• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (8): Nyaba ke Bandung: Bemo, Es Krim, dan Sepatu Bata

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (8): Nyaba ke Bandung: Bemo, Es Krim, dan Sepatu Bata

Saya merasa serba asing, tapi sangat kagum dengan keadaan itu. Banyak sekali hal yang tidak ada di Pameungpeuk.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Di Toko Bata inilah Teh Ami Raksanagara membelikan penulis sepatu Warrior. (Sumber foto: www.gusber.weebly.com)

26 Mei 2021


BandungBergerak.idBebeberapa hari ke depan, mulai besok, saya tak bisa bermain loncat dari tebing di Leuwi Kuning dan berenang di Ci Palebuh karena bersama keluarga akan nyaba, akan pergi untuk sementara ke Kota Bandung. Kakak akan menikah di Bandung.

Tahun 1965 waktu itu, saat saya duduk di kelas 2 SDN IV Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Semua berangkat ke Bandung. Termasuk saya akan pergi ke kota untuk pertama kalinya. Akan naik kendaraan seharian. Setiap bertemu teman-teman sepermainan, atau saat pulang dari masjid ajengan Idim, saya selalu menceritakan bahwa saya akan pergi ke Bandung.

Sehari menjelang keberangkatan, barang-barang yang akan dibawa ke Bandung sudah dikemas ke dalam beberapa tingkem. Ada pisang terbaik yang ada di kampung kami, yang diperkirakan 2-3 hari lagi akan matang. Sangrai opak dan goreng ranginang sudah disusun ke dalam beberapa blek yang catnya sudah menghilang berganti lagi ke warna dasar seng, kehitaman sedikit berkarat, yang kemarin sudah digosok dibersihkan dengan abu. Penutupnya diganjal dengan kertas koran lalu ditekan kuat-kuat agar tak ada udara yang masuk. Peuyeum, tape ketan warna hijau katuk, sudah dikemas agar tidak bocor bila ada airnya yang menetes.

Subuh saya sudah dibangunkan, dan baru saat itulah mandi di Ci Palebuh subuh-subuh. Ema sudah memanggang ulen di hawu, di tungku dengan bara yang panas. Ukuran ulennya sebesar telapak tangan orang dewasa. Ulen yang sudah dipanggang warnanya kuning kecoklatan, dijajarkan di atas nyiru dan goreng kéré dendeng ikan mujair berbumbu garam, ketumbar, gula merah, dan asam, bertumpuk dalam nampan besar. Wangi ketumbar dan rasa manisnya terasa. Soal makan, saya adalah jagonya. Panggang ketan hanya sekilat sudah tak bersisa. Begitu pun dendeng ikan mujair habis dengan kepala dan durinya yang garing sehingga dapat dikunyah seperti kerupuk.

Kami sudah berangkat setelah bedug subuh. Keadaan jalannya sudah lama kehilangan aspal sehingga di dalam suburban terasa dikocok. Setelah melewati Cisompet, begitu memasuki kawasan perkebunan teh Neglasari, saya sudah tak kuat lagi menahan mual. Saya muntah dengan tekanan gas dari dalam yang sangat kuat sehingga menyemprot ke mana-mana. Aroma masam dan anyir menyebar, memancing orang lain menjadi mual. Pada saat penumpang lain melihat dengan sudut matanya, kemudian membuka jendela di dekatnya, rasanya malu sekali, tapi rasa lemas dan pusing menghilangkan perasaan itu.

Ema menggosok-gosokan minyak angin cap PPO (Pak Pung Oil) di tengkuk, di atas bibir dekat lubang hidung, dan di pelipis. Kendaraan ke pinggir, keneknya berlari mengambil pasir dari pinggir jalan, lalu ditaburkan di atas muntahan agar baunya tidak terus menyebar.

Jalan semakin berkelok-kelok, melingkar seperti huruf S. Baru memutar ke kiri sudah memutar kembali ke kanan. Saya semakin mual, tapi tak ada lagi yang bisa dimuntahkan. Ini justru paling sakit. PPO yang digosokkan sudah tak mampu lagi menyegarkan. Sampai Cikajang sejauh 57 kilometer, rasanya lama sekali. Saya beberapa saat tertidur lemas. Kendaraan baru sampai Garut sejauh 84 kilometer itu pada jam 12.00 siang. Bila ada gangguan, seperti ban pecah atau mesinnya mogok, sampai di Garut bisa pukul 14.00 bahkan lebih.

Perjalanan dari Garut ke Bandung terasa lebih nyaman. Jalannya lurus, tak berkelok-kelok seperti tadi, dan mulus. Suburban berjalan dengan kecepatan yang membuat angin bertiup kencang dari jendela. Terasa segar. Menjelang magrib baru sampai di Bandung. Perjalanan dari Pameungpeuk ke Bandung sejauh 152 kilometer yang melelahkan.  

Beberapa orang dari keluarga Pameungpeuk, termasuk saya, menginap di Gang Ingi, Kota Bandung. Yang mengurusi kami adalah R Adnan Raksanagara (kakak paling besar dari R Adi Raksanagara).

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (7): Ikan di Ci Palebuh Mati Diendrin!
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (6): Sehari Menjelang Lebaran
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (5): Tiga Bulan Pertama Sekolah

Jalanan Kota Bandung

Siang hari keesokannya, saya diajak naik bemo oleh kang Adnan. Saya tidak tahu persis naik bemonya dari mana dan akan ke mana. Inilah untuk pertama kalinya saya naik bemo, angkutan umum berroda tiga. Suaranya kencang dan bergetar bila sudah berjalan. Asap knalpotnya abu-abu putih mengepul ke mana-mana. Senang sekali naik kendaraan di jalanan yang rata, tidak seperti kemarin. Tak henti-hentinya saya mengagumi situasi Kota Bandung. Ramai banyak lalu-lalang orang.

Kang Adnan pun membelikan satu gelas es krim. Selama dalam bemo, saya mencolek-colek eskrim yang dingin dengan kayu tipis sebesar telunjuk, lalu menjilatinya sedikit-sedikit, biar awet, biar lama makan es krimnya. Inilah pengalaman pertama makan es krim.

Bandung ramai sekali. Banyak mobil, tak seperti di Pameungpeuk. Ada juga truk punya Ugin yang suka mengangkut batu karang dari Cilauteureun dan mengangkut padi huma dari Balegod. Kalau ada kendaraan pada malam hari yang melintas di jalan dekat rumah kami, anak-anak segera berlari ke jalan, berjajar memenuhi jalan, lalu serempak menurunkan celana sambil nungging, membiarkan pantatnya disorot lampu kendaraan. Kira-kira sudah dekat, kami segera berlari menghilang sampai jauh di balik rumah-rumah.

Saya senang mengamati beragam bentuk mobil yang berlalu-lalang di jalan. Jalannya lebar dan beraspal hitam. Di perempatan jalan ada lampu tiga warna yang digantung di tengah-tengah perempatan. Tali bajanya merentang ke tiang yang berada di dua sudut jalan. Lampu itu berfungsi sebagai tanda berhenti kalau lampu merah yang menyala, dan mobil melaju kalau lampu hijau yang menyala. Saya merasa serba asing, tapi sangat kagum dengan keadaan itu. Banyak sekali hal yang tidak ada di Pameungpeuk.

Pada saat naik bemo malam hari, di tengah jalan, terlihat warna hijau yang menyala terang kalau terkena cahaya lampu. Berjajar di tengah-tengah jalan selang beberapa meter. Katanya itu sebagai tanda pemisah jalan, namanya matakucing.

Di Bandung tahun 1965, semua anak yang bepergian umumnya memakai sandal atau sepatu. Waktu itu, sejak dari kampung saya tidak pernah memakai sandal, apalagi sepatu. Ke mana-mana, termasuk ke sekolah. Tidak mengenal jalanan becek, keras berbatu, atau di ladang yang penuh duri dan pucuk ilalang yang baru tumbuh.

Peta lokasi Toko Bata di Bandung yang berada di lantai dasar Gedung Swarha. Di depannya ada jalan umum yang menghubungkan Jalan Dalem Kaum dengan Jalan Asia Afrika. (Olah peta oleh T. Bachtiar)
Peta lokasi Toko Bata di Bandung yang berada di lantai dasar Gedung Swarha. Di depannya ada jalan umum yang menghubungkan Jalan Dalem Kaum dengan Jalan Asia Afrika. (Olah peta oleh T. Bachtiar)

Sepatu Bata

Waktu ke Bandung itulah saya dibelikan sepatu Bata, tokonya persis sebelah utara masjid Agung Bandung, sebelah barat alun-alun, tak jauh dari tempat oplet mangkal. Di depan toko sepatu itu ada jalan yang menghubungkan jalan depan kantor pos besar dan kantor polisi di selatannya. Teh Ami Raksanagara yang membelikan sepatunya.

Di dinding toko tersusun penuh beragam sepatu. Oleh penjaga toko saya disuruh duduk di kursi, lalu alat ukur sepatu digeser didekatkan. Alat ukur sepatunya dibuat dari bahan kayu, lebarnya 40 centimeter, panjang 45 centimeter, dan tinggi bagian depan 30 centimeter dengan penahan dari kayu, batas tumit, dan bagian lainnya tingginya 40 centimeter, sehingga alas bagian atas menjadi sedikit miring, yang di pinggirnya ada garis-garis sebagai ukuran. Kaki kanan saya diletakkan di meja ukur, lalu petugas itu menyebutkan ukuran sepatu kepada petugas yang lain agar segera mengambilkan sepatunya.   

Saya tetap duduk di kursi yang tadi. Setelah sepatu warna putih itu diantarkan, petugas tadi memasukkan kaki saya ke dalam kantung plastik halus, baru dimasukan ke dalam sepatu, apakah sepatu itu pas ukurannya atau tidak. Ternyata ukuran sepatunya sudah pas.

Tak lama, saya sudah menjinjing sepatu bot kanvas warna putih, yang di sekitar mata kakinya ada karet bulat warna merah bertuliskan warrior. Sepatu itu benar-benar empuk dan kuat. Katanya, sepatu merek Bata ini karena nama pendiri perusahaannya bernama Tomas Bata, orang Cekoslovakia. Bukan diambil dari kata bata yang dari tanah, yang dibuat di dekat lapangan sepakbola Darmabakti di kampung kami.

Menjelang kepulangan, oleh Jang Adi (R Adi Raksanagara), saya dihadiahi jam tangan merek Mido dengan dasar piringan warna hijau cerah. Besok kami akan kembali ke Pameungpeuk, memakai sepatu baru dan jam tangan yang keren. Sudah terbayang, teman-teman akan berteriak-teriak dari kejauhan, “Aduh… gaya siga koboy, euy… ginding….” “Wow, gayanya seperti koboy…. keren…” Lalu mereka berlari mendekat sambil kakinya yang penuh tanah itu dengan enak saja diinjakkan ke sepatu yang masih putih. Berkenalan, katanya.

Akhirnya sepatu itu saya simpan di kolong bangku, dan jam tangan di dalam laci lemari. Keduanya tak pernah dipakai lagi. Ke sekolah pun tidak, apalagi saat bermain. Saat itu, tak ada yang memakai sandal apalagi sepatu, kecuali satu dua anak perempuan yang memakai sandal ke sekolah. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//