Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (14): Long March Tentara Maung
Bila ada yang bercerita apa saja yang berhubungan dengan maung, anak-anak selalu sepenuh hati mendengarkannya.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
8 Juli 2021
BandungBergerak.id - Anak-anak berteriak-teriak sambil berlari: “Hujan poyan nyiwit ceuli saeutik!” Kuku telunjuk dan kuku ibu jari dicubitkan sedikit saja ke ujung bawah daun telinga. Hujan deras pada sore hari antara pukul 14.00-15.00, mengecil menjadi gerimis dan pada saat bersamaan matahari bersinar terang. Keadaan itulah yang oleh anak-anak disebut hujan poyan. Dan, entah siapa yang memulai serta untuk maksud apa, mereka harus mencubit daun telinga sedikit saja.
Dalam keadaan hujan puyan itu, banyak orang dewasa yang sedang ada di rumah, akan segera ke luar, atau sekadar mengobrol di pinggir jalan atau pos ronda di dekat Batu Pameungpeuk. Dari sana, orang dapat dengan lurus melihat ke utara, ke Gunung Nagara.
Maung Bodas
Sehabis hujan, dan matahari bersinar terang, itulah saat maung bodas, harimau putih akan moyan, berdiang di hangatnya matahari sore, di mulut gua di Gunung Nagara. Begitu cerita orang-orang dewasa, yang ditimpali oleh yang lainnya, sehingga kerumunan itu menjadi meriah.
Semua yang diobrolkan orang-orang dewasa itu terasa sangat nyata bagi anak-anak. Banyak anak-anak yang ikut-ikutan memicingkan mata ke arah Gunung Nagara. Penasaran ingin meyakinkan apakah di sana ada maung bodas yang sedang moyan? Seolah kami akan melihatnya dengan jelas. Namun, tak ada seorang pun yang dapat melihatnya.
Saat itu sebenarnya kami sudah tahu betul, antara kampung kami dengan Desa Bojong jauhnya 6 kilometer. Jika jarak dari desa terluar ke puncak Gunung Nagara 2 kilometer, gunung itu jauhnya 8 kilometer dari kampung kami. Dari jarak sejauh itu, pastilah kami tidak akan dapat melihat maung bodas paling besar sekali pun. Belum lagi mulut guanya yang masih terhalang oleh rimbunnya pepohonan yang pada tahun 1965-1970.
Ketika ada orang dewasa yang bercerita tentang maung bodas di Gunung Nagara, semua orang dewasa lain di sana mengiyakannya. Tak ada yang membantah. Tak ada yang meragukan. Anak-anak pun penasaran, ingin mengetahui lebih banyak tentang maung bodas. Tak ada seorang anak pun yang berani bicara dan membuat gaduh.
Kecuali seorang teman yang setiap hari selalu beringus. Ia membiarkan ingusnya turun perlahan nyaris mengenai bibirnya. Dengan sekali tarikan, ingusnya masuk lagi ke dalam lubang hidungnya. Terus begitu berulang, dengan bau anyir yang menyebar. Suara tarikan ingus ke dalam hidungnya terdengar berirama, meninggalkan bekas seperti angka 11 yang memerah. Srok! … srok! … srok!
Ketika semua anak memalingkan muka ke arahnya, anak itu merasakan bahwa ingus hijaunya yang turun-naik itu telah mengganggu perhatian teman-temannya. Ia segera menyusutkan ingus ke lengan bajunya. Ingusnya lengket memanjang seperti lem karet, melebar di lengan baju mengikuti tarikan tangan. Ingusnya tak putus, terus ia tarik sampai ke arah pergelangan tangannya.
Obrolah sore itu semakin menarik, kadang diselingi dengan gelak tawa yang hangat dan meriah. Bagi anak-anak, cerita tentang maung terasa nyata, dan tersimpan dalam pikirannya.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (13): Samen, Kemeriahan Pesta Kenaikan Kelas
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (12): Ngabedahkeun Muara Ci Palebuh
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (11): Kemeriahan di Alun-alun Pameungpeuk
Tentara Maung
Pada suatu subuh, antara pukul 03.00 - 04.00, kampung kami gempar oleh cerita yang disebarkan rombongan ibu-ibu dari Bojong yang pergi ke pasar. Mereka kawénéhan, secara kebetulan melihat hal yang langka atau tak pernah dilihat oleh semua warga: rombongan tentara berwajah maung. Lokasinya 100 meter setelah melewati Batu Pameungpeuk. Persis di belokan jalan ke arah selatan menuju alun-alun, yang bersebelahan dengan irigasi dan Ci Palebuh. Hanya 75 meter lagi ke alun-alun dan 200 meter menuju pasar.
Cerita itu kemudian diceritakan lagi dan lagi. Orang-orang yang kawéneéhan sudah pergi sejak dagangannya yang berupa hasil bumi laku terjual. Mereka melanjutkan bekerja sebagai buruh tani di sawah. Cerita itu tak akan putus dalam waktu singkat. Ketika anak-anak pulang mengaji di masjid, mereka segera bergerombol bercerita tentang tentara berwajah maung.
Tak terdengar dalam obrolan orang-orang dewasa dari mana dan akan ke mana pasukan tentara maung itu melakukan perjalanan jauh. Katanya mereka sedang long march. Obrolah anak-anak itu semakin seru, tempatnya berpindah berkali-kali.
Dari pos ronda dekat rumah Mok Maah, kami beralih dengan menyebrang irigasi ke jarian, tempat pembuangan sampah di atas tebing Leuwi Kuning sambil membuat jagung beletuk, biji jagung ditaburkan di abu panas lalu diaduk-aduk dengan ranting. Bila jagung sudah matang, akan berbunyi tak-tik-tuk. Jagung yang mekar seperti bunga putih bermunculan dari dalam abu panas. Camilan yang tak akan terasa cukup.
Dari dekat pembuangan sampah itu, obrolan tentang long march tentara maung dilanjutkan berloncatan dari tebing tegak ke Leuwi Kuning di aliran Ci Palebuh.
Menarik dan Menegangkan
Keesokan harinya, cerita tentang tentara maung masih berlanjut. Selalu ada cerita yang membuka rasa penasaran baru. Katanya perjalanan mereka itu melewati Gunung Nagara dan sedang dalam perjalanan menuju Leuweung Sancang, 17-20 kilometer dari kampung kami.
Leuweung Sancang itu tempat yang sering disebut oleh orang-orang dewasa, sehingga nama tempat itu sudah sangat akrab dengan kami. Katanya, di sana tempat bersemayamnya maung kajajaden, harimau jadi-jadian. Kehidupan di sana seperti layaknya manusia. Ada yang menjala juga. Tempat menggantungkan jalanya setinggi pohon yang paling tinggi di sana. Itu menandakan betapa tingginya pemilik jala tersebut.
Abah dan Apa sering lintar, menjala ikan di derasnya air dan ombak di Leuweung Sancang. Bisa dua malam di sana, pulang membawa ikan asap yang sudah kering.
Cerita tentang maung memang selalu menarik dan sedikit menegangkan bagi anak-anak. Bila ada yang bercerita apa saja yang berhubungan dengan maung, anak-anak selalu sepenuh hati mendengarkannya. Di Leuweung Sancang itu ada pohon kaboa. Pohon yang sangat terhubung langsung dengan maung. Yang memancing atau menjala di sana, sangat menghormati apa yang ditabukan.
Menurut cerita di pos ronda depan di rumah Mok Maah, pohon kaboa itu dijaga oleh maung Sancang. Kalau sudah ada cerita maung, anak-anak terdiam. Bila ada orang yang memaksa memotong dan membawa pulang potongan batang kaboa ke rumahnya, maung Sancang akan datang pada tengah malam, lalu mencakar-cakar bilik, dinding rumah dari anyaman bambu.
Bila serutan-serutan kayu kaboa dari batang itu dijadikan benda kesayangan atau tongkat kebanggan, maung akan selalu datang menggeram dan mencakar-cakar dinding. Apalagi bila serutan kayu itu dibakar.
Cerita tentang maung selalu menggantung. Selalu tak berujung.