• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (9): Demam Rudy Hartono dengan Raket Kayu tanpa Senar

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (9): Demam Rudy Hartono dengan Raket Kayu tanpa Senar

Pagi, sore, malam, suara tok... tak... tok... tak... trong... trang... trong... trang... tak pernah sepi.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Raket dari kayu albasia dan raket piring seng menimbulkan suara yang nyaring: tok... tak... trong... trang... (Ilustrasi oleh T. Bachtiar)

2 Juni 2021


BandungBergerak.id - Dari radio itu mulai terdengar gemuruh tepuk tangan disertai sorak-sorai yang tiada henti.

“Wah, benar. Rudy Hartono sudah main!” kata anak-anak, saling pandang, lalu duduk bersandar di teras rumah Mang Deded.

Siang menjelang petang. Anak-anak sudah berhenti bermain, karena kata orang-orang dewasa tadi pagi saat akan mandi di Ci Palebuh, akan ada siaran pertandingan badminton di radio pada petang nanti. Nama pemainnya Rudy Hartono. Anak-anak sudah saling menceritakan di mana kemungkinan bisa mendengarkan pertandingan itu.  

Pada tahun 1968, rumah yang memiliki radio di kampung kami di Pameungpeuk, Garut, masih dapat dihitung dengan jari. Keluarga saya pun tidak memilikinya. Tetangga yang mememiliki radio adalah Mang Deded, bandar hasil bumi yang maju. Anak-anak sudah biasa mendapatkan upah setelah ikut memipil biji jagung dari tongkolnya atau mengelupaskan kulit suuk, kacang tanah.

Karena sudah merasa terbiasa duduk di teras rumah itulah, maka anak-anak memilih untuk mendengarkan pertandingan itu di sana. Anak-anak sudah duduk-duduk di lantai teras. Ketika ada pertandingan badminton, Mang Deded mengeraskan suara radionya hingga terdengar jauh ke luar. Anak-anak duduk di lantai bertegel abu-abu, ramai mengomentari komentator di radio yang membuat tegang pendengarnya. Melihat anak-anak sudah ramai mendengarkan pertandingan, orang-orang dewasa pun akhirnya ikut berjajar bersila di teras rumah.

Teras rumah menjadi penuh sesak. Bahkan ada yang berdiri. Mereka yang berdiri itulah yang paling ramai ketika kok yang dismes Rudy Hartono tidak dapat dikembalikan oleh lawannya. Sorak-sorai tiada henti, bahkan sebagian orang meloncat-loncat kegirangan. Kadang-kadang suasana menjadi sangat tegang dan kesal, terbawa hanyut oleh komentator yang berbicara cepat dan mengaduk-aduk emosi pendengarnya.

Melihat banyaknya orang dewasa yang ikut mendengarkan, akhirnya Mang Deded menjinjing radio transistor berbentuk persegi itu ke luar rumah, disimpan di meja yang sudah terpasang di teras rumah. Pemilik radio duduk di kursi rotan tak jauh dari radionya.

“Lawan tidak diberi kesempatan! Rudy Hartono terus menyerang, terus memukul bertubi-tubi.”

Kami sangat puas dengan komentar itu yang terdengar jelas dan keras. Tapi bagaimana kelanjutannya?

“Beruntung, lawan tak bisa mengembalikan kok yang dipukul melambung berulang kali oleh Rudy Hartono, lalu dipukul bergulir nyaris di batas net. Angka bertambah untuk Rudy Hartono.”

Nama Rudy Hartono begitu melekat kuat dalam ingatan kami. Sambil menunggu istirahat pertandingan, ada orang dewasa yang menceritakan kembali kemenangan Rudi Hartono di Thomas Cup pada tahun 1967. Yang lain menimpalinya dengan kisah bagaimana kecemerlangan permainan badminton Rudy Hartono. Anak-anak sangat kagum mendengar prestasi Rudy Hartono yang luar biasa itu.

Rudy mah lol bek!” kata yang lain lagi, menanggapi bagaimana Rudy Hartono bermain.

Begitu ada kok datang, langsung saja dipukul oleh sang pemain dengan sangat baik dan keras ke bidang kosong yang tak akan terjangkau lawan.

Pertandingan sudah dimulai kembali. Berkat kemampuan komentator menyiarkan pertandingan itu, seolah-olah kami melihat langsung di arena. Pendengar hanyut terbawa perasaan ketika Rudy Hartono bermain. Tegang sekali rasanya. Dan ketika menang, kami bersorak-sorai dengan keras, bahkan meloncat-loncat kegirangan.

Begitu jelas terbayang bagaimana kok itu bolak-balik, lalu bagaimana Rudy Hartono menyelesaikan pertandingan dengan kemenangan gemilang sebagai juara All England. Seketika itu, anak-anak merasa menjelma menjadi Rudy Hartono, sang juara.

Nama Rudy Hartono menjadi buah bibir. Di mana pun, pembicaraan tak beranjak dari mengomentari ulang permainan Rudy Hartono.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (8): Nyaba ke Bandung: Bemo, Es Krim, dan Sepatu Bata
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (7): Ikan di Ci Palebuh Mati Diendrin
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (6): Sehari Menjelang Lebaran

Membuat Raket dan Lapangan

Keesokan harinya anak-anak mencari papan-papan sisa berukuran 30x20 centimeter. Dengan golok mereka membuat raket. Bentuknya ada yang persegi, ada juga yang membulat, dengan diberi pegangan sepanjang 10 centimeter. Raket mati, karena tidak memakai senar atau tali raket.

Badminton menjadi permainan sehari-hari kami. Tanah kosong di depan rumah milik Pak Patih menjadi tempat kami bermain badminton.

Ternyata bukan hanya anak-anak yang demam badminton, tapi juga para orang dewasa. Mereka bergotong-royong membuat lapangan badminton. Anak-anak langsung mendekat hendak melihat bagaimana orang dewasa bekerja. Lapangan bulutangkis dibangun di tanah yang luas sehingga di sekelilingnya masih dapat dibuat bangku-bangku dari batang bambu yang diberi tiang untuk duduk para penonton. Lapangannya tak jauh dari rumah Mang Emud, sedikit ke selatan dari masjid anjengan Idim.  

Ada yang meratakan dan mengeraskan tanah dengan menyiramkan air secara merata, lalu menyiapkan batang kelapa sepanjang satu meter yang di kedua ujungnya sudah dipasak kayu bulat sepanjang satu jengkal setengah. Dua potong bambu yang sudah dilubangi di kedua ujungnya dimasukkan ke pasak tadi, kemudian ditarik menggelinding dari ujung lapang ke ujung lapang lainnya. 

Yang lainnya memotongi dahan kayu seukuran jempol kaki orang dewasa sepanjang 15 centimeter, lalu ujungnya diruncingkan. Ada juga yang membelah batang bambu selebar 2,5 centimeter, lalu dibersihkan sampai halus agar pinggirannya tidak tajam. Dua orang merentangkan tambang dari kulit pohon waru untuk mengukur panjang-lebar lapangan. Di titik-titik yang sudah ditentukan dari hasil pengukuran itu, ditancapkan pasak dengan cara dipalu sampai rata dengan tanah.

Sebanyak 34 pasak sudah menancap kuat, lalu bilah bambu dipaku di pasak itu sehingga bilah-bilah bambu tidak mudah lepas. Bambu yang sudah terpasang menjadi batas lapangan badminton. Bilah bambu itu kemudian dilabur dengan kapur bakar yang sudah dilarutkan sehingga menjadi jelas terlihat.

Ada juga yang memasang tiang bambu untuk tiang net dan beberapa tiang lampu “patromak” (petromaks) yang dibutuhkan bila ada pertandingan badminton pada malam hari.

Pada malam berikutnya, lapangan sudah dipakai. Empat lampu patromak sudah menerangi lapangan. Orang yang pertama kali mencoba lapangan baru itu adalah Mang Emud, Mang Amin, dan Mang Jaka. Ketiganya, yang bekerja di Rumah Sakit Pameungpeuk, merupakan penggagas pembuatan lapang yang jago bermain badminton.

Raket-raket dibeli di Kota Garut yang jaraknya 84 kilometer dari kampung kami. Pembelian dilakukan secara kolektif bila ada petugas rumah sakit yang pergi ke Kota Garut. Ketika itu semua bagian raket dibuat dari kayu ringan, baik bulatan tempat senar dipasang, maupun batang dan pegangannya. Hanya senarnya yang terbuat dari kenur, dari tali plastik.

Agar tidak licin ketika telapak tangan mulai berkeringat, pegangan raket dililit dengan kain kasa. Bila sudah bermain, bulatan raket kayu itu digencet, dihimpit dengan alat khusus agar raket tidak malincang, tidak melengkung berlawanan ke kedua sisinya.

Anak-anak pun membuat lapangan badminton sendiri. Ukurannya lebih kecil, pembatasnya berupa garis di tanah. Netnya diciptakan dengan merentangkan tali atau bilah bambu yang dipalangkan setinggi perut. Anak-anak benar-benar demam badminton. Mereka membuat sendiri raket dari kayu ringan. Benar-benar semuanya dari kayu.

Setelah mendapatkan papan kayu sisa, piring seng besar ditelungkupkan di papan, lalu pensil digariskan mengikuti lengkungan piring sampai penuh dan membuat pola untuk pegangannya. Papan itu dipapas dengan golok mengikuti pola tadi.

Koknya bekas pakai. Kok yang sudah gundul, bulunya banyak yang sudah patah. Kalau dipukul dengan raket kayu, kok akan melesat dengan cepat. Timbullah suara yang kuat: tok... tak... tok... tak... tok... tak....

Anak perempuan pun tak mau ketinggalan. Mereka menggunakan piring seng sebagai raketnya. Trong... trang... trong... trang... trong... trang... Nyaring sekali bunyinya!

Pagi, sore, malam, suara tok... tak... tok... tak... trong... trang... trong... trang... tak pernah sepi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//