PROFIL RIVERSIDE FOREST: Membangun Sepak Bola Rakyat di Tangga Batu Tamansari
Riverside Forest dibangun dengan semangat kesetaraan antara manajemen, pemain, sponsor, dan suporternya. Semua memiliki hak yang sama dalam pengelolaan klub.
Penulis Reza Khoerul Iman26 April 2022
BandungBergerak.id – Sepak bola menjelma sebagai olahraga paling digemari di seluruh dunia, sejak zaman kolonial maupun hari ini. Tak terkecuali di Kota Bandung. Gairah menggebu Kota Kembang pada sepak bola dapat kita lihat di kancah profesional, amatir, hingga sepak bola jalanan.
Nama besar seperti Persib Bandung dan bobotoh fanatiknya dalam beberapa dekade ini turut memeriahkan gelora sepak bola di Kota Bandung. Bahkan si kulit bundar tidak hanya meriah di ranah profesional saja, di ajang amatir seperti Bandung Premier League (BPL) dan Bandung Champions League (BCL) pun geliatnya tak kalah seru.
Namun dewasa ini, dunia sepak bola modern tidak hanya dijadikan sebagai hiburan rakyat. Sepak bola telah dirasuki kepentingan bisnis dengan datangnya para pemilik modal. Mereka datang atas nama kebaikan klub agar semakin maju dan berkembang.
Tetapi nyatanya hal tersebut malah membuat ketidakseimbangan di dalam pengelolaan klub. Para pemilik modal yang dikata memberikan sumbangsih secara materi yang cukup besar kepada klub pada akhirnya lebih didengar suaranya dibanding asprasi dari suporter.
Fenomena tersebut turut dirasakan oleh Yusuf Kahfi Karim Amirulloh yang sudah lama menjadi penikmat sepak bola. Hal tersebut membawa Yusuf dan rekan-rekannya untuk membuat klub sepak bola egaliter bernama Riverside Forest pada 11 Desember 2021.
Disebut egaliter, Riverside Forest dibangun dengan semangat kesetaraan antara jajaran manajemen, pemain, sponsor, dan suporternya. Semuanya memiliki hak yang sama dalam pengelolaan klub.
Pendirian Riverside Forest berawal dari obrolan di sebuah tangga batu, Tamansari, Bandung, antara Yusuf, Zebo, Mamat Prung, dan rekan-rekan lainnya dari Universitas Pasundan (Unpas). Topik yang mereka bicarakan tidak lain sepak bola, yakni Bandung Premier League.
“Awalnya ada tim BPL yang minta Mamat agar Prung jadi sponsornya. Dari sana dipikir-pikir, kenapa kita gak sekalian buat klub saja. Akhirnya lahirlah si Riverside dengan konsep tim sepak bola yang berbeda dengan yang lainnya,” tutur Yusuf kepada BandungBergerak.id, Sabtu (04/23/2022).
Dalam arti lain, Riverside Forest merupakan klub sepak bola yang dibentuk oleh suporternya sendiri yang diberi nama Birds Death Brigade. Sebagaimana klubnya, Birds Death Brigade mengusung konsep egaliter yang membentuk perlawanan atas kedok indsutrialisasi yang terjadi di sepak bola modern.
Yusuf mengaku hampir 70 persen pendanaan klub diberikan suporter untuk klub. Kemudian seluruh laporan keuangan juga dilaporkan secara transparan, bahkan dengan mengunggahnya di media sosial. Pada intinya semua aspirasi yang datang, baik dari suporter atau pihak lain untuk klub, tidak akan dipandang sebelah mata.
Konsep lain yang diusung Riverside Forest dalam dunia sepak bola yaitu punk football. Konsep ini mereka adopsi dari subkultur sepak bola Eropa yang menolak kapitalisasi terhadap sepak bola dan bertujuan untuk mengembalikan sepak bola sebagai hiburan untuk rakyat. Konsep punk football, misalnya, diusung FC St. Pauli di Jerman pada tahun 1910 atau FC United of Manchester pada 2005.
Dalam hal ini, Riverside Forest hadir sebagai klub sepak bola yang dimiliki oleh para suporternya sebagai respons dari moderinasasi sepak bola yang membuat olahraga tersebut tidak ramah untuk dinikmati sebagai hiburan rakyat.
Bersuara Lewat Sepak Bola
Ada dua kampanye yang dijalankan Riverside Forest dalam menyemarakkan sepak bola di Bandung. Pertama mereka mengukuhkan membuat klub berbasis suporter dan sebagian besar pendanaan juga diberikan dari suporter melalui penjualan merchandise dan kencleng setiap pertandingannya.
Kedua, bersuara melalui sepak bola. Ini mereka lakukan untuk melawan rivalitas yang kebablasan. Sudah banyak kasus pertumpahan darah hingga nyawa melayang atas nama rivalitas. Dalam hal ini, Yusuf Kahfi Karim Amirulloh menjelaskan bukan berarti rivalitas terlarang. Baginya rivalitas adalah bumbu dari sepak bola, tapi tetap hal itu hanya terjadi 90 menit selama pertandingan di lapangan.
Konsep lain yang dikampanyekan punk football Bandung ini adalah Forever Underdogs. Meski mereka kini hadir di ajang sepak bola amatir Kota Bandung, Bandung Champions League, tetapi mereka tidak terlalu berambisi menjadi juara.
Zebo sebagai salah satu otak dari Riverside Forest menyebutkan bahwa Forever Underdogs berarti klubnya lebih mengutamakan bahwa semua orang dapat menikmati sepak bola dari pada juara.
“Forever Underdogs itu jadi kita gak ngejar juara, tapi yang kita kejar itu pesan di sepak bolanya saja. Jadi kami lebih mengusung pesan-pesan yang tidak pernah bisa disuarakan pada sepak bola Indonesia,” jelas Zebo.
Ia percaya bahwa sepak bola juga sebagai wadah untuk menyuarakan pesan atau bahkan protes terhadap ketidakadilan. Upaya ini pernah terjadi di dunia sepak bola, yaitu ketika ada spanduk save Palestina. Hal tersebut menuai banyak kritik dan dianggap bahwa sepak bola telah dimasuki politik. Namun ketika Ukraina diserang Rusia, banyak yang melakukan aksi peduli terhadapnya.
Zebo mengaku bukan berarti memandang sebelah mata Ukraina, tapi ketidakadilan telah terjadi di lapangan hijau tersebut. Oleh karenanya Riverside Forest dan Birds Death Brigade selalu membawa minimal satu isu untuk disuarakan pada setiap Riverside Forest bertanding.
Dalam menyuarakan isu tersebut, selain dengan spanduk perlawanan yang dipasang setiap pertandingannya, mereka juga membuat poster dan zine. Saat ini sudah terbit dua zine yang selalu dibagikan secara gratis selepas pertandingan berakhir.
Baca Juga: PROFIL INSTITUT DRAWING BANDUNG: Belajar Melukis di Jalanan Kota Bandung
PROFIL PHOTO’S SPEAK: Kawah Tempa Jurnalis Foto Bandung
PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi
Bertahan dan Melawan Pagebluk
Pagebluk menjadi lawan murni bagi dunia sepak bola. Pada saat itu dunia sepak bola mesti terhenti karena sepak bola melibatkan banyak orang. Bagi Riverside Forest dan Birds Death Brigade, pagebluk menjadi tantangan agar mereka tetap bertahan.
Yusuf mengaku sempat pesimis untuk mempertahankan klub Riverside Forest di tengah pagebluk. Apalagi modal yang mereka keluarkan tidak sedikit.
“Waktu itu kita hitung butuh modal Rp 90 juta. Awalnya pesimis, kita juga belum pernah pegang uang sebesar itu. Tapi kita jalankan saja dulu dan berkat semangat dari kawan-kawan juga kita masih tetap ada sampai sekarang,” tutur Yusuf.
Upaya keras rekan-rekan Riverside Forest dan Birds Death Brigade membuahkan hasil yang setimpal, bukan hanya tetap bertahan di masa pagebluk, mereka bahkan dapat menempati posisi ketiga di ajang Bandung Champions League dan berhasil dipromosikan ke Bandung Premier League.
Mereka berharap di ajang yang lebih tinggi tersebut dapat terus bertahan, bersuara, dan terus melawan. Dipromosikannya mereka ke ajang yang lebih tinggi juga cukup menguntungkan mereka karena suara mereka akan semakin terus didengar secara meluas, mengingat mereka adalah satu-satunya tim yang memiliki suporter pada kompetisi di ajang amatir tersebut.