• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (11): Kemeriahan di Alun-alun Pameungpeuk

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (11): Kemeriahan di Alun-alun Pameungpeuk

Pada malam hari, Alun-alun Pameungpeuk berubah menjadi tempat pertunjukan wayang golek, orkes melayu pimpinan RS Hidayat, atau sandiwara dengan tema kepahlawanan.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Situasi Alun-alun Pameungpeuk, Garut, tahun 1965-1970. Alun-alun menjadi pusat beragam kemeriahan, mulai dari tempat berolah raga, pentas wayang dan sandiwara, tablig akbar, serta pemutaran film. (Peta: T. Bachtiar)

16 Juni 2021


BandungBergerak.idAlun-alun Pameungpeuk itu terasa sangat luas bagi kami, anak-anak kelas 4 SD. Menendang bola dari sisi utara, tak pernah sampai ke sisi selatan. Untuk mencapai setengah alun-alun saja, kami harus menendang bola dengan keras sekali. Dan seringnya bola itu masih saja tidak sampai.

Di seberang alun-alun sebelah barat ada kaum, atau masjid yang paling besar. Di sebelah timurnya (berurutan dari utara ke selatan), ada Kantor Pos dan Giro, di tengah ada kantor Polisi dan Bui, dan paling selatan ada Kantor Telepon dan Telegraf. Di seberang selatan ada Pendopo dan kantor Kawadanaan. Di sebelah timur Kawadanaan ada rumah sakit, dan dipisahkan oleh sungai, ada pasar serta pertokoan.

Di sebelah utara Alun-alun Pameungpeuk ada restoran Bu Hj Uta. Di sini pun ada penginapan. Di sebelah timurnya ada restoran milik orang tuanya Ojo, teman sekelas di SDN Pameungpeuk IV, yang hanya beberapa puluh langkah dari alun-alun. Ruangan tempat makannya besar sekali. Banyak kursi dan meja panjang yang terbuat dari kayu. Begitu juga dapurnya, memanjang ke belakang. Wajannya besar-besar berjajar di beberapa tungku, dan ada tumpukan kayu bakar di bawah dinding.

Kalau di Pameungpeuk sedang ada latihan PGT (Pasukan Gerak Tjepat), restoran ini ramai sekali, dijadikan tempat makan para pelatih ketika mereka merasa bosan dengan jatah makanan. Juga ketika ada tamu-tamu yang berniaga di sini. Kelebihan restoran Hj Uta adalah selalu menyediakan masakan dari daging. Katanya dagingnya dipesan langsung dari Cikajang, menitip beli kepada kondektur bus yang sering mangkal tak jauh dari rumah makan ini. Ema kadang membeli empal daging sapi.

Alun-alun Pameungpeuk ditumbuhi rumput yang tidak terpelihara dengan baik. Di sisi alun-alunnya ada pohon asam yang sangat besar, lebih besar dari badan kerbau yang dikebiri. Di sisi barat ada satu pohon asam, di sisi utara ada dua pohon, dan timur ada satu pohon. Walau pun pohon asam ini sangat besar, tapi di batang pohonnya banyak tonjolan yang dapat dijadikan pijakan dan pegangan. Nono, teman sekelas kami yang paling jago memanjat pohon asam, sampai ke dahan yang terkecil sekali pun. Dia dapat dengan mudah memetik buah asem yang belum matang sehingga dapat dikunyah dengan bijinya yang sedikit pahit.

Kadang, setelah olah raga di alun-alun, teman perempuan Nono juga menginginkan buah asam. Mereka ikut menangkapi buah asam yang dilemparkan dari ketinggian. Kadang ranting yang banyak buah asamnya digoyang-goyangkan dengan keras sampai buahnya berjatuhan.

Yang paling menyenangkan, kalau di genggaman sudah banyak buah asam, ketika Imas dari bawah berteriak-teriak meminta agar buah asam itu diarahkan kepadanya. Agar semua buah asam dapat ditangkap, tidak ada yang jatuh ke tanah, seringkali dia menadahkan roknya dengan lebar. 

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (10): Menonton Tukang Sulap itu Mengasyikkan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (9): Demam Rudy Hartono dengan Raket Kayu tanpa Senar
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (8): Nyaba ke Bandung: Bemo, Es Krim, dan Sepatu Bata

Dari Main Kasti ke Tablig Akbar

Dari sekolah, kami dibariskan menuju alun-alun untuk bermain kasti. Anak-anak sebenarnya kurang senang bermain kasti bila bola yang dipakai berwana merah. Bola itu cukup berat, dibuat dari bahan karet berwarna merah, di dalamnya diisi ijuk. Bila sedang berlari setelah memukul bola, dan bola dapat ditangkap oleh lawah, lalu dilemparkan dengan keras ke arah punggung, bila sasarannya tepat, punggung akan melenting kesakitan terkena lemparan.

Kami pun pernah diajari permainan bolabakar, bukan bermain bola dari buah kelapa tua yang dibakar, tapi bermain mirip dengan kasti. Kalau dalam permainan kasti bola diarahkan kepada pemukul bola yang sedang berlari, dalam bolabakar bolanya dilemparkan ke kawan yang posisinya di dekat tempat memukul bola. Tugasnya menangkap bola dan segera membantingkannya dengan keras ke kotak putih. Namun agar terdengar oleh semua orang, di sekolah kami kotak putih diganti dengan jeriken kaleng yang akan menimbulkan suara keras. Breeeng!

Pada malam hari, Alun-alun Pameungpeuk berubah menjadi tempat pertunjukan wayang golek, orkes melayu pimpinan RS Hidayat, atau sandiwara dengan tema kepahlawanan. Bertambah seru, karena sering ada adegan tentara yang meluncur memakai tambang dari pohon asam. Lalu ada tentara yang gugur, istrinya bersimpuh di dekat air terjun. Lampu petromaks yang berada dalam silinder yang dibuat dari kertas-wajit warna-warni yang diputar, menimbulkan efek warna yang menguatkan situasi di panggung. Terdengar lagu Kembang Tanjung Panineungan. Penonton menangis haru.

Pada malam-malam berikutnya, biasanya setelah isya, alun-alun dipenuhi oleh penduduk yang ingin mendengarkan tablig akbar dari KH Anwar Musadad. Di halaman depan masjid dibangun panggung, lalu dipasangi kursi. Penduduk yang mendengarkan duduk di alun-alun. Kehadiran KH Anwar Musadad paling banyak dinantikan penduduk.

Pemutaran Film

Di Alun-alun Pameungpeuk juga sering diadakan pemutaran film, kadang dikarcis, sering juga gratis. Perusahaan Jamu Jago dengan beberapa orang yang bertumbuh pendek paling sering memutar film di alun-alun. Penontonnya datang dari berbagai kampung, sealun-alun penuh sesak. Apalagi kalau filmnya bertema perang atau film koboi. Dua jenis cerita film yang paling digemari pada saat itu.

Film gratis lain umumnya tentang penerangan pertanian atau kesehatan, biasanya dari dinas-dinas di pemerintah daerah (pemda). Celaka bagi penyelenggara, kalau sudah malam, filmnya tidak kunjung diputar, karena filmnya putus atau ada yang rusak. Atau filmnya hanya bercerita tentang cara bertani padi di daerah rawa yang kedalaman airnya selutut. Orang Pameungpeuk tak memerlukan informasi itu karena di sana tidak ada rawa yang akan ditanami padi. Kalau filmnya seperti ini, tiang layar dari bambu itu pasti langsung roboh, dan penontonnya dengan seketika membubarkan diri sambil berteriak-teriak.

Ada juga pemutaran film yang dipungut bayaran. Penonton harus membeli karcis. Walau harus bayar, alun-alun bisa penuh oleh penonton. Sekeliling alun-alun dipagari dengan gedég, anyaman bambu yang tingginya sekitar dua meter yang dipinjam dari penduduk.

Bagi anak-anak yang tak punya uang untuk membeli karcis, selalu ada jalan untuk ikut menonton dengan gratis. Pertama, datang lebih awal, lalu bersembunyi di tempat-tempat yang tidak mungkin terkontrol oleh petugas. Atau, tunggu sampai film itu sedikit diputar, dan petugas mulai lalai, lalu gerombolan anak-anak diam-diam membuka tali bambu yang mengikat antara gedég yang satu dengan gedég yang lain. Bila aman, segera menyelusup ke kerumunan penonton. Kalau bernasib sial, mereka akan digiring lagi ke luar. Kalau sudah begitu, anak-anak akan pergi ke balik layar di luar pagar gedég, menonton dengan gambar terbalik. Yang penting jagoannya menang dalam pertempuran.

Pernah juga ada film gratis. Penontonnya sealun-alun penuh berjejal, bahkan meluber sampai ke jalan. Cerita filmnya tentang perang melalui penyebaran kuman penyakit. Salah satunya dengan cara menyebarkan kuman yang menyebabkan gatal-gatal. Dalam film itu seluruh kota menjadi menderita gatal-gatal, rakyatnya menjadi budug, kudis bernanah. Beres film, penonton segera pulang.

Anehnya, keesokan harinya, anak-anak sekampung merasakan gatal-gatal. Di sela-sela jari tangan terasa gatal sekali. Selang dua hari, sekitar jari-jari tangan benar-benar keluar bintik-bintik merah. Besok lusanya, bintik-bintik merah semakin membesar sampai seukuran ketumbar. Teman-teman sekelas juga menderita hal yang sama, tetangga juga sama: budug massal sekampung. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//