• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (12): Ngabedahkeun Muara Ci Palebuh

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (12): Ngabedahkeun Muara Ci Palebuh

Ngabedahkeun muara Ci Palebuh itu bermakna ganda: membuang air yang tergenang tempat bersarangnya nyamuk malaria sekaligus sebagai pesta tahunan masyarakat.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Keadaan muara Ci Palebuh pada citra satelit tahun 2021 (1). Aliran Ci Palebuh dengan panah putih menerus sampai di Samudra Hindia. Ketika musim kemarau, muara sungai akan terbendung secara alami (antara garis kuning 2a sampai 2b), sehingga gumuk pasir (2c) akan tersambung dengan (2d). Air yang tergenang akan meluber ke arah barat (3). Citra satelit: (Sumber: Google Maps, diberi keterangan oleh T. Bachtiar)

23 Juni 2021


BandungBergerak.idSubuh itu, angin tenggara terasa dingin. Anak-anak yang tidur lelap di atas tikar pandan di masjid ajengan Idim semakin menggulungkan tubuhnya di dalam sarung seperti trenggiling. Musim kemarau sudah beberapa bulan, kulit betis terasa kasap dan pecah-pecah. Sebelum sekolah, betis diolesi minyak keletik, minyak kelapa buatan Ema agar tidak terlihat kurik. Angin meniupkan debu kering, menempel dibetis berminyak.  

Kemarau panjang. Hujan belum juga turun. Aliran Ci Palebuh semakin mengecil. Ketika akan bermain bola di lapangan Darmabakti, alirannya dapat kami loncati. Ketika aliran Ci Palebuh menjadi sangat kecil, sementara kebanyakan warga di sana membuang hajat di sungai, Ci Palebuh menjadi sangat kotor oleh tinja yang mengambang mengalir pelan.

Aliran Ci Palebuh sudah tidak mungkin dijadikan tempat untuk mandi. Beberapa orang lelaki dewasa menggali dasar sungai di balik batu besar, membentuk cerukan melingkar sebesar nyiru. Sekelilingnya dibentengi dengan batu-batu sebesar kepala setinggi dua jengkal. Batu-batunya banyak berserakan di sana seberapa pun perlunya. Batu-batu yang pipih disusun melampar untuk pijakan saat mandi. Agar tertutup, tidak ada yang bisa melihat ketika ada orang yang sedang mandi, sekelilingnya diberi dinding dari anyaman menyilang daun kelapa yang tidak dilepaskan dari pelepahnya. Batok kelapa yang sudah dibersihkan, disimpan di atas benteng batu. Air yang tergenang jernih sekali. Dasarnya pasir bercampur kerikil dan kerakal, sehingga lumpur halus dapat mengendap di bawahnya.   

Keadaan muara Ci Palebuh tahun 1886. Aliran Ci Palebuh di titik A terbagi dua, ada yang lurus dan ada yang berbelok ke arah barat (B), lalu berbelok kembali ke arah timur (C), berbelok ke selatan (D). Ketika muaranya bugel pada musim kemarau, air melimpas ke (E). Pada tahun 2021, muara sungainya sudah bergeser lebih ke barat (F). (Peta koleksi Leiden University, diberi keterangan oleh T. Bachtiar)
Keadaan muara Ci Palebuh tahun 1886. Aliran Ci Palebuh di titik A terbagi dua, ada yang lurus dan ada yang berbelok ke arah barat (B), lalu berbelok kembali ke arah timur (C), berbelok ke selatan (D). Ketika muaranya bugel pada musim kemarau, air melimpas ke (E). Pada tahun 2021, muara sungainya sudah bergeser lebih ke barat (F). (Peta koleksi Leiden University, diberi keterangan oleh T. Bachtiar)

Tergenang Panjang

Di hilir, di muaranya, aliran yang sangat lemah tak bertenaga ini sudah tak mampu lagi mengalir menembus ombak Samudra Hindia yang perkasa. Air Ci Palebuh menjadi tergenang memanjang. Angin tenggara yang kering dan kencang meniup pasir kering dari arah laut, akhirnya menutup muara sungai. Lama-kelamaan, aliran sungai ke laut menjadi terputus karena muara sungai terbendung pasir. Terbendungnya muara sungai itu oleh kami di Pameungpeuk disebut bugel. Walau arusnya sangat lemah, aliran sungai itu tetap mengalir sehingga air di muara sungai menjadi rawa yang memanjang ke arah barat.

Selama musim kemarau, pada saat muara Ci Palebuh bugel, airnya tergenang beberapa bulan lamanya, menyebabkan muara sungai menjadi rumah bersalin bagi nyamuk malaria. Pada saat koloni nyamuk itu sudah mampu terbang, mereka berkelana jauh mencari mangsa untuk digigit. Kata Bu Ika, guru kami di sekolah, ketika manusia digigit nyamuk malaria, penularan malaria itu sudah dimulai. Setelah itu, kata Bu Ika lagi, selang satu sampai dua minggu, penduduk yang digigit nyamuk malaria akan menderita demam, menggigil, berkeringat, kelelahan, muntah, dan sakit kepala. Dalam kasus yang sudah parah, dapat menyebabkan kulit kuning, kejang, dan koma, bahkan kematian.

Desa Pameungpeuk jaraknya sekitar 3,5 kilometer dari muara Ci Palebuh. Ada beberapa kampung yang sangat dekat dengan muara sungai ini dan muara-muara sungai lainnya, yang berjajar ke arah timur, yang bugel saat kemarau. Bila nyamuk sudah berdengung di rumah-rumah, itu pertanda koloni nyamuk sudah sangat banyak. Warga masyarakat sudah terganggu dengan serangan nyamuk, dan menyadari ini akan menjadi ancaman yang sangat besar bagi kesehatan, seperti kata ibu guru kami. Maka para tokoh desa sepakat untuk ngabedahkeun, membobol bendungan alami di muara sungai itu agar air sungai yang tergenang beberapa bulan segera mengalir kembali ke laut bersama telur dan jentik nyamuk malarianya.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (11): Kemeriahan di Alun-alun Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (10): Menonton Tukang Sulap itu Mengasyikkan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (9): Demam Rudy Hartono dengan Raket Kayu tanpa Senar

Pesta Membobol Bendungan Pasir

Membobol bendungan pasir harus memperhitungkan dengan teliti kapan terjadinya pasang naik dan pasang surut. Puluhan orang secara bergantian mencangkuli pematang pasir itu dari bagian tengah terlebih dahulu, sambil menunggu air laut surut untuk segera dijebolkan. Mang Sahman, saudara keluarga kami, terkenal karena kemampuan dan kekuatan tenaganya yang melebihi kekuatan penduduk lainnya. Ia yang mengatur teman-temannya bagaimana cara membobol bendungan alami itu dengan cepat.

Ngabedahkeun muara Ci Palebuh itu bermakna ganda: membuang air yang tergenang tempat bersarangnya nyamuk malaria sekaligus sebagai pesta tahunan masyarakat yang menggembirakan. Seluruh warga desa dapat menangkap ikan dan udang sebanyak yang mereka bisa.

Kabar bila akan dilaksanakan ngabedahkeun muara itu begitu cepat menyebar. Besok warga akan membobol gumuk pasir yang selama empat bulan sudah menutup muara sungai sehingga aliran sungai tidak lepas ke laut, ke Samudra Hindia. Bukan hanya orang dewasa yang secara sungguh-sungguh mempersiapkan peralatan untuk menangkap ikan di muara Ci Palebuh, Pameungpeuk, Kabupaten Garut, tapi juga anak-anak.

Orang dewasa membawa kecrik, jala, yang dilemparkan membentuk lingkaran, merungkup ikan yang sedang berada di sana. Hasilnya tidak pernah mengecewakan. Ikan mujair ada yang besarnya dua kali telapak tangan anak-anak. Ada juga yang menggunakan sair, sementara Anak-anak menggunakan ayakan dari anyaman bambu yang cekung. Udang, gabus, semua berukuran besar-besar. Mang Sahman tak memakai alat ketika menangkap ikan. Dengan tangan kosong, ia dapat menangkap ikan yang berukuran besar, bahkan dapat menangkap anak buaya.

Peristiwa alam bugel-nya muara Ci Palebuh terus berulang setiap tahun ketika aliran sungai itu melemah arusnya. Demikian juga serangan nyamuk malaria terus berulang. Pada tahun 1960-an akhir, ada program Pemerintah melalui Dinas Kesehatan Rakyat, namanya gerakan KOPEM, KOmando PEmberantasan Malaria. Di Pameungpeuk pun gerakan itu ada, ditandai dengan hilir-mudiknya satu Jeep Willys operasional warna putih bertuliskan KOPEM.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//