• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (6): Sehari Menjelang Lebaran

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (6): Sehari Menjelang Lebaran

Sehari menjelang lebaran, Ema sudah memasak makanan khas lebaran untuk dibagikan kepada saudara dan tetangga dekat.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Mengirim hantaran memakai rantang dengan isi berbagai jenis masakan yang dibuat Ema di rumah, merupakan kebiasaan sehari sebelum lebaran. (Ilustrasi hasil olah foto dari berbagai sumber oleh T. Bachtiar)

11 Mei 2021


BandungBergerak.id - Gemuruh suara dulag, irama yang khas, pertanda kegembiraan berlebaran sudah datang.

Tak tong tak. Tak tong tak. Tak tong tak. Tak tong tak. Kohkol, kentongan dari kayu sebesar badan, dipukul berirama dan terus-menerus dipukul dengan irama itu.

Lalu bedug dipikul dengan dua pemukul di tangan kiri dan tangan kanan. Dulugdugdag… dulugdugdag… dulugdugdag… dulugdug… dulugdug… dug dag!

Anak-anak bergantian memukul bedug dengan keras bertenaga. Memukul bedug secara terus-menerus seperti dalam ngadulag, tangan terasa cepat pegal. Posisinya pun berubah, dari pemukul kentongan berganti menjadi pemukul bedug.

Ngadulag kadang tak mengenal waktu. Tengah hari, saat terik matahari, ngadulag terus saja berlangsung. Hal inilah yang membuat suara dulag menjadi tidak enak lagi bagi yang rumahnya hanya berjarak 3,5 meter dari masjid ajengan Idim, seperti Bi Énoy.

Bi Énoy baru membuka pintu rumahnya, anak-anak sudah berlarian. Pengalaman tahun lalu, Bi Énoy suka marah dan merampas pemukul bedug. Mungkin jadi kayu bakar, karena pemuluk itu tak pernah kembali lagi.

Namun anak-anak tak pernah kehilangan akal. Mereka membuat lagi pemukul bedug dari dahan kayu yang sudah kering. Bila Bi Énoy berteriak dan berjongkok mengambil batu, anak-anak semakin kencang berlari melipir rumah di selatan masjid agar segera menghilang dari pandangannya. Tapi, bi Énoy pun tidak sungguh-sungguh marah. Hanya sudah kelewat pusing saja mendengar dulag yang tiada henti tengah hari. Lemparannya yang keras itu diarahkan ke kolam sempit di pinggir rumahnya.

Berkirim Kebahagiaan

Seperti lebaran tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, sehari menjelang lebaran, Ema sudah memasak makanan khas lebaran untuk dibagikan kepada saudara dan tetangga dekat. Begitulah lazimnya, kami selalu saling berkirim kebahagiaan, saling mengabarkan kesehatan.

Selain berkirim kepada saudara dan tetangga, ada seorang yang selalu Ema kirim satu rantang susun makanan, yaitu paraji, orang yang sangat berjasa menolong persalinan Ema dengan baik dan selamat. Termasuk kelahiran saya tentunya, yang bayinya cukup besar, seperti pisang kastroli, katanya. (Sampai sekarang saya belum pernah mengetahui pisang kastroli).

Panggilan kepada paraji itu didahului dengan kata ma, ibu: Ma Onoh. Rumahnya dekat irigasi, sungai buatan untuk mengairi sawah di selatan. Jaraknya sekitar 500 meter ke arah selatan dari rumah.

Sehari menjelang lebaran, saat masih kelas 2 SD tahun 1966, saya ikut mengantarkan makanan. Bila dibandingkan dengan tinggi badan, saya sesungguhnya tak sesuai untuk menjinjing rantang susun empat. Agar rantang tidak menyentuh tanah, badan saya sedikit dimiringkan ke kiri bila tangan kanan yang menjinjing, dan miring ke kanan bila tangan kiri yang menjinjing rantang. Saya kebagian mengirimkan hantaran kepada lima orang.

Isi rantang sudah disusun sehingga saat terguncang karena tersandung atau karena hal lain pada saat dijinjing, kuah masakan itu tidak sampai menetes ke makanan yang ada di bawahnya. Dua rantang paling bawah (4) diisi makanan yang sedikit berkuah, seperti lapis daging kerbau atau daging kerbau ungkep, dan gulai kering kacang merah. Di rantang ke tiga (3) disimpan ikan mas bumbu acar atau pesmol bumbu kuning dan sambal goreng kentang. Antarmasakan yang berbeda dialasi dan dibatasi daun pisang menggala. Rantang kedua (2) diisi nasi, sementara rantang paling atas (1) diisi kerupuk udang. Inilah kerupuk yang jarang kami makan karena sehari-hari cukup dengan kerupuk blek yang banyak dijual di warung Ma Uka.   

Bila Ema selesai memasak pukul 11.00, pada siang itulah saya mulai mengirimkan hantaran dalam rantang itu. Berkeringat juga. Dan, yang paling menggoda adalah mencium wangi masakan. Lapis daging kerbau wanginya minta ampun.

Bila hantaran sudah selesai diantarkan, Ema membolehkan saya puasa setengah hari, sampai bedug lohor. Keputusan ini yang paling saya tunggu-tunggu setiap menjelang lebaran. Dapat dipastikan, saya tak henti-hentinya makan apa saja yang tersedia. Setelah itu saya tak berani ke luar karena akan ketahuan saya tidak berpuasa.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (5): Tiga Bulan Pertama Sekolah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (4): Leo Penerbang Jagoan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (3): Masjid di atas Kolam

Kentongan dan Bedung

Lewat asar, terdengar dulag dari Kaum, masjid besar di sebelah barat alun-alun. Kentongannya lebih besar dari lesung sehingga tidak digantung di samping tiang penyangga bedug tapi ditidurkan seperti lesung. Pemukul kentongannya pun sebesar betis orang dewasa. Panjang pegangannya 20 centimeter, sementara bagian depan lebih besar lagi panjangnya 15 centimeter. Kalau kentongan itu dipukul, orang yang ketiduran saat Jum’atan pasti langsung terbangun.

Bedug-nya pun besar sekali. Garis tengahnya saja 125 centimeter. Kalau dipukul, dentuman suaranya bergemuruh terdengar ke mana-mana. Menurut cerita anak-anak, Cep Emer yang tidur di Kaum tanpa disadarinya pernah dipindahkan ke dalam bedug di samping selatan masjid. Ia terbangun saat dentuman bedug menggetarkan dada. Sebagai penanda waktu salat, bunyi kentongan dan bedug saat itu terdengar sampai jauh.

Dulag sudah ditabuh di tiap masjid. Inilah pesan melalui penanda bunyian yang sudah disepakati sejak lama, mengabarkan, bahwa besok lebaran. Anak-anak mandi dicumplang, keramas, di Ci Palebuh, dengan rambut yang sudah dipolka, diparas, dicukur oleh mang Pani di bawah pohon cemara dekat jembatan depan pasar, sebelah timur alunalun.

Baju baru sudah dilicin, disetrika. Sehari-hari, jarang sekali saya memakai baju yang disetrika. Setrikaan arang yang besar dan berat, dengan patung ayam sebagai penguncinya. Memakai baju yang disetrika termasuk langka, kecuali bila ada acara penting seperti perayaan lebaran.

Besok salat sunahnya di Alun-alun Pameungpeuk, di sebelah timur kaum. Yang memimpin takbiran dan imam salatnya Ajengan Mami, ajengan yang paling disegani. Dari berbagai lembur, kampung, semua melaksanakan salah sunahnya di Alun-alun Pameungpeuk, seperti dari Kaum, Kaum Tengah, Kaum Kaler, Manisi, Cikoneng, Pasampeu, Padengdeng, Sukapura, Cigodeg, Tambakbaya, dan tempat lainnya. Umumnya mereka datang ke alun-alun berombongan, berbaris rapi sambil bertakbir dipimpin oleh tokoh keagamaan di daerahnya masing-masing.

Saat takbiran, pikiran saya sudah berada di rumah. Terbayang di rumah sudah ada nasi pulen panas dengan ikan mas besar dengan bumbu acar kuning atau pesmol. Ingin segera selesai salat sunahnya. Di rumah ada bugis wangi suji kesukaan, ada apem warna dadu, peuyeum, tape ketan wangi daun katuk, opak, kolontong, dan ranginang.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//