• Opini
  • Paris dan Omelas: Memandang Absurditas dan Alienasi dalam Karya Seni

Paris dan Omelas: Memandang Absurditas dan Alienasi dalam Karya Seni

Di akhir cerita, kehidupan kita akan menjadi absurd jika kita tidak jujur kepada diri sendiri, dan hanya kita sendiri yang bisa memberikan kehidupan kita makna.

Brianna Ruth Audrey

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia

Poster Lomba Esai Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. (Sumber foto: Fakultas Filsafat Unpar)

13 Desember 2022


BandungBergerak.id — Masyarakat masa kini sangat dipengaruhi oleh budaya kapitalisme yang telah meresap ke dalam sebagian besar lekukan rutinitas sehari-harinya. Konsekuensi dari peresapan budaya ini adalah munculnya sisi alienasi dan absurditas dalam kehidupan manusia. Realitas ini menghadirkan pertanyaan bagaimana manusia bisa lepas dari budaya baru ini dan akhirnya mampu menjalani hidup yang paling autentik dan sesuai dengan dirinya.

Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana manusia lintas waktu mengartikan absurditas dan alienasi dalam kehidupannya. Penulis menggunakan manifestasi fisik budaya, yakni properti budaya dalam bentuk lukisan dan literatur sebagai objek analisis wacana ini. Tulisan dimulai dengan penjelasan singkat mengenai absurditas dan alienasi, dilanjutkan dengan pemaparan tentang dua properti budaya dari dua periode waktu yang berbeda (setelah abad ke-18 – periode ketika kapitalisme modern muncul). Bagian ketiga merupakan analisis bagaimana absurditas dan alienasi dimaknai dalam karya seni dan kebudayaan tersebut, dan tulisan diakhiri dengan kesimpulan penulis.

Absurditas dan Alienasi dalam Kehidupan

Pemahaman mengenai absurditas menjadi terkenal karena tulisan Albert Camus yang berjudul The Myth of Sisyphus. Tulisan ini menjelaskan bagaimana absurditas muncul ketika dunia gagal memberikan kehidupan kita sebuah makna (Nagel, 1971). Sebuah interpretasi dari absurditas ini adalah bagaimana tenaga dan usaha manusia menjadi tidak bermakna jika diperhadapkan dengan kematian (Perez-Esclarin, 1980).

Konsep absurditas kini menjadi semakin jelas ketika disandingkan dengan sistem kapitalisme yang menggenggam erat kehidupan modern kita. Dengan adanya budaya hustle culture dan ambisi masyarakat untuk mengakumulasi kekayaan, patut dipertanyakan apakah mereka (atau kita?)

live to work” atau “work to live”. Di luar lini produksi, konsep absurditas pun sudah meresap dalam cara kita berpikir tentang konsumsi. Pasalnya,sekiranya kita memandang kepada tren mode atau hiburan yang kian berubah dalam waktu yang singkat (sebuah fad), maka secara tidak langsung, absurditas bisa dilihat sebagai komoditas massal yang terus bermunculan, serta telah menjadi komoditasnya tersendiri (Deboord, 2021).

Kapitalisme pun membuat alienasi dalam kehidupan modern menjadi semakin mencengangkan. Pasalnya, walaupun telah munculnya banyak fad dan pemberlakuan absurditas sebagai komoditas, nyatanya para produsen produk tersebut tidak sepenuhnya mendapatkan keuntungan yang dia berhak dapatkan. Hal ini didasarkan oleh adanya alienasi antara para produsen (pekerja/labour) dengan barang yang diproduksinya. Sebagian besar dari pekerja tersebut tidak peduli atau memiliki ketertarikan terhadap produk yang dibuatnya. Namun, karena tuntutan pasar dan atasan mereka, para pekerja terpaksa untuk menghasilkan produk tersebut.

Mereferensikan tulisan Marx, Gasper (2016/2017) menggarisbawahi bahwa seharusnya manusia bekerja sekreatif dan sebebas yang mereka mau. Namun, hal tersebut sulit dilakukan dalam lingkungan kapitalisme yang meninggikan division of labour dan memiliki hierarki power kapital. Alhasil, karena sistem kapitalisme menguasai pasar dunia, maka masyarakat pun harus mengikuti peraturan kapitalisme sekiranya mereka mau bertahan hidup. Dalam kata lain, pekerja rela bekerja hanya demi mendapatkan gaji dan bertahan hidup, dan bukan untuk menjalani hidup yang bebas dan fulfilling (Swain, 2018).

Baca Juga: Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies
Lampu Merah Jalan Terus
Menyibak Realita Sosial, Pekerjaan sebagai Identitas Sosial

Sebuah Bar di Paris

Karya seni pertama yang dibahas dalam tulisan ini berasal dari gerakan seni realism di akhir abad ke-19.

Lukisan A Bar at the Folies-Bergère merupakan karya terakhir dari salah satupelukis ternama Prancis, Édouard Manet. Karya ini dipertunjukkan kepada masyarakat umum pada tahun 1882, satu tahun sebelum Manet meninggal. Layaknya sebuah tempat hiburan, bar Folies-Bergère ramai dengan pengunjung dan memiliki banyak stok minuman keras. Latar belakang dari lukisan tersebut (yang ternyata adalah sebuah cermin) menggambarkan keramaian bar yang sangat sesak dan loud. Keramaian ini dikarenakan oleh aksesibilitas bar itu sendiri, yakni kelas sosial tidak terlalu diperhatikan (dibandingkan di dunia luar) sehingga semua orang diperkenankan untuk masuk selama mereka terus mengonsumsi minuman keras, tembakau, dan bereaksi secara teatrikal (Clark, 2008).

Di depan cermin tersebut berdiri seorang pelayan perempuan yang cantik. Di kala ramainya ruangan tersebut, hanya perempuan tersebutlah yang dapat dilihat secara jelas. Di kala ke bisingannya ruangan, sang pelayan terlihat tidak terganggu, namun tidak juga terlihat nyaman. Bisa dikatakan bahwa sang pelayan hilang dalam pikirannya – daydreaming. Kembali ke latar belakang kaca, bisa dilihat bahwa terdapat seorang pelanggan di depan sang pelayan; seorang pria dengan topi hitam (yang dikatakan adalah manifestasi dari Manet). Namun, pria tersebut tidak dihiraukan oleh sang pelayan. Dirinya tetap berada dalam pikirannya sendiri seakan-akan dirinya sedang menjadi satu dengan inner self-nya di tengah bisingnya dunia.

Untuk mengartikan lukisan, terdapat dua konteks yang patut dimengerti. Konteks pertama adalah siapa sebenarnya sosok Manet, atau setidaknya siapa saja kalangan pelukis yang banyak berinteraksi dengannya. Manet dianggap sebagai pencetus gerakan realism bersama Thomas Couture dan Gustave Courbet. Couture adalah seorang pelukis independen yang sempat mengalami dilema dalam karier seninya. Pasalnya, Couture berhadapan dengan tuntutan pasar dan akademisi seni yang menginginkan lukisan tradisional, serta tuntutan dari dalam dirinya sendiri untuk membuat lukisan yang sesuai dengan passion-nya (Fried, 1970). Courbet sendiri adalah seorang pelukis radikal yang berideologi sosialis. Terdapat banyak sekali lukisan Courbet yang berusaha untuk memprovokasi kalangan borjuis dan menempatkan para kelas pekerja sebagai subjek utama dalam lukisannya yang sangat indah. Dikatakan bahwa dalam seluruh kariernya, Courbet berusaha untuk memegang satu prinsip dengan teguh: untuk tidak menerima suapan material maupun sosial selama bisa melukis apa yang dirinya inginkan(Gombrich, 2000). Bagi Manet, Couture adalah mentornya sedangkan Courbet adalah teman baiknya.

Konteks kedua adalah kondisi politik Prancis. Abad realisme sendiri merupakan bagian dari gelombang pertama revolusi industri. Alhasil, seperti negara Barat lainnya, Prancis pun marak melakukan transisi ke industrialisasi dan menerapkan budaya kapitalisme. Hal ini menjadi semakin parah di 1870 ketika Louis Napoleon menyatakan perang dengan Prussia dan, setahun kemudian, Prancis dinyatakan kalah. Dengan banyaknya warga Prancis yang menjadi korban jiwa dalam perang ini, kelas pekerja yang tersisa dibebankan dengan semakin banyak pekerjaan dan menjadi semakin tertekan (Lafrance, 2019). Hal ini pun menjelaskan mengapa paham sosialis Marx menjadi cukup terkenal di Prancis – termasuk di kalangan seniman(Bullock & Deakin, 1973).

Bagi para seniman, kekalahan Prancis menjadi sebuah batu sandungan bagi penjualan lukisan mereka. Impian para pelukis realis yang mau melukis apa pun yang mereka inginkan pun terhentikan, dan mereka terpaksa untuk melukis sesuai apa yang diinginkan pasar dan “akademi” seni jika mereka ingin mendapatkan upah. Dalam kata lain, mereka tidak lagi memiliki kebebasan untuk melakukan dan memilih pekerjaan mereka.

Sebuah Kota Bernama Omelas

Karya seni kedua adalah sebuah cerita pendek berjudul The Ones Who Walk Away From Omelas yang ditulis Ursula K. Le Guin di tahun 1973. Cerita pendek ini menceritakan tentang sebuah kota fiktif dekat lautan bernama Omelas yang secara sekilas terlihat sangat sempurna. Penduduk kota ini sangat bahagia dan sepenuhnya baik dengan sesamanya. Tidak ada kesenjangan sosial dalam tatanan masyarakat setempat, dan semua orang, pada dasarnya, adalah orang terpelajar yang memiliki cara berpikiran yang dewasa. Sekiranya mereka terkesan terlalu ‘baik dan membosankan’, Le Guin menggarisbawahi bahwa masyarakat di Omelas sama rumitnya dengan manusia di dunia pada umumnya, dan bahwa mereka juga melakukan aktivitas yang biasanya dianggap amoral oleh banyak orang. Walaupun begitu, masyarakat Omelas tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal tersebut karena, pada dasarnya, mereka bahagia dan baik terhadap satu sama lain. Alhasil, Omelas digambarkan sebagai utopia yang dinamis dan hidup.

Kesempurnaan Omelas ternyata didasarkan oleh satu rahasia umum.

Di lantai paling bawah salah satu gedung di Omelas, terdapat seorang anak kecil (sekitar umur sepuluh tahun) yang tinggal dalam kegelapan. Anak tersebut disiksa, diberikan makanan seadanya, dan tidak diperkenankan untuk merasakan kenyamanan sedikit pun. Jika sang anak dibantu, maka kesempurnaan Omelas akan hilang dan kota tersebut hancur. Masyarakat Omelas dapat mengunjungi sang anak yang sengsara, dan mereka iba terhadap anak tersebut. Mereka sadar bahwa apa yang dialami anak tersebut tidak manusiawi dan adil. Di satu sisi, sebagian besar masyarakat Omelasmenjadi frustrasi setelah menyadari pencerahan tersebut, namun mereka tetap memilih untuk membiarkan sang anak tersiksa (dibandingkan membantu anak tersebut dan kehilangan kebahagiaan mereka sendiri). Di sisi yang lain, terdapat beberapa warga Omelas yang memilih untuk meninggalkan kota tersebut setelah mengetahui kebenaran tentang kebahagiaan mereka. Le Guin menutup cerita tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada yang tahu ke mana para warga pergi ketika meninggalkan Omelas. Namun, sudah dipastikan bahwa mereka tahu mereka mau pergi ke mana (Le Guin, 1973).

Ketika Le Guin menulis cerita tersebut, kondisi dunia juga sedang mengalami pergolakan. Amerika Serikat sedang berada di tengah Perang Vietnam yang sangat mengerikan. Terdapat banyak masyarakat muda AS yang tidak setuju dengan perang tersebut sehingga mereka secara aktif menyuarakan pendapat anti-perang mereka. Gerakan ini dimobilisasikan oleh para hippies yang melihat bahwa mereka bisa membuat peradaban yang didasarkan oleh kasih, kebahagiaan, dan perdamaian – semua jika mereka menolak materialisme duniawi dan nilai-nilai kelas menengah yang pada saat tersebut ditinggikan oleh AS (Krugman, 2007).

Mengartikan Alienasi dan Absurditas dari Karya Seni

Cerita dari Folies-Bergère dan Omelas, walaupun dibuat di dua periode waktu yang sangat berbeda, menunjukkan bahwa budaya alienasi dan absurditas sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kapitalis. Lukisan Folies[1]Bergère, di tengah segala keramaian pengunjung bar, menunjukkan seorang pelayan (pekerja) yang hilang dalam dunianya sendiri. Banyak yang melihat lukisan ini sebagai gambaran dari keresahan hati Manet yang pada saat itu tidak memiliki kebebasan leluasa untuk memilih subjek lukisannya. Seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, dengan maraknya industrialisasi dan kapitalisme, serta berkurangnya jumlah pekerja oleh karena perang, kelas pekerja terpaksa untuk bergantung kepada kelas borjuis untuk mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut juga dirasakan para sastrawan dan pelukis (termasuk Manet) yang hanya bisa menggunakan materialnya untuk membuat karya yang pasti akan terjual ke pasar (Iskin, 1995). Apa yang dilakukan Manet merupakan pelanggaran dari prinsip Coubert yang, secara tidak langsung, memiliki konotasi sosialis dan anti-materialisme. Fakta bahwa Manet lebih memilih untuk melukis karya yang tidak membuatnya bahagia, serta memilih untuk mengikuti apa yang diinginkan atasannya merupakan bukti bahwadirinya sudah merasa teralienasi terhadap pekerjaannya. Hal ini menjadi semakin jelas ketika pria di cermin dalam lukisan tersebut diartikan bukan sebagai seorang pelanggan, melainkan sebagai Manet yang melihatnya dalam diri sang pelayan tersebut. Fakta bahwa Manet sudah tidak bisa melihat dirinya sebagai sosoknya yang sesungguhnya menunjukkan bahwa terdapat alienasi dalam dirinya terhadap siapa dirinya sesungguhnya.

Sang perempuan juga dapat disertakan dalam diskursus alienasi dan absurditas. Fakta bahwa dirinya tidak melayani para pelanggan, melainkan memilih untuk daydream bisa digambarkan sebagai gambaran absurditas; dirinya merasa tidak ada gunanya untuk melayani para pelanggan lagi. Sekiranya para pelanggan tidak dilayani, mereka tetap bisa berbahagia, dan sang pelayan akan terus dicari untuk racikan minumannya terlepas dari berapa lama dirinya tidak bekerja – sebuah siklus yang tidak akan berhenti sampai sang pelayan merasa tidak membutuhkan uang lagi.

Di tempat yang tidak memperhatikan kasta sosial, sang perempuan masih terjebak sebagai seorang pelayan. Jika penulis bisa menginterpretasi lukisan tersebut sendiri, maka dalam daydream tersebut, sang perempuan sedang bertanya-tanya untuk apa dirinya berada di situ dan apa kesalahan yang dilakukannya sehingga membuatnya terjebak sedemikian rupa. Namun, jika kita memperhatikan muka sang perempuan lebih dekat, maka emosi yang tertera di mukanya bukanlah rautan yang sedih. Melainkan, dirinya terlihat penuh dengan kedamaian dan kepasrahan, seakan-akan dirinya tidak apa terjebak di belakang bar tersebut.

Dari kisah Omelas, budaya alienasi dan absurditas berkutat kepada kehadiran sang anak yang tersiksa dan masyarakat yang memilih untuk meninggalkan Omelas. Kota tersebut merupakan simbol dari kenyamanan materialisme dan American Dream yang diimpikan oleh banyak orang. Dengan mengetahui bahwa ada seorang anak kecil yang disiksa demi mendapatkan Omelas, maka sejumlah dari warga Omelas memilih untuk pergi. Hal ini dikarenakan fakta bahwa kota yang mereka ketahui – kehidupan yang mereka banggakan – merupakan sesuatu yang fana dan palsu. Dengan meninggalkan Omelas, mereka mengejar kehidupan yang menurut mereka benar dan sesuai dengan prinsip mereka. Hal ini tentu berarti mereka harus pergi meninggalkan lingkungan Omelas yang sempurna – meninggalkan kebahagiaan, kenyamanan, dan masyarakat yang dewasa. Namun, mereka yang meninggalkan Omelas tahu apa yang mereka inginkan dan memilih untuk hidup sesuai dengan apa yang mereka mau. Mereka tidak mau sekedar hidup dalam kenyamanan. Mereka berani ke luar dari Omelas karena mereka sadar bahwa kehidupan nyaman yang sudah menjadi kebiasaan mereka tidak memiliki arti jika mereka tidak bisa jujur kepada diri mereka sendiri. Keluaran dari Omelas memberikan kehidupan mereka makna yang baru.

Kesimpulan

Dari Folies-Bergère dan Omelas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua cara manusia menanggapi absurditas dan alienasi dalam budaya kapitalisme. Pertama, dari sang pelayan di Folies-Bergère, dirinya berdamai dengan fakta bahwa dia harus melayani para pelanggan bar. Hal ini mampu memberikannya makna hidup tersendiri karena, demi terus berbahagia, para pelanggan membutuhkan sang pelayan – mereka membutuhkan racikan minumannya. Hal ini bisa menjadi alasan sang perempuan untuk terus bekerja; bahwa walaupun hidupnya akan seperti itu-itu saja dan dirinya tidak bisa sepenuhnya menikmati karya minumannya, setidaknya dirinya masih dicari banyak orang. Hal ini sama halnya dengan Manet yang, walaupun dirinya tidak bisa melukis secara bebas lagi, dan walaupun dirinya dianggap tidak sesuai dengan standar kesenian Prancis (Salon des Refusés) (Boime, 2007), setidaknya dirinya masih dicari oleh para borjuis untuk diperkerjakan. Setidaknya dirinya masih diinginkan.

Cara kedua adalah untuk meninggalkan segala hal yang sudah dimiliki, layaknya para masyarakat Omelas. Jawaban ini memang lebih radikal dibandingkan interpretasi Manet, namun jika hal tersebut memang bisa membuat mantan warga Omelas bahagia yang sesungguhnya, dan siapa yang bisa menghentikan mereka? Di akhir hari, hanya diri kita sendiri yang bisa mengintrospeksi diri dan mengetahui apa yang diri kita sebenarnya inginkan. Tidak ada yang menghentikan kita untuk melakukan apa yang kita mau, yakni untuk mengikuti atau meninggalkan arus budaya dunia. Di akhir cerita, kehidupan kita akan menjadi absurd jika kita tidak jujur kepada diri sendiri, dan hanya kita sendiri yang bisa memberikan kehidupan kita makna.

*Esai ini merupakan pemenang kategori "The Best" dalam Lomba Esai Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//