• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (3): Masjid di atas Kolam

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (3): Masjid di atas Kolam

Sebentar tergulung ombak, setelah itu muncul lagi. Kadang air asin itu tak sengaja tertelan.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Peta tempat saya bermain di Pantai Cilauteureun dan Pantai Sayangheulang. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

21 April 2021


BandungBergerak.idSiang hari sepertinya matahari di kampung kami ada lima, bahkan lebih. Suhunya sangat menyengat. Memang sering kali bulan puasa jatuh pada musim kemarau. Pada siang hari tubuh terasa lemas. Jalan yang paling aman, kami tiduran di masjid yang dibangun di atas kolam.

Katanya kolam itu milik Pak Nenen, lurah manten di desa kami. Ayahnya Mang Emud yang bekerja di rumah sakit Pameungpeuk. Rumah Mang Emud bersebelahan dengan kolam yang sangat luas itu.

Kolam itu dikelilingi pohon ki kuda, kami menyebutnya kayujaran. Pohon berkulit tebal yang mengeluarkan getah amat bening dan lengket. Untuk membuat layangan atau mengelem kertas, kami tak perlu membuat lem karena sudah disediakan secara cuma-cuma.

Kolam itu selalu berair penuh karena mendapatkan aliran dari irigasi yang melewati pinggir sebelah baratnya. Untuk masuk ke dalam masjid, ada jembatan kecil, lebarnya 60 centimeter dan panjangnya 5 meter, dibuat dari anyaman bambu.

Masjid terasa sangat sejuk pada siang hari. Inilah tempat yang paling sering kami gunakan untuk istirahat siang. Setelah salat zuhur, ketika para orang tua sudah pulang, anak-anak mencari posisi yang paling nyaman sambil menggusur tikar pandan ukuran 1,5 x 2 meter untuk alas tidur sampai menjelang asar.

Hampir semua anak-anak usia 6-7 tahun sudah mulai belajar berpuasa. Kami sudah dibangunkan untuk makan sahur jam 01.30 dini hari, selesai makan setengah jam kemudian. Setelah itu saya tertidur lagi sebab nanti subuh sudah dibangunkan lagi. Masjid tempat saya mengaji pindah dari semula di masjid Ajengan Idim ke masjid H. Hamami. Anak-anak menyebutnya Ajengan Mami.

Di depan masjid ajengan Mami itu ada kolam persegi panjang selebar masjid. Dibuat agar anak-anak yang tidak pernah memakai sandal itu pada saat memasuki masjid, kakinya sudah bersih tak bertanah lagi.

Ketika mengaji usai, lewat pukul lima pagi, suasana di luar masih gelap. Di kampung kami saat itu belum ada penerangan listrik. Entah rencana siapa, sepagi itu anak-anak sudah bergerombol akan pergi ke lapangan bola Dharmabakti, dua kilometer berjalan kaki, menyeberang Ci Palebuh, dan melewati Kampung Segleng.

Di lapangan bola itulah anak-anak bermain bola dalam keadaan gelap. Saya tak bisa bermain bola di kegelapan. Bola berwarna putih itu dikuasai oleh anak yang jago, namun dia pun tak bisa menggolkan karena selalu diikuti dan dihalangi oleh lawannya secara beramai-ramai. Kalau sudah begitu, tak jelas lagi berpihak pada kelompok yang mana. Pokoknya lari ke sana ke mari mengikuti arah bola yang melesat.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (2): Sehari Menjelang Puasa
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (1): Perang Lumpur dan Terjun Bebas seperti PGT

Ke Pantai

Ketika sudah agak pagi, selesai main bola, kelompok bermainnya berganti lagi. Kali ini dengan anak-anak tetangga. Di depan pos ronda, anak-anak sepakat akan ngabeubeurang, melewati siang dengan bermain ke Pantai Cilauteureun, yang jaraknya 6 kilometer dari rumah.

Di sana kami memancing ikan yang berada di cekungan-cekungan kecil di Pantai Sayangheulang. Umpannya dengan memecahkan kumang yang masih kecil. Bila sudah lama tak dapat ikan satu pun, memang selalu begitu, dilanjutkan dengan mandi di Teluk Cilauteureun, yang hantaman ombaknya tinggi dan keras.

Anak-anak tahu bagaimana agar tidak terkena hantaman ombak. Pertama berenang di tempat sebelum ombak itu memecah. Tapi tidak seru. Kami memilih, ketika ombak itu akan memecah, masuk di kolong lengkungan itu. Sebentar tergulung ombak, setelah itu muncul lagi. Kadang air asin itu tak sengaja tertelan. Itulah minum yang dihidangkan semesta untuk anak-anak yang sedang berpuasa. Tapi saya tak pernah ribut.

Menjelang tengah hari baru kami pulang. Kalau ada rezekinya, bisa nebeng naik truk Ugin yang mengangkut batu karang untuk dijadikan kapur bakar. Kalau tidak ada truk atau tidak diperbolehkan ikut oleh sopirnya, kami berjalan kaki dalam terik matahari, mengikuti jalan yang tadi pagi kami lalui.

Kalau siang hari itu tidak terlalu lemas, anak-anak tidak tiduran di masjid, tapi bermain kartu cangkulan di pos ronda depan rumah Mok Ma'ah. Menjelang bedug asar kadang-kadang mandi terlebih dahulu di Ci Palebuh. Terasa segar, karena saat mandi itulah terkadang air secara tidak sengaja terminum.

Lewat asar, anak-anak sudah berjalan lagi menuju jalan raya antara alun-alun Pameungpeuk-Mancagahar. Setiap petang, jalanan itu sudah penuh oleh orang yang ngabuburit. Ada yang sekadar berjalan-jalan berkelompok, ada juga yang memancing di aliran Ci Dahon.

Setelah ngabuburit, apalagi bedug sudah terdengar ketika kami masih menuju pulang, seringnya saya tidak mandi sore. Cukup mencelupkan kepala di pancuran sehingga benar-benar basah. Dengan cara itu saya terlihat seperti yang baru mandi karena itu menjadi syarat untuk bisa berbuka. Pastilah Ema tahu saya tidak betul-betul mandi, karena bau keringat seharian di udara panas tidak bisa dihilangkan kalau tidak mandi. Aromanya seperti bau ayam potong yang baru diguyur air panas sebelum dicabuti bulunya.

Berbuka puasa seperti balas dendam. Kadang kamerekaan, kemekaran, kekenyangan. Perut seperti ban dalam truk Ugin. Kencang sekali. Tidak enak segala rupa. Ema membuat cakra selebar perut dengan kapur bakar yang sedikit dicampur air, yang biasa digunakan untuk nyirih. Lalu saya tiduran terlentang, sedikit berguling-guling ke kiri dan ke kanan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//