• Opini
  • Pers dan Partai Politik Kita

Pers dan Partai Politik Kita

Baliho dan spanduk politik hanya menambah semrawut kota. Sebaliknya, kerja pers menyediakan alternatif penyampaian program dan pemikiran tokoh parpol secara elegan.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Majalah Suara Masjumi menjadi corong partai Masjumi untuk menyuarakan program dan pemikirian para tokoh-tokohnya. Tidak gentar berpolemik. (Foto: koleksi Indra Prayana)

19 November 2022


BandungBergerak.idKurang dari dua tahun lagi kita akan memasuki tahun politik. Pemilihan umum (pemilu) dilangsungkan serentak untuk memilih kepala negara, kepala daerah, dan para wakil rakyat untuk menggantikan rezim pemerintahan Jokowi. Geliat dan hiruk pikuk hajatan lima tahun sekali ini sudah mulai terasa. Berbagai iklan, baliho, dan spanduk yang memajang nama parpol serta gambar tokoh politik sudah memenuhi ruang-ruang publik.

Bentuk komunikasi politik dengan memasang pesan atau pariwara di jalan-jalan mungkin saja bisa efektif. Sifat verbalnya yang singkat dan padat, ditambah dengan kemasan visual menarik tentu akan memudahkan pesan terlihat dan tersimpan dalam memori kolektif publik. Namun komunikasi semacam itu terlalu biasa serta minim kreativitas. Belum lagi kalau dilihat dengan kacamata estetika. Baliho dan spanduk yang dipasang serampangan, mungkin tanpa izin, membuat kota semrawut dan kotor oleh sampah “sampah visual”.

Ada banyak cara menyampaikan visi-misi atau program politik secara konkrit, detail, dan terukur. Yang jelas bukan dengan dipajang dalam poster ataupun iklan politik sekilas. Segede apa pun itu. Harus ada media regular yang bisa diakses oleh publik sehingga kita bisa mencermati semua partai politik berikut para tokohnya yang akan mencalonkan diri  menjadi pejabat-pejabat publik.

Biarpun partisan, media yang bisa berbentuk cetak ataupun daring ini jauh lebih mampu menyimpan basis data ketimbang penampilan yang serbainstan seperti baliho atau spanduk. Penyampaian ide atau informasi politik lewat tulisan di media, misalnya, mampu menyajikan tanggapan terhadap sebuah permasalahan secara benar, akurat, dan lengkap. Selain itu, rutinias meulis di media cetak yang terbit secara reguler turut pula berandil dalam usaha bersama membangun tradisi literasi serta pendidikan politik yang baik.   

Berkaca dari sejarah, kita dapat menemukan periode zaman yang menggairahkan ketika pers atau surat kabar menjadi bagian dari partai politik.  Pada era demokrasi liberal, tidak kurang dari 30 partai politik menjadi peserta pemilu 1955. Ketika itu sebagian besar kontestan pemilu, terutama partai-partai besar, mempunyai media atau surat kabarnya sendiri untuk menyampaikan berbagai program dan kegiatan partai kepada rakyat dalam bentuk tulisan ataupun sajian visual. Kampanye politik bukan melulu berupa rapat-rapat akbar yang mengundang massa banyak, tetapi juga penerbitan koran ataupun majalah yang dikelola secara mandiri.

Beberapa koran atau majalah yang menjadi bagian dari partai politik peserta pemilu 1955 di antaranya:    

Koran Suluh Indonesia, yang memang disiapkan PNI untuk menghadapi Pemilu 1955, berkontribusi besar dalam kemenangan partai politik tersebut. (Foto: koleksi Indra Prayana)
Koran Suluh Indonesia, yang memang disiapkan PNI untuk menghadapi Pemilu 1955, berkontribusi besar dalam kemenangan partai politik tersebut. (Foto: koleksi Indra Prayana)

Suluh Indonesia

Kemenangan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada pemilu 1955 dengan memperoleh hampi 8.450.000 suara tentu tidak lepas dari peran surat kabar yang dikelolanya. PNI mempunyai akar sejarah yang panjang, jauh sebelum Indonesia merdeka. Partai ini didirikan oleh Sukarno pada 4 Juli 1927 dengan tujuan menghimpun semua anak bangsa dalam satu tujuan kemerdekaan Indonesia. Surat kabar yang menjadi corong PNI pada saat awal pendiriannya adalah Persatuan Indonesia yang terbit pertama kali pada 15 juli 1928 dengan jajaran pimpinan redaksi diisi oleh Ir. Sukarno, Mr. Soenarjo, dan Mr. Sartono.

Dalam perjalanannya, banyak juga surat kabar yang sepaham dengan garis perjuangan nasionalisme ala PNI. Suluh Indonesia salah satu surat kabar yang menyuarakan pesan itu. Meski propagandanya tidak seagresif surat kabar sejenis, Suluh Indonesia cukup efektif dalam menampilkan gambar atau lambang PNI. Rapat-rapat umum ataupun ceramah-ceramah dari tokoh PNI dimuat secara lengkap.

Suluh Indonesia didirikan oleh Tabrani dan Sayuti Melik pada Oktober 1953 dan sejak awal disiapkan untuk menghadapi pemilu 1955. Tidak heran, semua informasi terkait PNI akan disebarkan melalui surat kabar ini.

Baca Juga: Mengenang Gang Bongkaran, Daerah Beling di Bandung
Buku-buku Bandung Paling Antik, Langka, dan Unik

Suara Masjumi

Suara Masjumi merupakan corong resmi partai politik islam Masjumi (Majelis Sjura Muslimin Indonesia), partai politik yang didirikan pada 7 November 1945 sesuai mandat kongres Umat Islam di Yogyakarta. Terbit setiap tanggal 1, 10, atau 20 setiap bulannya, majalah ini menjadi alat penyebaran ide dan gagasan partai melalui tulisan. Sjarif Usman tercantum sebagai sebagai ketua dewan redaksi.

Selain Suara Masjumi, terdapat juga harian Abadi dan majalah Hikmah yang berafiliasi dengan Partai Masjumi. Majalah Hikmah yang terbit pertama kali pada 1947 dipimpin langsung oleh M. Natsir.

Melalui media-media tersebut, Masjumi menyebarkan program partai serta pemikiran tokoh-tokohnya. Tidak hanya itu surat kabar juga dimanfaatkan untuk menyerang pemikiran lawan ataupun menyangkal kampanye hitam dari  musuh-musuh politik yang berpotensi menggembosi Masjumi. Suara Masjumi no. 33 Tahun X tertanggal 10 Desember 1955, misalnya, secara khusus menjawab berbagai tuduhan miring yang diembuskan oleh lawan-lawan politiknya. Berbagai tuduhan itu antara lain menyebutkan bahwa  Masjumi akan mengganti bentuk negara, Masjumi anti Pancasila, Masjumi akan mengganti bendera merah putih dan lagu kebangsaan indonesia Raya, Kalau Masjumi menang agama di luar agama Islam akan mengalami kejatuhan bangkrut, Masjumi tidak memperjuangkan Negara Nasional, dan tuduhan-tuduhan lainnya.

Inilah waktunya Suara Masjumi tampil sebagai terompet partai politik dengan memberikan penjelasan yang sangat runut dan lengkap. Tak cukup sampai di situ, majalah ini juga menyerang balik lawan-lawan politik yang mengembuskan kampanye negatif tersebut.  

Jauh sebelum Suara Masjumi terbit, kelompok-kelompok dengan ideologi yang berbeda sudah memiliki partainya sendiri. Contohnya, PNI dan PKI.

Suara Sosialis, bersama Sikap dan Pedoman, merupakan surat kabar yang berafiliasi ke Partai Sosialis Indonesia (PSI). (Foto: koleksi Indra Prayana)
Suara Sosialis, bersama Sikap dan Pedoman, merupakan surat kabar yang berafiliasi ke Partai Sosialis Indonesia (PSI). (Foto: koleksi Indra Prayana)

Suara Sosialis

Pentingnya surat kabar sebagai medium untuk menyambungkan gagasan ataupun program partai politik ke publik secara luas, disadari betul oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir. Bahkan untuk melegitimasinya PSI membuat pasal khusus dalam Anggaran Dasar PSI, yakni Pasal 16 tentang Majalah dan / atau Harian Partai yang menyebut:

  1. Partai harus mempunyai majalah dan / atau harian partai
  2. Redaksi ditetapkan oleh politbiro dan bertanggung jawab kepada Dewan Partai

Tidak banyak partai politik atau organisasi apapun yang menaruh perhatian khusus untuk membuat surat kabar sebagai bagian integral yang termaktub dalam anggaran dasar. Suara Sosialis merupakan majalah PSI yang memuat semua gagasan, kegiatan, dan berita-berita kaum sosialis yang tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi juga mancanegara karena secara keorganisasian PSI masuk dalam keanggotaan Asian Sosialist Conference sebuah forum internasional yang mewadahi gerakan sosialis.

Redaksi Suara Sosialis beralamat di Jalan Merdeka Barat 16, Gambir, Tilp. 3673 Jakarta, sedangkan yang bertanggung jawab bagian penerbitan adalah L. M. Sitorus selaku Sekjen Partai.

Bukan hanya Suara Sosialis yang berafiliasi ke PSI. Ada juga harian Sikap dan harian Pedoman besutan wartawan kawakan Rosihan Anwar. Meskipun pada helatan pemilu 1955 Partai Sosialis Indonesia hanya bisa menempatkan 5 kursi wakilnya, dunia gagasan dan intelektualitas yang ditulis Sjahrir dkk. lewat media mereka telah memberi saham besar pada proses pendidikan politik rakyat di masa sesudahnya. 

Harian Rakjat, yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI), telah memberi warna tersendiri dalam wilayah pertarungan jurnalisme rakyat. (Foto: dokumentasi Indra Prayana)
Harian Rakjat, yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI), telah memberi warna tersendiri dalam wilayah pertarungan jurnalisme rakyat. (Foto: dokumentasi Indra Prayana)

Harian Rakjat

Harian Rakjat  terbit pertama kali 31 Januari 1951 sebagai pengganti Suara Rakjat. Penerbitannya merupakan bagian dari upaya bersih-bersih pascaperistiwa Madiun 1948. Kader-kader muda komunis yang berhasil lolos, membangun partai kembali dengan salah satunya mengaktifkan surat kabar yang menjadi mesin propaganda dan agitasi partai. Di bawah arahan Njoto , Naibaho, dan Dahono sebagai dewan redaksi, Harian Rakjat menjadi media partai dengan gaya penyampaian yang lugas dan keras disertai dengan sikap yang militan dari punggawanya.

Harian Rakjat menasbihkan diri sebagai representasi rakyat. Baik itu secara bahasa ataupun bahasannya, sebagaimana tersirat dalam semboyan “Untuk Rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakjat”. Menarik apa yang disampaikan harian Warta Bandung  sebagaimana dinukil dari buku Lekra Tak Membakar Buku: ”Ulang Tahun ke-10 “Harian Rakjat” adalah bukti bahwa ketekunan bekerja disertai ketabahan dan kegigihan berjuang dapat mengatasi kesulitan, bagaimanapun juga HR adalah wajah jurnalistik rakyat yang setiap hari berseri-seri memancarkan sinar harapan yang tak kunjung padam. HR adalah pelopor jurnalistik rakyat dan karena ia terus juga perjuangan Rakyat Indonesia yang tak pernah menjadi kecil. Kami turut bangga atas kebesaran HR dan kami berterimakasih atas kesediaan HR terus berdiri dibarisan terdepan dari gelanggang jurnalistik rakyat.” ( 2008, Hal: 89)   

Pada pemilu 1955, PKI menjadi pemenang ke-4 secara nasional di bawah PNI, Masjumi, dan Nahdhatul Ulama dengan perolehan suara sekitar 6.180.000 pemilih. Artinya, ada kepercayaan yang ditumpukan rakyat terhadap partai. Harian Rakjat yang diterbitkan oleh N.V. “Rakjat” berkantor di Jl. Pintu Besar 93  Telp. 21604/21605 Djakarta serta media-media lainnya yang berafiliasi dengan PKI, telah memberi warna tersendiri dalam wilayah pertarungan jurnalisme rakyat.

Tragedi G30S menghentikan gerak langkah Harian Rakjat. Surat kabar terbitan tanggal 2 Oktober 1965 menjadi edisi terakhirnya.

Pascaperistiwa 1965, semua elemen pers dikontrol secara ketat. Apalagi koran-koran partai yang berafiliasi pada beragam paham ideologi. Bahkan secara radikal pemerintahan Orde Baru atas nama stabilitas nasional memberangus semua surat kabar yang tidak sejalan dengan penguasa.  Partai politik dibonsai menjadi hanya tiga kontestan saja dan itu pun dengan seragam dan azas yang sama (tunggal).

Begitu juga di era reformasi. Geliat pers yang menjadi bagian dari partai politik hanya hangat di permulaan. Selebihnya suara politik disalurkan lewat slogan dan pengerahan massa yang mungkin saja sudah dikondisikan dengan politik uang atau pengerahan figur-figur selebriti. Sungguh sayang, partai politik masih terus saja mengabaikan lini literasi publik berupa penerbitan buku, buletin, surat kabar, atau apapun yang bisa memberikan pencerahan kepada rakyat. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//