Mengenang Gang Bongkaran, Daerah Beling di Bandung
Pada pertengahan 1983, di tengah musim operasi petrus, Gang Bongkaran geger. Salah seorang warganya ditemukan tewas mengenaskan di area kebun binatang Tamansari.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
19 Juni 2021
BandungBergerak.id - Saat mengenyam pendidikan di salah satu SMA Swasta di Bandung, saya pernah punya pengalaman dengan kenakalan remaja. Sebagaimana umumnya kenakalan siswa sekolahan, penanganannya dilakukan oleh guru BK (Bimbingan Konseling). Sebagai bagian bimbingan ke anak, guru juga menanyakan latar belakang keluarga dan kondisi lingkungan sosial di mana anak itu tinggal. Beberapa pertanyaan itu sangat membekas di kepala saya sampai sekarang.
“Kamu tinggal di mana?” tanya guru.
“Di Cihampelas, Pak.”
“Cihampelasnya di mana?”
“Di Gang Bongkaran.”
“Oh… Pantas aja. Itu sih daerah beling,” kata guru itu sambil tersenyum.
Sebelumnya saya tidak pernah mendengar dan mengetahui apa yang dimaksud dengan daerah beling meski sejak kecil hingga tahun kejatuhan Orde Baru saya tinggal dengan orang tua di sebuah rumah kontrakan kecil berdinding kayu dan bilik di kawasan RT 01 RW 15 Nomor 108/25 Gang Bongkaran. Kawasan ini secara geografis jadi bagian dari Jalan Cihampelas, Kota Bandung. Penamaan kawasan Cihampelas sendiri diambil berdasarkan nama kolam yang ada di sekitarnya atau orang mengenalnya sebagai kolam pemandian Cihampelas yang saat itu banyak dikelilingi pepohonan hampelas, sejenis pohon berdaun kasar yang bisa digunakan untuk menggosok tubuh juga, sebagai sumber mata airnya.
Toponimi Gang Bongkaran konon dimulai pada abad ke-19 ketika penduduk pribumi sudah mendirikan banyak permukiman di kawasan utara Bandung. Padahal waktu itu pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan utara sebagai tempat tinggal dan peristirahatan orang-orang Belanda dan turis mancanegara lainnya. Keberadaan permukiman pribumi yang tidak teratur telah mengganggu kenyamanan kawasan tersebut. Pemerintah Hindia Belanda lantas menyiapkan tempat khusus dengan cara menimbun pinggir Sungai Cikapundung dengan bongkaran batu-batu dan urukan tanah. Dari sinilah kampung baru khusus untuk pribumi di kawasan Cimahpelas ini mendapat nama Bongkaran.
Baca Juga: Buku-buku Bandung Paling Antik, Langka, dan Unik
Jejak Pers, Jejak Intelektualitas Bandung
Berkaca dari Cicadas
Mulanya saya hanya bisa mengira-ira saja, bahwa label daerah beling yang disematkan ke kampung Gang Bongkaran berarti kawasan dengan banyak permasalahan sosial. Beruntung Joshua Barker seorang antropolog asing yang melakukan penelitian di daerah Cicadas, Bandung memberikan pemahaman komprehensif tentang daerah beling. Dalam buku State of Authority (2009), Barker menulis esai berjudul Negara Beling: ‘Street Level Authority in Indonesian Slum” yang menyebutkan bahwa: “negara beling itu karena menampung begitu banyak tukang beling, orang-orang yang mengumpulkan pecahan kaca dan menjualnya kembali (dalam imajinasi populer, orang-orang seperti itu sering dikaitkan dengan kegiatan ilegal dan dunia bawah). Ada juga yang bilang karena daerah itu berbahaya, seperti pecahan kaca. Kedua etimologi rakyat tersebut menekankan aspek kriminal lingkungan”.
Lebih jauh Barker menyebut bahwa kawasan kumuh bisa menjadi domain yang berada di luar batas otoritas negara modern yang diekspresikan dalam anggapan bahwa Cicadas adalah sebuah negara beling. Hal menarik alam gagasan negara beling ini adalah perhatian pada citra otoritas lokal yang telah ada di Jawa Barat. Sebuah wilayah yang terbentuk di lingkaran kepemimpinan seorang yang mempunyai predikat jagoan, seperti jago, jegger, jawara, atau preman.
Meskipun dilakukan di wilayah Cicadas, penelitian Barker secara substantif mempunyai kesamaan indikator dengan Gang Bongkaran yang sejak lama bermasalah dengan permukiman padat akibat tingkat fertilitas penduduk yang tinggi. Satu keluarga di Bongkaran rata-rata mempunyai lebih dari tiga orang anak. Para pendatang yang bermukim di situ semakin menambah kepadatan.
Kepadatan yang tinggi melahirkan ketegangan-ketegangan yang terkadang berujung pada berbagai bentuk tindak criminal. Inilah yang kemudian membuat orang mempunyai pandangan negatif terhadap kampung Bongkaran. Sebuah penelitian yang termuat dalam buku Cihampelas : Suatu Sosok Kawasan Tinggal dan Usaha (1996) menyebutkan bahwa bagi orang luar, daerah ini dikenal sebagai daerah yang kurang baik, yang rawan. Banyak orang yang suka berkumpul, membuat onar, dan berkelahi sehingga orang luar segan dan takut untuk masuk ke daerah ini.
Operasi Petrus
Pada dekade 1980-an saat operasi petrus (penembak misterius) berjalan, Gang Bongkaran pun tak luput kena imbasnya. Setidaknya imbas itu sempat terekam kuat dalam ingatan saya. Pada pertengahan 1983, warga di perbatasan antara Gang Bongkaran dan Gang Margalaksana dibuat geger karena tersiar kabar salah satu warga ditemukan tewas di area kebun binatang Tamansari dengan kondisi tangan terikat, leher tergantung, dan luka-luka di sekujur tubuh. Mayatnya sempat menjadi tontonan publik. Beritanya dilansir koran lokal Harian Gala yang melaporkan temuan banyak korban serupa.
Sejarah mencatat, pemerintahan Orde Baru pernah menerapkan operasi petrus (penembak misterius) untuk menekan angka kriminalitas. Eksekusinya dilakukan di tingkat pusat hingga ke berbagai daerah, dengan mandat langsung dari Presiden Soeharto. Dalam buku otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto menyebut bahwa kebijakan petrus merupakan usaha untuk mencegah kejahatan yang sangat marak, sehingga perlu ada treatment, tindakan yang tegas: “Tindakan tegas yang bagaimana ? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak, karena melawan maka mereka ditembak.”
Yang terjadi di lapangan tidak selalu sama dengan apa yang dikatakan. Aparat cenderung melakukan generalisasi terhadap pelaku kejahatan. Siapa saja yang di tubuhnya ada rajah (tato) sudah bisa diasumsikan sebagai pelaku kriminal, bandit, dan preman dengan konsekuensi mati atau hilang tak jelas rimbanya. Suasana psikologis seperti ini juga yang membuat resah para pemuda Gang Bongkaran yang memiliki rajah di badan. Beragam cara dilakukan untuk menghapus tato itu, dan cara paling mudah adalah dengan menyeterikanya.
Perubahan Citra
Sampai dekade 1990-an label Gang Bongkaran sebagai salah satu daerah beling di Bandung masih melekat, sampai muncul rencana pembangunan jalan layang Pasupati yang menghubungkan Jalan Pasteur dengan Surapati. Proyek yang membelah beberapa perkampungan kota seperti Bongkaran, Margalaksana, Pulosari, dan Balubur ini pada mulanya menuai pro dan kontra di antara warga Gang Bongkaran. Pangkal masalah ada di urusan ganti rugi lahan yang terkena proyek. Banyak warga yang menerima tawaran pemerintah, tetapi tidak sedikit juga yang menolaknya. Pada akhirnya pembangunan jalan layang Pasupati jalan terus, mengakibatkan warga Bongkaran tergusur sebagiannya dan harus pindah ke kawasan Cingised dan Cisaranten.
Secara perlahan citra Gang Bongkaran sebagai daerah beling sedikit memudar. Namanya tidak lagi seseram seperti yang pernah saya rasakan dulu atau segarang seperti yang digambarkan orang. Perubahan sosial ini tidak terjadi hanya karena pergantian generasi, tapi juga karena peranan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Meski sudah lama meninggalkan Bongkaran, saya masih sering menyempatkan diri melihat kampung itu dari atas jembatan layang Pasupati.