• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (4): Leo Penerbang Jagoan

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (4): Leo Penerbang Jagoan

Di ketinggian, mesinnya tiba-tiba tak terdengar. Pesawat itu terlihat melayang-layang jumpalitan. Sesak sekali melihatnya.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Dua foto digabungkan. Sebagai latar belakang, foto pesawat tempur P-51 Mustang (Sumber: tni-au.mil.id.), dan di depannya foto Leo (Sumber: buku Pahlawan Dirgantara).

28 April 2021


BandungBergerak.id - Bersama anak-anak lain, kami terus berlari sejauh enam kilometer menuju tempat akrobat udara di pantai Teluk Cilauteureun. Kami sudah sampai di Kiarakohok. Sekarang berbelok ke selatan. Hanya dua kilometer lagi. Kami semakin cepat berlari, takut kehabisan acara akrobatik udara yang pertama kali dilaksanakan di Pameungpeuk, Garut.

Helikopter sudah berputar-putar di udara. Tak perlu buru-buru sekarang, karena tinggal satu kilometer lagi. Terjun payung sudah mulai. Antara berlari dan tengadah, kagum dan khawatir melihat tentara yang berayun-ayun di udara dengan kaki sedikit menekuk.

Ternyata lapangan rumput itu sudah penuh dengan penonton. Tiba-tiba ada raungan pesawat kecil yang menyambar rendah di atas kami. Anak-anak dan penonton lainnya seketika berjongkok, dan banyak yang bertiarap sambil tetap memantau pergerakan pesawat. Pesawat kecil itu terbang lagi ke atas secara tiba-tiba dengan moncong tegak lurus ke atas. Melesat sangat cepat laksana kilat.

Di ketinggian, mesinnya tiba-tiba tak terdengar. Pesawat itu terlihat melayang-layang jumpalitan. Sesak sekali melihatnya. Semua menarik nafas dalam-dalam. Akibat buruk sudah terbayang. Kami sedikit mundur tanpa ada yang menyuruh. Tapi, dengan seketika pesawat kecil itu menderu kembali ketika nyaris sampai di landasan. Pesawat melesat terbang ke arah Rancabungur.

Tiba-tiba pesawat itu sudah berada di depan kami, terbang dengan sangat rendah dengan gaya miring. Satu sayapnya mengarah ke jalan aspal, dan satu sayap tegak ke atas langit. Pesawat itu langsung masuk plengkung, gerbang dari baja selebar jalan, yang letaknya tak jauh dari jajaran gedong papak, gedung yang atapnya rata dari beton.

Haduh, para penonton takut ujung sayap sebelah kanannya menyentuh aspal jalan. Anak-anak bersorak tapi degdegan. Lega sekali, seketika pesawat dengan posisi tegak melesat kembali ke udara, lalu berbalik dengan cara menukik tajam. Dengan cepat pesawat sudah berbalik ke udara, lalu terbang miring di atas jalan aspal. Pesawat yang sedang melaju miring itu dengan kilat masuk lagi plengkung baja, lalu mendarat di lapangan berumput.

Penerbangnya keluar dengan membuka atap pesawat kecil itu. Hanya dia sendiri. Wow… gagah sekali! Dari obrolan orang dewasa, saya mendengar penerbang yang melakukan akrobatik udara itu namanya Leo. Akrobatik udaranya membuat nafas berhenti sebentar, edun, gila, seru, menegangkan, sekaligus membanggakan. Kami mendadak ingin menjadi pilot seperti Leo. Akrobatik udaranya menjadi bahan obrolan yang tiada habisnya berbulan-bulan, bahkan masih terbayang sampai sekarang.

Terjung bebas sudah mulai. Puluhan prajurit PGT (Pasukan Gerak Tjepat), berloncatan dengan asap putih memanjang ke udara. Parasutnya belum terbuka. Masih kuncup. Asap putih terus mengepul semakin panjang. Pesawat terbang sudah menjauh. Parasut itu kemudian mengembang. Payung bulat hitam menghiasi angkasa yang biru. Suasana di udara inilah yang menjadi objek gambar kami di sekolah.

Demonstrasi terjung payung yang melibatkan pengunjung pun digelar bersama Pramuka. Terjun payung yang diterbangkan dengan cara ditarik oleh truk AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Setelah payung disiapkan, penerjunnya sudah diberi arahan, truk melaju menarik orang dan parasutnya. Payung mulai mengembang perlahan. Truk terus melaju, parasut semakin naik meninggi sampai posisinya berada di atas truk yang sudah berhenti. Payung kemudian melayang, lalu turun dengan mulus di lapangan rumput berpasir putih.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (3): Masjid di atas Kolam
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (2): Sehari Menjelang Puasa

Perjalanan Pulang

Saat pulang kami melihat di sisi timur jalan aspal, sedikit ke utara dari gedong papak, di sana berjajar hanggar, bangunan memanjang dengan atap yang melengkung setengah lingkaran. Katanya hanggar itu digunakan untuk parkir dan perbaikan pesawat. Mungkin ada 4 atau 5 hanggar. Kami tak berani mendekati bangunan itu, padahal penasaran ingin mengetahui ada apa di dalamnya. Hanya melihat dari jauh, dari jalan aspal dalam perjalanan pulang.

Di Teluk Cilauteureun terdapat jajaran tiang besi sebesar paha orang dewasa. Katanya itu sisa dermaga tempat sekoci dan kapal-kapal kecil merapat. Kapal besarnya berlabuh di Santolo, pelabuhan alam yang dibangun pada zaman Belanda. Dari ujung jalan setelah melewati gedong papak, ada muara Ci Lauteureun. Untuk melintasinya ada jembatan dan rel lori. Kata Ema, lori itu dibangun pada pada zaman Belanda. Dan kata bu guru saat piknik kenaikan kelas, jembatan lori itu dibangun tahun 1910. Pelabuhan alam itu dipakai untuk mengapapalkan hasil perkebunan karet dari perkebunan di Gununggajah, di Cikelet, di Cisompet, di Miramare, di Cilaut, di Nagara, dan di Condong. Saya sering menyaksikan para pemikul lateks dari perkebunan Cilaut beriringan setengah berlari melewati jalan di depan rumah kami.

Lewat tengah hari yang terik, anak-anak berjalan pulang, beriringan di bahu jalan yang ditumbuhi rumput yang dipangkas setiap hari dengan sangat baik oleh Mang Enik, Mang Ica, dan kawan-kawan lainnya. Anak-anak tak ada yang kuat berjalan di atas jalan aspal pada tengah hari, karena di antara kami tak ada yang memakai sandal. Bila terpaksa harus berjalan di jalan aspal, kami bertahan sebentar saja dan harus segera menepi kembali. Aspal yang meleleh ditimpa panas matahari, kalau terinjak, menempel di telapak kaki dan cukup sulit untuk dibersihkan.

Di Cikuda, ada pohon kayujaran atau ki kuda yang besar sekali dan rindang. Di bawahnya ada penjual cendol. Membayangkan menyeruput cendol saat haus dan panas merupakan kenikmatan dan menjadi ramai dalam obrolan. Tak terasa kami sudah melewati Nangoh, astana bertanah merah. Setelah melewati kolam perikanan, kami berjalan menerobos melewati pematang kolam milik Mantri (Kesehatan) Mulyadi.

Di masjid ajengan Idim kami beristirahat. Kaki direndam di kolam, telapaknya digosok-gosok ke batu kasar. Aspal kuat sekali menempel di telapak kaki. Sedikit demi sedikit dikerik dengan kuku. Di masjid itu kami tiduran sampai asar.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//