• Narasi
  • SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #2: PSSI Menentang Penjajahan Belanda

SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #2: PSSI Menentang Penjajahan Belanda

Roh nasionalisme dalam tubuh PSSI tidak terlepas dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pendirian PSSI sebagai wujud nyata perlawanan pada kolonialisme.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Suporter Persib menukar gelang tiket pertandingan antara Persib Bandung melawan Persija Jakarta di tempat penukaran tiket Yonzipur 9 saat panitia membatalkan pertandingan di Bandung, Jawa Barat, 2 Oktober 2022. Penundaan pertandingan Persib vs Persija sebagai buntut dari tragedi Kanjuruhan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Oktober 2022


BandungBergerak.idPendirian PSSI pada 19 April 1930 di Yogyakarta merupakan bentuk nyata dari wujud sepak bola sebagai media perjuangan bangsa, dalam hal ini untuk melawan kolonialisme di nusantara. Pembentukan PSSI pun bermula ketika semangat nasionalisme bertumbuh dalam jiwa para pendirinya.

Eddi Elison (2014) dalam karyanya bertajuk “Soeratin Sosrosoegondo Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaaan” menyatakan:

Sebagai organisasi olahraga yang tertua di Indonesia (dilahirkkan 19 April 1930) di Yogyakarta), apalagi kelahirannya di saat-saat kaum penjajah Belanda sedang bereforia menikmati sumber daya alam Indonesia yang berlimpah, sambil menekan kehidupan dan kebebasan warga pribumi, dengan sendirinya kelahiran PSSI, pelan-pelan, tetapi pasti, telah membangkitkan dan menularkan ke sana ke mari roh nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia, terutama komunintas kaum mudanya” (hlm. vii).

Kehadiran roh nasionalisme dalam tubuh PSSI tidak dapat terpisahkan dari kongres Pemuda ke-II yang terlaksana pada 28 Oktober 1928, hal tersebut dinyatakan dalam buku berjudul Sepak Bola karya Maulwi Saelan dalam “Soeratin Sosrosoegondo Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaaan”:

PSSI dilahirkan dan kelahirannya didukung oleh Sumpah Pemuda tahun 1928. Karena PSSI adalah anak kandung dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Gerakan Kebangsaan Indonesia, dengan tujuan khusus memperkokoh kesatuan bangsa melalui pengoragnisasian sepak bola secara nasional” (2014, hlm. xvi).

Selain roh nasionalisme yang menyertai kelahiran PSSI, terdapat suatu penghinaan yang didapatkan oleh orang-orang Indonesia dari NIVB (Nederlands Indische Voetbal bond/PSSI Hindia Belanda). Hal ini seperti yang terjadi pada sekitar Maret 1930, “Orang-orang Indonesia yang hobi bermain sepak bola membentuk sebuah panitia untuk pertandingan amal. Panitia tersebut diberi nama Panitia Voetbalwedstrijden yang terdiri dari klub-klub yang tergabung dalam PSM. Panitia ini merencanakan melaksanakan pertandingan amal yang diikuti klub dari luar Yogya. Hasil pertandingan akan disumbangkan pada badan-badan amal yang ada. Rencana mengikutsertakan klub luar kota terganjal, karena klub-klub yang diundang minta, supaya Panitia minta izin pada NIVB (Nederlands Indische Voetbal bond/PSSI Hindia-Belanda) yang membawahi klub-klub tersebut.”

Sesuai permintaan klub, panitia menyurati NIVB. Jawaban NIVB/Belanda sangat menyakitkan, bahkan cenderung menghina: “Tidak bisa. Anggota NIVB dilarang bermain dengan perkumpulan sepak bola inlader yang belum teratur baik...” (2014, hlm. 2).

Penghinaan itulah yang semakin mendorong lahirnya PSSI yang digawangi oleh Soeratin Sosrosoegondo pada April 1930 di Yogyakarta, sebagai pembuktian bahwa bangsa terjajah mampu mengorganisikan sepak bola dalam satu wadah yang bidikan pelurunya diarahkan kepada kolonial Hindia Belanda untuk menjawab penghinaan tersebut. Kelahiran PSSI sebagai wadah sepak bola bumiputra memiliki daya tarik yang besar bahkan melebihi daya tarik partai politik, hal ini seperti yang dinyatakan oleh Soetomo salah satu tokoh pendiri Boedi Oetomo “PSSI lebih punya “kekuatan” dari partai politik, bila dipergunakan untuk mempersatukan bangsa Indonesia karena PSSI lebih merakyat. Dengan demikian jelas latar belakang pembentukan PSSI pada dasarnya lebih didorong kepentingan politik, karena terkait dengan kegiatan politik seperti lahirnya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan lebih spesifik lagi sebagai implementasi dari Soempah Pemoeda (28 Oktober 1928)” (2014, hlm. 20)

Masih menurut Eddi Elison (2014, hlm. 23), “merasa kegiatan persepakbolaan Belanda itu perlu diimbangi, bahkan diatasi untuk membuktikan, bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa inlander seperti yang dicanangkan Belanda, beberapa tokoh politik Indonesia memprakarsai pembentukan klub. Di Solo, Dr. Radjiman Wediodiningrat dan Mr. Wongsonagoro tahun 1923 membentuk “Verstenlandsche Voetbal Bond”, selanjutnya lahir pula “Javasche Voetbal Bond” Surakarta pada 1927. Perjuangan untuk menandingi klub-klub Belanda, terutama dalam berbagai kejuaraan, makin populer di kalangan masyarakat/rakyat.”

Baca Juga: SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1: Melahirkan Perlawanan pada Penjajahan
Sepak Bola Tanpa Iming-iming Juara
BUKU BANDUNG (31): Abah Indra Thohir, Legenda Sepak Bola ASEAN asal Kota Kembang

Harapan Kepada PSSI Pascakemerdekaan

Memasuki pertengahan dekade ke-4 abad ke-20, lahir sebuah negara kesatuan yang terbentang dari gugusan pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke. Kondisi politik, sosial, ekonomi negeri baru ini mengalami banyak perubahan. PSSI yang lahir sebagai organisasi sepak bola masih menjadi harapan bagi perjuangan bangsa.

Sukarno sebagai orang pertama yang didaulat menjadi orang nomor satu di NKRI menyimpan harapan pada tubuh PSSI. Presiden Sukarno di masa demokrasi terpimpin menyatakan, “Saja jakin PSSI akan tetap berada di depan dalam melaksanakan program revolusi, bekerdja bersama-sama ormas lainnja guna mewudjudkan tiga kerangka revolusi kita” [Buku “Politik Nasionalisme Sepak Bola Era Soekarno 1950-1965”, (2022, hlm. 1)].

Pernyataan Presiden Sukarno itu menunjukan bahwa PSSI benar-benar memiliki daya gedor yang besar untuk bangsa Indonesia dalam konteks revolusi yang digemborkan saat itu. Sepak bola memiliki nilai yang sangat strategis untuk menciptakan “national building” yang diharapkan pada masa demokrasi terpimpin. Revolusi nasional yang digagas oleh Sukarno bisa dibangun melalui wilayah kultural yang berdiri di atas kebudayaan dan kepribadian Indonesia sendiri untuk membentuk manusia Indonesia baru.

Sepak bola sebagai salah satu cabang olahraga tidak hanya dipandang melalui semboyannya “men sana in corpore sane” maupun sebatas olahraga untuk olahraga. Melalui sepak bola pula, nama bangsa dan negara Indonesia dapat dikenang oleh dunia Internasional dengan prestasi olahraga (2022, hlm. 115). R.N. Bayu Aji sekali lagi menunjukan perhatian Sukarno terhadap sepak bola sebagai peneguh bagi revolusi yang saat itu sedang bergelora dalam pidatonya tanggal 19 Agustus 1965 yang bertajuk “Amanat Presiden Sukarno Pada Ramah-Tamah dengan PSSI” di Istana Negara, Djakarta:

“Saudara-Saudara, apakah perlu saja katakan bahwa saja bergembira?! Bahwa saja bergemberira! Apakah itu perlu saja katakan kepada saudara-saudara? Sudah barang tentu saja bergembira bahkan mengutjap pudjian kepada Saudara-saudara sekalian, bahwa musjawarah PSSI telah membawa PSSI benar-benar ketaraf alat nation building jang setinggi-tingginja. Alat nation building, sebab seluruh revolusi sekarang, jang kita kerdjakan, jang kita usahakan, jang kita banting tulangkan, jang kita peraskan kita punja keringat dan tenaga ialah, sebenarnya nation building.

Sebab revolusi Indonesia itu adalah sebenarnya revolusi nation building. Dan building a nation, membangun satu bangsa itu adalah satu pekerdjaan jang tiada batas. Ia politik, ja ekonomis, ja kulturil, ja fisik, ja didalam semuanja anggap-anggapan ja didalam hubungan-hubungan kita dengan bangsa lain, segala sesuatu itu termasuk di dalam national buiding. Oleh karena itu maka saja sesudah saja mendengarkan laporan dari Kolonel Maulwi Saelan, tentang hasil-hasil musjawarah Saudara-saudara, saja bergembira. Oleh karena ternjata bahwa sekarang PSSI itu mendjadi sakah satu alat utama daripada nation building”(2022, hlm. 115)

Fritz E Simadjuntak dalam R.N. Bayu Aji (2022, hlm. 115-116) menyatakan, “Olahraga dan sepak bola dapat digunakan sebagai terapi membangkitkan semangat nasionalisme. Antusiasme penonton, semangat bertanding dan semangat pertandingan, ramainya penonton, merupakan tanda-tanda awal untuk membangkitkan nasionalisme. Namun, terapi nasionalisme melalui olahraga dan sepak bola memiliki sifat sesaat, simbolik, dan tumbuh saat diselenggarakannya pertandingan ataupun kejuaraan. Meskipun demikian, tetap saja nasionalisme dalam olahraga akan dapat membangunkan semangat nasionalisme di bidang lainnya. Itulah yang hendak diwujudkan oleh Sukarno dalam politik sepak bola Indonesia dan membangun karakter nation building melalui sepak bola dalam rangka manipol USDEK.”

Dari sini dapatlah kita ambil arti penting sepak bola bagi nilai-nilai kebangsaan, 11 vs 11 di dalam rumput hijau yang di dalamnya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang sosial, politik, ekonomi yang berbeda bersatu untuk menghadapi 11 lawan lainnya yang juga memiliki perbedaan latar belakang sosial, politik, ekonomi juga. Sehingga tidak berlebihan kiranya bila sepak bola dikatakan sebagai purwarupa (prototype) suatu bangsa, setiap pemain di dalam sebuah tim/klub tidak saling mengenal secara menyeluruh pemain namun 11 pemain tersebut bahu-membahu untuk satu tujuan; kemenangan. Jangan lupakan keberadaan supoter di pinggir lapangan yang mendukung habis-habisan setiap tim/klub dari bangsanya atau daerahnya sebagai ajang untuk menunjukan karakter setiap negara atau daerahnya masing-masing.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//