• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (15): Perintis Usaha Makanan di Pameungpeuk

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (15): Perintis Usaha Makanan di Pameungpeuk

Dua bungkus tahu yang sedang saya putarkan meliuk-liuk di atas kepala itu melayang jatuh. Semuanya tumpah berantakan!

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Lokasi usaha makanan di Pameungpeuk, Garut, pada kisaran 1965-1970. Beberapa jenis makanan baru yang sebelumnya pernah dicicipi warga, seperti mi bakso, dibuka untuk pertama kalinya. (Peta: T Bachtiar)

14 Juli 2021


BandungBergerak.idDari rumah, jaraknya paling jauh juga hanya 100 meter, atau hanya 35 meter dari alunalun ke arah utara. Lokasinya di jajaran sebelah barat jalan, di sana ada yang berjualan soto. Mang Uri namanya. Ia berjualan soto daging sapi berlemak tebal, dengan taburan goreng kacang kedelai.

Terkadang Ema membeli soto, tapi sangat jarang. Setahun sekali pun saya tidak yakin. Karena untuk keperluan makan sehari-hari, semua dibuat di rumah. Yang dibeli hanya bahan masakan yang tidak bisa dibuat di rumah, seperti garam, gula merah, gula putih, terasi, dan ikan asin. Selain itu semuanya dibuat atau diambil dari sawah, kebun, kolam, dan laut, atau membuatnya sendiri seperti minyak kelapa.

Sekali waktu, Ema menyuruh saya membeli soto. Saya dengan sigap menjinjing rantang berpenutup. Sudah terbayang akan makan dengan soto yang wangi daging. Begitu sampai warung, langsung menyodorkan rantang sambil menyebutkan jumlah uangnya.

Begitu tutup panci besar dibuka, uap putih menebarkan wangi ke mana-mana. Di dalam panci terlihat banyak potongan daging berlemak putih yang mengambang. Setelah menaburkan kacang kedelai, rantang ditutup kembali. Sekilat rantang sudah berpindah tangan.

Saya segera pulang. Nasi soto terus terbayang. Soto serantang dibagi-bagi. Kuahnya banyak, dagingnya entah berapa kerat per orang. Tak begitu penting itu, karena rasa dan aroma daging dari kuah soto yang diguyurkan ke nasi yang menggunung, sudah lebih dari cukup. Enak sekali rasanya. Ditambah kerupuk putih yang dibeli dari Mak Uka, makan semakin segut, semakin bersemangat dan ponyo.

Saat membagi-bagi kuah soto, Ema dikagetkan dengan lembaran uang yang masih ada di dasar rantang. Uang kertas itu segera dibersihkan, lalu dilap agar cepat kering. Setelah makan, saya kembali ke penjual soto untuk menyerahkan uang beraroma soto, dengan permintaan maaf.

Pabrik Tahu

Selang beberapa bulan, di kampung kami ada pabrik tahu yang baru dibuka. Banyak orang yang tertarik untuk merasakan tahu putih. Katanya, itu milik Mang Rodi. Lokasi pabriknya di seberang kolam perikanan, di sebelah kiri jalan kalau dari arah Alun-alun Pameungpeuk, sebelum Nangoh, astana, pekuburan bertanah merah.

Ema juga sepertinya penasaran. Selama ini hanya ada oncom berwarna putih yang dijual di pasar dan di warung. Oleh Ema, oncom bisa dibuat beragam masakan. Setelah dipanggang, oncom bisa dibuat sambal, menjadi sambal oncom. Bisa juga dikerat dadu seruas jari, ditambah kecombrang, cabai hijau, disatukan dengan irisan labu siam dan sayuran lainnya menjadi angeun, sayur lodeh bersantan kental. Atau dibuat gorengan oncom berbalut tepung.

Dari pintu depan, terlihat gilingan kacang kedelai dari batu seukuran ember besar yang berpasangan atas-bawah. Di atasnya ada lubang untuk memasukkan kedelai, dan sedikit ke pinggir, dipasang kayu selinder untuk memutarkan penggilingan.

Cukup lama saya berdiri di dekat pintu pabrik tahu itu, melihat bagaimana kacang kedelai diproses. Air berwarna putih kental mengalir dari penggilingan, yang ditampung dengan ember-ember besar dari kayu yang diikat sekelilingnya dengan pelat besi. Di pinggir belakang ruangan terlihat ada beberapa tungku kayu bakar yang menyala, dengan air yang mendidih di dalam wadah besar.

Dari rumah, jarak ke pabrik tahu itu hanya 350 meter. Saya berjalan bergegas melalui piggir irigasi, lalu memotong jalan ke pinggiran kolam milik mantri kesehatan, Pak Mulyadi, yang pematang kolamnya ditembok. Dari sana menerobos melewati kolam dan rumah-rumah, masjid, menuju jalan aspal. Hanya jalan raya antara Garut – Pameungpeuk – Cikelet itu yang beraspal, jalan lainnya masih berupa batu dan pasir yang dipadatkan, diratakan. Dari sana saya berbelok ke arah barat, berjalan hanya 50 meter.

Pulangnya pun saya mengikuti jalan itu, karena itulah jarak yang paling pendek menuju rumah. Sudah terbayang, saya ingin segera merasakan goreng tahu. Kini, dua bungkus tahu sudah ada di genggaman tangan.

Sambil membayangkan makan tahu, saya masih teringat pertunjukan tadi malam. Di alun-alun, ada pertunjukan kesenian dari para mahasiswa Malaysia yang sedang muhibah kesenian di Pameungpeuk. Tahu yang dibungkus daun pisang itu saya putarkan di atas kepala menirukan penari piring dari Malaysia. Bungkusan tahu di kedua tangan itu diputar meliuk terbalik bergaya penari, dengan badan yang sedikit dimiringkan. Satu dua kali putaran berhasil dengan baik. Semakin yakin, menari piring itu tidak sesulit yang dibayangkan tadi malam.

Namun, pada putaran keempat, celaka bagi saya! Dua bungkus tahu yang sedang saya putarkan meliuk-liuk di atas kepala itu melayang jatuh. Semuanya tumpah berantakan!

Saya punguti tahu yang hancur penuh tanah itu. Saya bungkus kembali dengan daun yang sudah robek, lalu bergegas pulang dengan perasaan bersalah. Kali ini tak ada lagi terkenang akan tari piring. Hanya ingin segera sampai di rumah. Makan tahu goreng dengan nasi pulen yang dicocol kecap Majalengka hanya ada dalam bayangan.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (14): Long March Tentara Maung
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (13): Samen, Kemeriahan Pesta Kenaikan Kelas
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (12): Ngabedahkeun Muara Ci Palebuh

Mi Bakso 

Ketika bermain di Alun-alun Pameungpeuk, kami melihat ada kios yang sedang dibangun. Katanya untuk berjualan emih, sebutan kami untuk menyebut mi.

Mang Kahmid merintis usaha di kota kecamatan yang pada saat itu belum ada penjual mi bakso. Di sisi alun-alun sebelah timur, di bawah pohon asam yang tak begitu rindang, ia membangun kios dari bambu berukuran 3x4 meter berdinding bilik, anyaman dari bambu halus.

Di dalam bangunan itu ada meja dan bangku panjang. Di tengah meja berjajar botol warna hijau berisi kecap, saus warna merah, dan cabai giling. Di depan kiosnya ada gerobak dari kayu yang di satu sisinya memakai kaca, sehingga gulungan emih berwarna kuning menyala terlihat licin di samping deretan botol.

Kabar adanya yang berjualan emih di alun-alun dengan cepat tersebar. Anak-anak pun membicarakannya, padahal tak seorang pun yang pernah makan emih di sana.

Kami menceritakan apa yang diceritakan orang lain. Katanya ada beberapa orang yang akan pulang ke kampungnya sehabis bekerja di sawah. Mereka membeli emih terlebih dahulu, yang mi baksonya disajikan dalam mangkok, lengkap dengan sendok dan garpu. Ini pengalaman baru baginya makan dengan sendok-garpu.

Emih yang licin itu tak mau diam di dalam sendok. Lepas lagi dan lepas lagi. Akhirnya jari ikut berperan, menjepit emih yang panjang, lalu dimakan. Cerita yang sudah diceritakan berkali-kali itu selalu membuat kami terbahak-bahak.

Pada umumnya warga di kampung kami belum pernah merasakan jenis makanan ini. Berdatanganlah mereka ke kios emih. Emih dengan saus rasa masam, yang dibuat dari kanji singkong yang digodok, lalu diberi tambahan ontan warna merah dan rasa. Emih-nya kenyal dan licin karena diolesi minyak kelapa agar tidak lengket saling menempel.

Bagi yang belum terbiasa, makan emih memakai sendok dan garpu memerlukan perjuangan. Bisa dimaklumi, pada saat makan sehari-hari pun, kami tidak pernah memakai sendok-garpu, kecuali saat makan yang berkuah, seperti angeun kacang merah dan angeun, sayur lodeh. Itu pun seringnya memakai sendok yang dibuat sendiri dari daun pisang selebar tiga jari, yang sedikit dicekungkan dengan cara dijepit dengan jari.

Beres makan emih, masih ada bulatan-bulatan bakso. Hati-hati membelah bakso di mangkok dengan sendok. Bakso yang kenyal itu bisa meloncat jatuh ke tanah. Lebih aman dimakan satu bulatan sekaligus, dipecah-pecahnya di dalam mulut dengan cara digigit, sampai rongga mulut kepenuhan.

Saya pernah disuruh Ema membeli emih, tapi dibawa ke rumah untuk dimakan bersama-sama. Pasti Ema meminta kami agar makannya ditambahkan nasi. Emihna disanguan, agar kenyang.

Melihat lakunya warung mi baso Mang Kahmid, Mang Uri pun, yang semula berjualan soto, mengikuti jejaknya, menjadi berjualan soto dan mi bakso. Lokasinya pindah ke seberang pintu pasar, sebelah timur alun-alun, di bawah naungan cemara laut, agar lebih dekat dengan pembelinya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//