameungpeuk IV!”

Wah, saya jadi siswa kelas 1 SD. Segera saya pulang dan bermain lagi seperti biasanya. Lewat jam empat sore, ketika Ema sudah pulang dari kebun, baru saya ceritakan, bahwa saya sudah masuk SD.

Hari Senin pekan berikutnya saya mulai sekolah. Tanpa seragam, tanpa alas kaki, tapi mandi terlebih dahulu. Karena begitu kata kakak kelas. Sebelum ke sekolah harus mandi dalu.

Tiga bulan pertama sekolah, saya belajar menulis dan berhitung bukan di atas kertas buku. Sekolah menyediakan pinjaman sabak ukuran 30x25 centimeter, dan setiap minggu dibagi gerip atau grip yang baru.  Sabak itu media untuk menulis, sedangkan gerip atau grip alat untuk menulis di sabak. Bila gerip digoreskan di sabak, akan muncul garis warna abu-abu.

Guru kelas 1 SDN Pameungpeuk IV itu Pak Ena (e dibaca seperti melafalkan kata emas). Perawakannya kurus dan tinggi. Dia adalah pemain bola yang berlari secepat anak panah. Hari pertama di kelas, Pak Ena menyuruh siswanya bersama-sama untuk mengangkat tangan kanan atau tangan kiri secara terus-menerus. Jangan sampai tertukar bila ia mengatakan tengen dan kiwa.

Setelah tak ada lagi yang keliru membedakan mana tangan kiri dan mana tangan kanan, anak-anak diajak lagi untuk mengangkat tangan bersama-sama. Di depan, Pak Ena memperagakan cara membuat huruf O, lalu anak-anak menirukan gerakan Pa Ena yang sedang membuat huruf O. Diulang-ulang terus gerakan itu berkali-kali di udara, sampai terbayang dan hafal dalam ingatan.

Setelah anak-anak tahu arah gerakan tangan saat menulis huruf O, Pa Ena membagikan sabak dan gerip dari lemari kelas. Semua siswa menulis huruf O dari ujung kiri ke ujung kanan, dari atas sampai lima baris ke bawah. Semua sabak penuh diisi huruf O. Anak-anak menyebutnya endog, telur.

Setelah para siswa terlihat menguasai arah gerakan membuat huruf O dengan baik, Pak Ena meneruskan menulis angka 1. Pa Ena memberikan contoh arah gerakannya di udara seperti tadi, yang diikuti oleh anak-anak secara berbarengan. Setelah itu dilanjutkan menulis angka 1 di sabak sampai penuh dan rapih. Anak-anak menyebutnya menulis pagar.

Sabak boleh dibawa pulang untuk latihan di rumah dan dapat dibersihkan dengan menggunakan lap basah. Setelah tiga bulan menggunakan sabak-gerip, pelajaran menulis dan berhitung dilanjutkan di buku tulis. Di Pameungpeuk tahun 1965 belum ada TK. Jadi, sekolah benar-benar menjadi tempat awal untuk mulai belajar menulis, membaca, dan berhiutung.

Meja dan bangkunya masih disatukan. Mejanya sedikit miring, kecuali bagian paling depan, lebarnya 10 cm, datar, dan ada dua lubang di kiri kanannya. Katanya, itu untuk menyimpan tinta.

Pak Ena mengumumkan, besok diwajibkan membawa batang lidi yang panjangnya sejengkal sebanyak 10 batang. Besoknya baru tahu, batang lidi itu untuk belajar tentang penyebutan angka dan cara menulis angkanya.

Kalau sedang giliran piket kebersihan, saya selalu datang paling awal. Tidak pernah menunggu anggota piket lainnya, saya langsung memiringkan meja-bangku itu sehingga lantainya yang berupa batu yang ditatah rata berukuran 40x40 centimeter mudah dibersihkan. Saya menyapu dengan merang bekas padi yang saya pungut saat menuju sekolah di saung lesung Mok Ma’ah, hanya beberapa puluh meter saja dari sekolah. 

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (4): Leo Penerbang Jagoan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (3): Masjid di atas Kolam
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (2): Sehari Menjelang Puasa

Menukar Merang dengan Buku

Rasanya Pak Ena mengajar hanya sebentar saja, sampai anak-anak bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana, lalu gurunya diganti oleh bu Ika. Oleh Bu Guru baru saya ditunjuk menjadi KM, ketua murid, yang bertugas membariskan teman-teman di luar kelas ketika lonceng pertama. Bu Ika berdiri di pintu depan, dan memeriksa kuku tangan, apakah ada yang kotor, hitam penuh tanah atau tidak.

Demikian juga saya membariskan teman-teman di pinggir bangku pada saat akan pulang. Sayalah yang harus memilih mana barisan yang paling rapih, tidak berisik, tidak saling dorong, dan yang diberi kesempatan untuk pulang duluan. Yang tidak rapih, saya pilih paling akhir. Mereka inilah yang paling ribut. Saya tidak menunjuk untuk ke luar, bila urutan ketiga belum keluar pintu kelas.

Keadaannya mulai kacau. Biarkan dia tertib terlebih dahulu. Setelah berbaris agak tertib, baru saya tunjuk untuk ke luar. Mereka berlarian berisik dan saling dorong sejak dalam kelas, dan melampiaskan kekesalan karena dipilih paling akhir, sambil berlari di luar kelas, satu dua orang paling nakal berteriak-teriak, “KM burut! KM burut”. Padahal KM-nya tidak hernia.

Halaman sekolah kami luas sekali, dan dialasi dengan taburan batu kali berbentuk bulat sebesar jambu batu. Pasti ini dari Ci Palebuh, karena di sungai itu banyak sekali batu seperti ini.  Halaman sekolah kami tidak becek dan tidak berdebu. Di depan lapangan itu, di dekat bapak-ibu guru berdiri kalau upacara bendera, ada bangunan tembok persegi, 2x3 meter dengan tinggi 1 meter.

Di atasnya ada peta timbul Kepulauan Indonesia dengan dasar laut yang dicat warna biru dan pulau-pulaunya dicat warna hijau. Kalau hujan, air tergenang, Kepulauan Indonesia itu menjadi benar-benar nyata. Ada lautnya yang menghubungkan antarpulau yang berserakan dari Sabang sampai Meroke, seperti lagu yang sering kami nyanyikan dalam upacara. Saya sangat terkesan dengan ini, dan selalu terbayang begitu banyak pulau di Indonesia.

Sore hari sebelum pulang, Bu Ika mengumumkan, besok setiap siswa harus membawa dua ikat besar merang padi. Sambil pulang, saya mampir ke saung lesung. Di sana banyak sekali ikatan merang yang bulir-bulir gabahnya sudah dirontokkan dengan cara ditumbuk sampai kulitnya terkelupas menjadi beras. Saya membawa ikatan merang lebih banyak dari yang ditugaskan. Saya simpan di kolong rumah.

Esok harinya, di jalan depan sekolah sudah ada truk besar dan tinggi. Saya senang sekali bisa manjat-manjat, naik truk dari samping dengan susah payah. Di dalam truk itu saya berlari dari satu sudut ke sudut lainnya. Teman-teman pun melakukan hal yang sama, sampai bunyi lonceng dipukul nyaring sekali.

Saya berbaris di depan kelas sambil membawa beberapa ikat merang yang paling besar. Bu Ika sudah membawa tumpukan buku tulis dengan jilid warna biru kehitaman, dan ada kertas putih yang menempel di tengah bagian atas, untuk menuliskan nama, kelas, dan nama sekolah.

Wah, senang sekali mendapat dua buku. Kami sekarang belajar menulis di buku tulis. Tapi, halaman bukunya cepat berkurang, karena bagian tengahnya sering saya sobek dibuat kapal-kapalan atau mainan yang kalau dikibaskan akan berbunyi tok!

Buku dibungkus dengan kertas payung, kertas sampul warna krem yang tebal. Disebut kertas payung karena kertas ini menjadi bahan pembuatan payung kertas yang dicat dengan warna-warna cerah bergambar bunga.

Kalau sekolah giliran pagi, saya sudah berada di depan rumah Bu Ika pagi sekali. Rumahnya terletak 100 meter sebelah timur sekolah, di daerah Asisor, persis bersebelahan dengan sungai, di sebelah utara Kantor Pos. Dari sudut timur-utara Alun-alun, rumah Bu Ika hanya dipisahkan oleh jalan.

Saya duduk atau berdiri di tembok penghalang jembatan, sambil memanggil Bu Ika beberapa kali, lalu duduk menunggu. Ibu Ika keluar rumah, saya berjalan bersama menuju sekolah. Selama seminggu, setiap sekolah giliran pagi, saya melakukan hal itu, entah bagaimana pada awalnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//