BUKU BANDUNG (31): Abah Indra Thohir, Legenda Sepak Bola ASEAN asal Kota Kembang
Buku "Ngadu Bako Cerita Bah Thohir" mengisahkan peran Indra Tohir yang mengantarkan Persib juara perserikatan dan liga Indonesia secara beruntun.
Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha30 Januari 2022
BandungBergerak.id - Sepakbola, acap kali menghadirkan emosi, gelora, dan segala hal yang melekat pada manusia. Di dalamnya termasuk memberikan rasa kegembiraan, kebersamaan, atau malah kemuraman. Ada kalanya sepak bola memicu kerusuhan.
Sulit untuk dipungkiri memang, tak jarang sepak bola menimbulkan rasa untuk menunjukkan bahwa kelompok yang satu lebih hebat dari kelompok lainnya. Hal ini semakin rumit tatkala dihadapkan pada kenyataan sepak bola kiwari yang sulit pula untuk dimasukkan dalam satu cangkang pemaknaan. Pasalnya di pengujung 2000-an, lahir regulasi yang mewajibkan klub sepak bola agar pengelolaannya dialandasi nalar dan tindakan yang bersifat usaha. Artinya, seluruh potensi yang ada dalam klub dikerahkan untuk satu tujuan: mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian, setidaknya bagi saya, terpaksa jadi kudu merumuskan ulang keyakinan beserta seperangkat konsepsi yang telah lama terpatri dalam diri: mencintai sepakbola sampai mati.
Beberapa klub eks perserikatan diharuskan secara resmi melakukan transformasi. Yang awalnya bersifat kedaerahan menjadi entitas jualan. Sebagaimana galatama yang sedari awal tercerabut dari lingkungan asalnya, atau bisa dikata hanya menjadikan serupa pasar. Dan sebagai klub sepak bola kesayangan warga Jabar yang juga eks perserikatan, Persib Bandung diharuskan pula mengikuti aturan demikian.
Tentu saja tanggapannya beragam. Sependek amatan saya, paling tidak setelah melihat fenomena sekitar yang juga gila sepak bola: ada yang kadar cintanya perlahan pudar lalu memilih "hijrah". Ada yang menggeser pemaknaan tentangnya —yang asalnya militan dalam mengekspresikan dukungan— menjadi sekadar penghiburan. Ada pula yang memupuk perasaan cintanya lebih mendalam. Dan sebetulnya sah-sah saja, tidak ada yang keliru dengan ketiganya.
Namun, di luar itu semua, ekspresi kegemaran terhadap sepak bola kiwari masih menyediakan satu kompensasi: membaca buku tentangnya. Dan buku Ngadu Bako Cerita Bah Thohir kiranya dapat melengkapi bahan bacaan ihwal sepak bola lokal yang, di era digital seperti sekarang ini, kian bermunculan.
Buku ini dimulai dengan kisah masa kecil Indra Thohir, yang dicatat berasal dari Bandung Selatan. Beliau lahir di Cigereleng, Regol. Daerah sekitaran Mohammad Toha saat ini. Barangkali yang luput disadari, sebagaimana tercatat dalam buku ini, fakta bahwa Indra Thohir dan Persib hanya terpaut 7 tahun (jika merujuk pada temuan mutakhir Kang Atep Kurnia. Atau 8 tahun jika masih keukeuh meyakini data lama perihal tahun kelahiran Persib Bandung). Beliau dilahirkan Juli 1941.
Kemudian, pembahasan awal buku ini diberi konteks sosial-politik yang mengondisikan laju perkembangan Indra Thohir. Salah satunya, kaitannya dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Lalu atas nama kecintaan terhadap olahraga, beliau melanjutkan studi ke sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) yang berada di jalan Bali, Bandung. Tahun 1962, Indra Thohir nyaris masuk skuad utama Persib untuk kompetisi perserikatan 1964, bahkan sudah sampai ke seleksi tahap akhir. Hanya saja, Indra Thohir saat itu lebih memilih untuk melanjutkan kuliah ke Akademi Pendidikan Djasmani (APD), yang kelak bertransformasi menjadi STO lalu menjadi Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FPOK IKIP) Bandung. Suatu jalan terang yang kelak membawanya menjadi salah satu legenda sepak bola kota kembang.
Di APD, Indra Thohir tidak hanya menggeluti sepakbola saja. Nyaris semua cabang olahraga disentuhnya. Seturut penjelasan dalam buku ini, memang sudah dasarnya cinta akan olahraga yang membuatnya demikian. Bahkan, pernah suatu ketika Indra Thohir bilang walau umurnya sudah 50 tahun, tapi dia ingin mencoba terjun payung. Hobinya ini pula barangkali yang membuat Indra Thohir tetap bugar walau usia sudah semakin bertambah. Sebelumnya Indra Thohir malah sempat menekuni bulu tangkis, lalu jadi juara atletik pada kejuaraan 4x400 meter, hingga mendapat tawaran untuk ikut TC timnas atletik. Namun salah satu pencapaian terbaiknya ada di cabor softball/baseball. Saat itu Indra Thohir menjadi anggota timnas softball/baseball di kejuaraan Ganefo tahun 1963, melawan Kuba (Harijono, Kompas 14 Oktober, 1995; stdsiliwangi: hlm. 27).
Beberapa tahun ke depan, ia diangkat menjadi dosen, dan setelah memiliki sertifikat kepelatihan, kemudian tercatat mengawali kariernya di wilayah sepak bola. Tim pertama yang dibesutnya kala itu adalah PS IKIP yang terdaftar sebagai salah satu anggota klub intern Persib. Atas permintaan rektor IKIP kala itu, Indra Thohir menjadi pelatih kepala pada tahun 1982. Kemudian meracik PS IKIP hingga memperoleh kemajuan yang signifikan.
Pembahasan bab selanjutnya melaju pada kiprah Indra Thohir saat menangani PS IKIP. Tim ini berangkat dari Divisi Terbawah, lalu berhasil merangkat ke Divisi Utama kompetisi Intern Persib dalam kurun waktu dua tahun. Sebuah pencapaian yang kemudian membuat pengelola Persib menghubunginya; Solihin GP kala itu memintanya untuk membantu Persib.
“Beliau meminta mertua untuk membujuk saya agar mau bergabung dengan Persib,” ucap Indra Tohir, dalam satu wawancara. Dimulailah kisah legendarisnya sebagai pelatih fisik Persib. Hasilnya, adalah kenyataan dibalik slogan yang dikenal dengan Nista, Maja, Utama: Juara Kompetisi Perserikatan 1986.
Ada satu bagian unik dalam buku ini. Dikisahkan bahwa proses pengangkatan Indra Thohir menjadi pelatih, dilatari kisah antik. Konteksnya saat itu sepulang dari melatih fisik Timnas U-16 Kualifikasi Kejuaraan Asia 1991. Kemudian ditawari Wali Kota Ateng Wahyudi untuk melatih Persib. Hanya saja, Indra Thohir memiliki syarat untuk itu. Dirinya hanya mau melatih Persib jika diperbolehkan menggunakan formasi 3-5-2. Padahal saat itu yang sedang popular adalah 4-3-3.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (28): Terusir, Kisah Orang-orang Tergusur di Kota Bandung
BUKU BANDUNG (29): Melihat Muramnya Kota Kembang Era 80-an dari Kacamata Martin Van Bruinessen
BUKU BANDUNG (30): Bandung di Masa Bergolak
Jawara Ligina 1994-1995
Sebagaimana dikisahkan di dalam buku, bahwa Indra Thohir adalah satu-satunya pelatih kepala Persib yang bisa menyumbangkan 2 gelar juara nasional. Yang lebih membuat kagum, gelar tersebut diraih dalam 2 musim kompetisi beruntun.
Terdapat pula bagian di buku ini yang secara kronologis mengupas serangkaian persiapan awal Tim Persib saat meraih gelar berturut-turut tersebut. Salah satunya adalah program latihan yang diberikan Indra Thohir, walau kerap dikeluhkan para pemain karena terlampau berat, tapi berhasil terbayarkan. Itulah yang menjadi kunci kesuksesan Persib di musim 1993-1994 —selain doa warga Bandung tentu saja. Persib saat itu tampil konsisten bermain selama 90 menit dengan kondisi bugar. Keunggulan kondisi fisik membuat Persib dapat menjalani jadwal kompetisi yang padat, diakhiri torehan gelar.
Kemudian di musim selanjutnya —1994/1995, disebutkan bahwa Persib mempertahankan Indra Thohir yang setahun sebelumnya telah memberi gelar juara. Untuk menemani Indra Thohir di bench, pencetak gol tunggal di final perserikatan 1986, Djajang Nurjaman, ditunjuk jadi asisten pelatih.
Dari deretan pemain, komposisi 100 persen lokal dipertahankan. Padahal, regulasi Liga Indonesia saat itu memperbolehkan klub peserta menggunakan jasa para pemain luar. Barangkali karena alasan finansial, klub eks perserikatan banyak yang memilih mengandalkan pemain lokal. Persib sendiri masih mengandalkan duet kakak-beradik El-Capitano Robby Darwis-Roy Darwis, Mulyana dan Yadi Mulyadi. Trio lini tengah: Asep Kustiana, Yudi Guntara, dan Yusuf Bachtiar. Duet penyerang Soetiono Lamso dan Kekey Zakaria. Sementara klub eks Galatama, yang notabene dikendalikan swasta, banyak diperkuat pemain asing: Jacksen F. Tiago, Roger Milla, Maboang Kessack, Dejan Gluscevic, Carlos de Mello (Hlm. 77-78).
Kick-off Liga Indonesia musim 94/95 langsung mempertemukan juara perserikatan dan galatama di Senayan. Pertandingan itu dibuka Wapres Try Sutrisno yang melakukan sepakan tanda Liga Indonesia dimulai. Dicatatkan bahwa pertandingan yang digelar tanggal 27 November 1994 itu menjadi ajang duel playmaker jempolan. Di Persib ada Yusuf Bachtiar, sementara di Pelita Jaya, Ansyari Lubis —yang kelak bermain untuk Persib. Belum lagi kehadiran tiga legiun asing asal Balkan di kubu Pelita. Hasilnya, Persib harus mengakui keunggulan tuan rumah Pelita lewat sundulan striker asal Balkan-nya, Dejan Gluscevic.
Meski kalah di pertandingan awal-awal kompetisi, tapi Persib ditakdirkan untuk memasuki final. Dan, ya, gol tunggal Soetiono kemudian mengantarkan Persib menjadi kampiun Liga Indonesia pertama. Yang mengagumkan —sebagaimana disebut di muka, bahwa Indra Thohir berhasil mengunci juara perserikatan terakhir 1993/1994— kali ini Persib juara pertama Liga Indonesia 1994/1995. Selepas gelar juara tersebut, hingga kini belum ada lagi pelatih yang mampu juara beruntun dalam kompetisi liga resmi di Indonesia.
Dan sebagai Juara Liga Indonesia 1994/1995, Persib berkesempatan mewakili Indonesia di kejuaraan antar klub Asia. Sebelum pertandingan, ada seremoni untuk Indra Thohir yang terpilih sebagai pelatih terbaik AFC bulan September 1995. Beliau dinilai mengejutkan Asia, karena bisa membawa Persib mengalahkan juara Thailand (Bangkok Bank) dan Filipina (Pasay City). Meski kemudian harus mengakui kekalahan di perempat-final atas klub jawara Liga Jepang, Verdy Kawasaki (Hlm. 150-151).
Setelahnya, diceritakan bahwa Indra Thohir memutuskan untuk beristirahat dari hiruk-pikuk sepak bola. Namun, di bulan September 1997, setelah nyaris dua tahun sejak mundur dari Persib, melalui desakan kakak iparnya yang diutus langsung Bupati Bogor, Indra Thohir diminta melatih Persikabo Bogor untuk kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia IV tahun 1997-1998.
Di musim yang sama, dikisahkan pula bahwa Persib pun memilih berhenti melanjutkan khittah-nya: memberdayakan sumber daya lokal. Meski sebelumnya ada juga pemain di luar daerah. Salah satunya pencetak gol tunggal di final Ligina 1995. Dan seharusnya memang tidak menjadi persoalan. Karena, ya, sah secara legal-formal. Pun cara perpindahan pemain-pemain merupakan hal yang wajar, meski hal itu bisa dilihat dari sekian macam sudut pandang. Tergantung posisi kita berpijak.
Yang masuk akal, hal demikian dimungkinkan oleh penetrasi kapital. Sebagaimana diketahui, watak kapital (sebagai relasi sosial) itu cair. Sebabnya digerakkan oleh norma efisiensi, dan nyaris sulit maujud tanpa ditopang oleh tenaga kerja yang juga cair, dalam hal ini, pemain. Dan tenaga-tenaga kerja di bawah kendali kapital —pascareformasi— ini tidak hanya harus terus berubah dalam kualitas dan kuantitas mengikuti perubahan kekuatan produktif, tetapi juga harus dapat bergerak bebas lintas daerah.
Begitulah kenyataan sepakbola kini. Yang tidak hanya bisa dimaknai sebatas olahraga, namun juga kemasan dari sebuah metode produksi. Meski sebetulnya pengelola klub dapat menolak tunduk pada perkembangan zaman, dan jika mau, dapat diwakili oleh pemain —yang dianggapnya— dari kalangan sendiri. Tetapi kita tahu, hal itu semakin jarang terjadi. Dan dalam konteks sepak bola kiwari, syahwat semacam itu biasanya sulit terpenuhi.
Indra Thohir Turun Gunung
Masih banyak kisah menarik lain, seperti misal, kiprah Indra Thohir saat kembali "turun gunung" menggantikan Suryamin yang menukangi Persib di Ligina VI 1999-2000, menggantikan pelatih Juan Paez asal Chile 2005, memoles "maung ngora" 2008. Dan sebagaimana telah diunggah di muka, buku ini juga dilengkapi beberapa ilustrasi yang sangat kaya akan informasi, baik mulai dari statistik pencapaian Indra Thohir sendiri, persentase kemenangan, hingga jumlah gol pemain Persib.
Barangkali hal ini dikondisikan oleh para penulisnya yang memang tekun menelisik ratusan buku, koran, majalah, arsip dan lain-lain yang terkait sepak bola umumnya, dan Persib khususnya. Tidak heran jika buku ini juga memuat catatan kaki yang bersumber dari penulis buku-buku sepak bola yang berasal dari tanah leluhur sepak bola: Britannia Raya, hingga esais lokal kenamaaan.
Yang agak disayangkan dari buku ini adalah keputusan untuk menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Sunda. Sebetulnya bagi saya pribadi tidak masalah. Namun, khawatir menjadi soal tatkala dihadapkan pada pembaca yang datang dari generasi berbeda dengan para penulisnya. Barangkali akan mendekati sempurna jika kawan-kawan stdsiliwangi memilih salah satu di antaranya. Ditambah pemakaian istilah ala barudak ngora yang kerap menyebabkan pembaca (dalam hal ini, bapa sayah, karunya) kehilangan ritmenya. Jika ihwal demikian dilakukan dalam domain bersosial-media mungkin tidak bakal menjadi soal. Akan tetapi, sekali lagi, sangat disayangkan jika diterapkan dalam karya terbaiknya: buku.
Terlepas dari hal di atas, buku ini sangat layak untuk diapresiasi. Siapa saja yang ingin mengetahui cerita, kesan, pengalaman, dan perspektif Indra Thohir, tentu layak memiliki buku ini; yang juga mengungkap informasi yang selama ini tercecer di ingatan beberapa orang, koran masa lampau, atau sekadar desas-desus di warung kopi. Di dalamnya bahkan terdapat informasi menarik yang barangkali jarang diketahui publik. Buku ini juga bisa disebut buku pertama yang secara spesifik mengkaji kiprah pelatih lokal (mohon dikoreksi jika saya salah). Adapun dua tahun sebelumnya terbit buku Petar Segrt, Pelatih PSM Makassar. Namun yang bersangkutan berasal dari Kroasia.
Dan, ya, tentu buku ini dapat dijadikan rujukan bagi yang hendak mengkaji fenomena sosial yang dipicu sepak bola. Misal, mengembangkan kisah pengalaman 800 orang bobotoh Persib yang saat itu sengaja datang ke Thailand untuk menemani secara langsung klub kesayangannya bertarung di Liga Champions Asia.
Informasi Buku
Judul: Ngadu Bako Cerita Bah Thohir
Penulis: Ali Buschen, Luki Lukman, Fakhri Naufal, Fajar Asmara Satria, Harry Ganjar Budiman, Adytia Marayuda
ISBN: 978-602-6850-98-0
Penerbit: Self-publishing
Tebal: 331 halaman.