• Opini
  • Saatnya Demitisasi: Pemosisian Mahasiswa Hari ini

Saatnya Demitisasi: Pemosisian Mahasiswa Hari ini

Alih-alih terjebak pada mitos, hal dasar pertama yang perlu dilakukan merumuskan bagaimana posisi mahasiswa dalam struktur sosial hari ini?

Anju Gerald

Mahasiswa yang aktif di Lingkar Belajar Pergerakan (LBP)

Mahasiswa Papua di Bandung menyuarakan aspirasinya pada demonstrasi 2019. Mereka menunjut penghapusan pelanggaran HAM di tanah Papua. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

22 Maret 2023


BandungBergerak.id  – Adrian Maldini Yudha dalam tulisannya berupaya untuk menjawab beberapa hal: definisi mahasiswa, pembeda mahasiswa dengan siswa biasa, tugas dan tabiat mahasiswa, serta peran mahasiswa di tengah masyarakat.  Namun, penulis merasa bahwa banyak “mitos” yang dilanggengkan sehingga perlu dibedah ulangi.

Tulisan ini berupaya menyingkap apa yang ada dibalik mitos-mitos tersebut, demitisasi, dan bagaimana mahasiswa dapat didudukkan dalam hari ini.

Demitisasi Agen Perubahan

Yudha memulai dengan etimologi dan membedakan antara mahasiswa dan siswa "biasa". Yudha lebih lanjut melakukan glorifikasi serta mengajukan mahasiswa sebagai agen perubahan, yang bagi penulis adalah mitos. Mahasiswa sebagai agen perubahan, atau terkadang ditulis dalam Bahasa Inggris Agent of Change, biasanya disematkan pada mahasiswa bersamaan dengan konstruksi heroisme lainnya seperti  social control, iron stock, dan moral force (Cahyono, 2019). Bagaimana konsep ini terkonstruksikan? Apa yang ada dibaliknya?

Kita perlu menarik kembali ke masa lampau, Angkatan ‘66. Angkatan '66 adalah kelompok mahasiswa yang membangun gerakan pasca G30S. Pada waktu itu, menjadi mahasiswa hanya terbatas bagi sebagian kecil rakyat kaya. Angkatan '66 terutama berasal dari kampus elit seperti UI dan ITB kemudian menjadi basis kelompoknya. Gerakan mereka didukung oleh militer pro-Soeharto. Metode gerakan mereka mengadopsi gerakan revolusioner pada revolusi nasional Indonesia, seperti aksi massa, tetapi tidak bertujuan untuk mereorganisasi struktur ekonomi-politik yang dibutuhkan oleh rakyat untuk mencapai emansipasi. Di titik ini, konstruksi agen perubahan mulai disematkan oleh penguasa yang menggantikan rezim sebelumnya, yang dikenal sebagai Orde Baru (Orba).

Diskursus tentang agen perubahan perlu dikaitkan dengan diskursus mahasiswa sebagai kontrol sosial. Pers Mahasiswa Salemba pada tahun 1970-an pernah menuliskan bahwa kata kunci "kontrol sosial" bersama dengan istilah "koreksi" dan "kritik" menjadi bagian integral dalam cara mahasiswa menentukan peran dan identitas mereka (Prisma, “Kritik Sosial: Ancaman atau Kebutuhan?”, Oktober 1977).  Oleh karena itu, tugas mahasiswa adalah mengoreksi sistem, mengembalikannya ke keadaan semula, dan meluruskan kesalahannya. Namun, kontrol sosial mahasiswa tidaklah untuk menciptakan perubahan mendasar pada tatanan ekonomi, sosial, dan politik, melainkan untuk mengoreksi penyimpangan dari dasar sistem saat ini agar dapat diperbaiki. Oleh karena itu, tugas mahasiswa adalah mengoreksi sistem, mengembalikannya ke keadaan semula, dan meluruskan kesalahannya (Surat kabar kampus Universitas Indonesia, Salemba, “Dari kampus Untuk Masyarakat: Kenang-Kenangan 3 Tahun Salemba”, 1979).

Kontrol sosial juga memiliki hubungan erat dengan perubahan. Mahasiswa diposisikan menjadi "agen perubahan" dalam konteks sosial politik. Perubahan yang dimaksud adalah perbaikan dari "ketidakberesan", "ketidakadilan", "ketidakwajaran", "ketimpangan", dan "kepincangan" dalam sistem yang ada. Mahasiswa bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan yang mengarah pada perubahan dan perbaikan sistem untuk menciptakan "masa depan yang lebih baik" (Thesis Elisabeth Jackson “Warring Words: Students and State in New Ordes Indonesia 1966-1998”).  Namun, analisis wacana menunjukkan bahwa mitos agen perubahan yang menjadi bagian integral dari peran mahasiswa sebagai kontrol sosial justru dibuat sebagai peredaman akan gerakan rakyat luas yang emansipatoris dari sistem yang mengeksploitasinya menjadi gerakan moral bagai penyedia informasi bagi kekuasaan akan respons lakunya. Celotehan ini masih dipegang oleh banyak orang, termasuk Yudha, bahkan setelah Soeharto turun dari jabatan dua dekade setelahnya.

Sialnya lagi, Yudha pada bagian setelahnya menyatakan bahwa mahasiswa, menjadi inisiator aksi-aksi unjuk rasa yang membela kepentingan masyarakat yang lemah di tengah banyaknya krisis dalam masyarakat, sehingga memiliki posisi istimewa sebagai "ujung tombak" dalam menggerakkan perubahan, yang menjadikan mereka dijuluki sebagai "pahlawan masyarakat". Glorifikasi mahasiswa ini juga pemosisian mahasiswa sebagai representasi tunggal kepentingan seluruh masyarakat sebetulnya bagian konstruksi mahasiswa pada rezim Orba. Lebih rincinya: mahasiswa adalah pengejawantahan gejolak yang didalamnya dapat secara pasif terpatri seluruh kehendak masyarakat; seperti corong ataupun “toa”..

Kita dapat melihatnya dari upaya yang dilakukan melalui penulisan sejarah. Catatan dari buku Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1990 dapat menjadi contoh bagaimana rezim memformulasikan sejarah, dalam hal ini tentang mahasiswa sebagai representasi rakyat terutama pada dan pasca Angkatan ‘66 serta Trituranya yang termasyhur itu (Poesponegoro, 1990). 

Melalui buku Sejarah Indonesia, Orba seakan-akan mendiktekan bahwa mahasiswa adalah kanal representasi tunggal kepentingan masyarakat. Dalam buku tersebut, mahasiswa menjadi perwakilan pasif tuntutan rakyat. Bahkan, pada keterangan-keterangannya bertendensi mengaburkan peran aktif mahasiswa dalam perencanaan dan pelaksanaan aksi demonstrasi pada 1966. Penggunaan bahasa di sana menyiratkan akan upaya penyingkiran fakta bahwa sebagian mahasiswa pada saat itu  secara sadar merencanakan dan melaksanakan demonstrasi, bahkan berkolaborasi dengan militer pro Soeharto, alih-alih sekedar respons organik dari  “kehendak masyarakat”.

Mahasiswa seakan adalah kanal pasif di mana tuntutan rakyat disampaikan dalam pembentukan Tritura. Dalam keterangan buku tersebut, aksi mahasiswa hanya didudukkan sebagai respons terhadap emosi yang tidak terkontrol alih-alih merupakan agenda ekonomi-politik tertentu, dirumuskan dalam sebuah skema kira-kira demikian: kesulitan yang dihadapi oleh rakyat dalam menghadapi kenaikan harga, menggerakkan hati nurani pemuda, dan menyebabkan diumumkannya Tritura.

Dari sinilah kita dapat melihat bagaimana hegemoni hari ini mengenai mahasiswa sebagai representasi kepentingan masyarakat timbul. Masyarakat seakan diasumsikan tunggal, pun demikian juga mahasiswa. Masyarakat luas diasumsikan tidak bisa membangun agendanya sendiri, sementara mahasiswa dikondisikan untuk menjadi suaranya masyarakat tadi yang akan bergerak responsif entah bagaimana mungkinnya. Tentu saja, ini salah.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Siapa itu Mahasiswa?
MAHASISWA BERSUARA: Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama
Mempersenjatai Media Sosial
Raja dan Tombaknya

Catatan dari Tugas dan Tabiat Mahasiswa

Selanjutnya dari tulisan Yudha, “Tugas dan Tabiat Seorang Mahasiswa”. Pada bagian ini, penulis berupaya melakukan kritik pada bagian tersebut.

Bagian tersebut mencoba menggambarkan mahasiswa sebagai agen perubahan yang harus terus bergerak aktif dalam membela kepentingan masyarakat. Terutama dengan cara turun ke jalan; unjuk rasa. Namun, perspektif ini penting untuk dipertanyakan.

Pertama-tama, tulisan tersebut mengabaikan konteks struktural yang membentuk posisi mahasiswa dalam masyarakat. Mahasiswa adalah kelompok sosial yang cukup memisahkan dirinya dari masyarakat karena akses mereka ke pendidikan tinggi yang mahal dan eksklusif. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menganggap bahwa mahasiswa sepenuhnya merepresentasikan atau dapat membela kepentingan masyarakat.

Selain itu, argumentasi yang mengesankan bahwa mahasiswa secara inheren memegang peran sebagai pemantik perubahan dapat dipertanyakan. Mahasiswa yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan situasi sosial yang berbeda-beda di masyarakat tidak dapat dengan mudah memahami dan memperjuangkan kepentingan mereka.

Lalu, faktor ekonomi juga perlu diperhitungkan. Kekurangan uang dan sumber daya dapat membuat mahasiswa terjebak dalam situasi yang membatasi gerakan mereka. Oleh karena itu, idealisasi mahasiswa sebagai agen perubahan terkadang hanya memperkuat posisi kaum mahasiswa kaya di lembaga pendidikan tinggi. Hanya dua jenis orang yang mungkin berpikir demikian, yang tidak rasional atau yang secara ekonomi mapan yang dapat bergerak bagi yang liyan; bagi yang bukan dirinya - oleh moralitas yang banal dan idealisasi yang heroik. Lagi-lagi, terdapat pengeksklusian mahasiswa dan masyarakat dari awal, baik secara wacana terutama konteks struktural.

Proposal Alternatif

Alih-alih terjebak pada mitos, hal dasar pertama yang perlu dilakukan merumuskan bagaimana posisi mahasiswa dalam struktur sosial hari ini?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 10,61% pemuda di Indonesia yang telah menamatkan perguruan tinggi pada 2021 (Katadata.co.id, 4Maret 2023). Selain itu, biaya kuliah sekarang dapat kita katakan mahal, jika kita mellihat bahwa kenaikan biaya kuliah mencapai 9900% berbanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat hanya 266% dalam kurun waktu tahun 1992-2020 (Susilo, 2023). 

Artinya, pertama, terjadinya marginalisasi dan proletariatisasi kelas rentan/pekerja karena upah yang mereka terima habis untuk subsistensinya sehingga tak cukup untuk mencapai‘’cita-cita berpendidikan tinggi’’ (Anindya Dessi W. dan Erwan Agus Purwanto, 2019). Kedua, benarlah bahwa mahasiswa memanglah elit dalam masyarakat, secara sosial maupun ekonomi.

Setelah sadar potensi elitismenya, posisi pendidikan tinggi (PT) perlu diterangkan. PT secara umum adalah bagian suprastruktur yang berupaya mempertahankan basis, atau dalam bahasa lain, bagian dari struktur kebudayaan, politik, dan sebagainya dalam upaya mempertahankan struktur ekonomi. Pada Orde Lama, PT digunakan untuk menyiapkan orang-orang yang dapat memberi kepemimpinan dalam masyarakat, memajukan ilmu pengetahuan, dan kemajuan hidup kemasyarakatan dengan karakter nasional dan demokratis. Orba menggunakan PT sebagai pencetak teknokrat-teknokrat dalam kerangka instrumen pembangunan ekonomi nasional. Hari ini, pada era kapitalisme-neoliberal, PT adalah upaya pencetak tenaga kerja terampil, tidak lebih dan tidak kurang (Ahmad, 2018).  Maka, mahasiswa akan dihadapkan pada pilihan-pilihan: kepada kelompok mana gerakannya akan berlabuh? Atau dalam bahasa lain, pada kelas apa mahasiswa akan berpihak?

Dalam sistem hari ini, kelas yang tertindas tidak lain tidak bukan adalah kelas pekerja. Maka, hanya pada kelas pekerja lah gerakan yang emansipatoris dimungkinkan. Sehingga pilihannya terakhirnya adalah, melunturkan elitismenya dan bergabung dalam gerakan politik progresif yang bertujuan akan emansipasi massa rakyat pekerja, atau bertahan menjadi kelompok elit yang akan menunggu hari penghakimannya kelak.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//